Novriantoni Kahar
Mohammad Abied Al-Jabiri adalah seorang pemikir Arab kontemporer (asal Maroko) yang memproyeksikan diri dalam proyek pemikiran yang spesifik selain Hasssan Hanafi (asal Mesir) dan Muhammad Arkoun (asal Aljazair). Ketiga-tiganya dapat dikatakan sebagai “pemikir proyek”. Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko, tanggal 27 Desember 1935. Pendidika nnya dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi lebih banyak ditempuh di tanah kelahirannya di Maroko. Dia pernah setahun menempuh pendidkan filsafat di Universitas Damaskus, Siria (tahun 1958). Setelah itu dia melanjutkan pendidikan diploma Sekolah Tinggi Filsafat Fakultas Sastra Universitas Muhammad V di Rabat, (1967) dan meraih gelar master dengan tesis tentang “Filsafat Sejarah Ibn Khaldun” (Falsafatut Târîkh ‘inda Ibn Khaldûn). Doktor bidang Filsafat, dia raih di Fakultas Sastra Universitas Muhammad V, Rabat (1970), dengan disertasi yang masih membahas seputar pemikiran Ibn Khaldun, khususnya tentang Fanatisme Arab. Desertasinya berbicara tentang “Fanatisme dan Negara: Elemen-Elemen Teoritik Khaldunian dalam Sejarah Islam” (Al-‘Ashabiyyah wad Dawlah: Ma’âlim Nadzariyyah Khaldûiyyah fit Târikhil Islâmî). Disertasi tersebut kemudian dibukukan tahun 1971. Al-Jabiri, hanya menguasai tiga bahasa: Arab (bahasa ibu), Perancis (baca dan tulis), dan Inggris (baca saja).
Al-Jabiri muda adalah seroang aktivis politik berideologi sosialis yang sempat bergabung dalam partai Union Nationale des Forces Popularies (UNFP) yang kemudian berubah nama menjadi Union Sosialiste des Forces Popularies (USFP). Pada tahun 1975, dia sempat menjadi anggota biro politik USFP. Selain pernah aktif di dunia politk, Al-Jabiri sesungguhnya lebih dikenal sebagai seorang akademisi yang sempat menjabat Pengawas dan Pengarah Pendidikan bagi Guru-guru Filsafat di tingkat menengah atas, sejak tahun 1965-1967. Sampai sekarang dia masih menjadi Guru Besar Filsafat dan Pemikiran Islam di Fakultas Sastra di Universitas Muhammad V, Rabab, sejak 1967.
Banyak karya yang telah ditulis oleh Al-Jabiri. Tema sentral dalam karyanya terkonsentrasi pada filsafat dan epistimologi Islam dengan sentuhan sejarah dan sosiologi yang cukup kental. Sampai sekarang dia masih aktif menulis beberapa artikel lepas di beberapa media massa Arab. Tulisan ini berkonsentrasi dalam mengulas salah satu karya terpenting Al-Jabiri, yaitu soal nalar politik Arab (Al-‘Aqlus Siyâsil ‘Arabî) yang masuk dalam lingkup proyek “Kritik Nalar Arab” yang dia rancang.
Konsep dan Pendekatan
Nalar politik Arab yang dimaksud Al-Jabiri dalam bukunya Al-‘Aqlus Siyâsil ‘Arabî tak lain adalah “motif-motif (muhaddidât) tindakan politik (cara menjalankan kekuasaan dalam sebuah masyarakat), serta manifestasi (tajalliyât) teoritis dan praksisnya yang bersifat sosiologis”. Disebut “nalar” (‘aql), karena motif-motif tindakan politik dan manifestasinya tersebut, semua tunduk dan dijalankan atas sebentuk logika internal yang mengorganisasi hubungan antar pelbagai unsurnya. Logika ini pada akhirnya berupa prinsip-prinsip yang dapat disifati dan dianalisis secara kongkrit. Dikatakan sebagai “politik” (siyâsî) karena tugasnya bukanlah mereproduksi pengetahuan, tapi menjalankan sebentuk kekuasaan; sebuah otoritas pemerintahan atau menjelaskan tata cara pelaksanaannya. Pada akhirnya, buku ini mengulas tentang “nalar realitas Arab” (‘aqlul wâqi’il ‘arabî), bukan nalar teoritik Arab sebagaimana dia ulas dalam bukunya “Formasi Nalar Arab” (Takwînul ‘Aqlil ‘Arabî) dan “Struktur Nalar Arab” (Bunyatul ‘Aqlil ‘Arabî). Arti kata, bahasan buku ini mengacu pada bagaimana mengungkap motif-motif penyelenggaraan politik dan bentuk-bentuk manifestasinya dalam rentang sejarah panjang peradaban Arab-Islam sampai saat ini.
Dalam buku yang cenderung menggunakan pendekatan fungsional dalam ilmu sosiologi ini, Al-Jabiri menggunakan beberapa perangkat konsep (al-jihâzul mafâhimi) yang terdiri dari dua sumber. Pertama, dari pemikiran ilmu sosial politik kontemporer; dan kedua, dari sumber-sumber tradisi Arab-Islam sendiri. Al-Jabiri sadar betul bahwa konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu sosial-politik kontemporer yang notabene bersumber dari Barat punya keunikan-keunikan tersendiri yang tidak mungkin diterapkan secara semena-mena ketika mengkaji objek kajian yang berbeda (masyarakat Arab-Islam). Dia sedari awal tahu, upaya mengungkap nalar politik mayarakat prakapitalis, negara peradaban Timur lama, masyarakat Arab dalam Abad Pertengahan dan Modern, yang biasa disebut “Dunia Ketiga” akan berbeda sekali dengan penelitian atas mayarakat kapitalis yang sudah maju pesat.
Sadar akan kenyatan itu, dia melakukan beberapa “polesan” pada konsep-konsep yang dia pinjam dari Barat. Misalnya, dia memoles konsep “bawah sadar politik” (allâ syu‘ûrus siyâsî) yang dia pinjam dari kajian Regis Debray (seorang guru filsafat dan scolar asal Perancis) yang menggunakan konsep tersebut untuk mengungkap bawah sadar politik masyarakat Barat. Dalam konsep bawah sadar politk Debray, fenomena politik tidak dibentuk oleh kesadaran manusia; gagasan-gagasan ataupun obsesi-obsesi mereka. Dia juga tidak dibentuk oleh apa yang melandasi kesadaran itu sendiri, seperti relasi sosial ataupun kepentingan kelas. Tapi, penggerak utama dari sebuah fenomena politik adalah apa yang disebut bawah sadar politik. Konsep bawah sadar politik ibarat struktur yang terdiri dari relasi-relasi materi bersifat kolektif yang memainkan peran bersifat koersif atas kesadaran individu-individu dan tidak dapat dibendung; sebentuk pola hubungan pada masyarakat suku dan beberapa pola hubungan sekterian yang sempit. Struktur hubungan yang terbentuk dari relasi yang tidak disadari ini akan selalu hidup, sekalipun suprastruktur masyarakat sudah mengalami perubahan sebagai bentuk respons atas perkembangan infrastruktur dalam masyarakat tersebut. Intinya, bentuk solidaritas kelompok dan fanatisme etnik, dan obsesi mereka untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dan kepentingan-kepentingan akan selalu eksis baik secara laten maupun manifes dalam sebuah kelompok, baik dalam masyarakat feodal, kapitalis ataupun sosialis.
Al-Jabiri tidak mengadopsi konsep Debray secara bulat-bulat. Dia coba “menyimpangkannya” sebatas kebutuhan atas objek yang dia kaji (masyarakat Arab-Islam). Menurut Al-Jabiri, Debray menerapkan konsepnya dalam masayarakat industrial Eropa, dimana hubungan sosial seperti relasi keluarga dan etnik menempati posisi di belakang hubungan ekonomi: relasi produksi. Sementara, dalam masyarakat Arab-Islam yang menjadi objek kajiannya, baik dulu maupun sekarang, kenyataannya berbalik sama sekali. Hubungan sosial yang bersifat kekeluargaan dan etnik tersebut, dalam kehidupan politik masyarakat Arab, masih saja menempati posisi yang esensial dan kentara. Sementara, relasi produksi tidak mendominasi masyarakat kecuali sebagian saja.
Maka dari itu, dengan mengambil posisi yang berbeda dari Debray yang berusaha mengungkap “apa yang bersifat keluarga dan agama dalam dunia politik Eropa kontemporer”, konsep bawah sadar politik digunakan Al-Jabiri untuk mengungkap “apa yang politis dalam perilaku atau tindak tanduk agama dan keluarga dalam masyarakat Arab dan Islam”. Ini dia anggap penting, sebab kehidupan politik dalam objek kajiannya, pertama-tama dijalankan berdasarkan pertimbangan agama dan kesukuan; demikian arus utamanya masih berlaku sampai detik ini. Maka dari itu, Al-Jabiri menyimpulkan bahwa “bawah sadar politik yang menjadi pembentuk nalar politik Arab, tidak harus dicarikan dari tindakan-tindakan yang agamis dan sukuis.” Lebih penting dari Al-Jabiri berupaya mengungkap sisi politik yang menjadi lokomotif penggerak sektarianisme agama dan fanatisme kelompok dalam objek kajiannya. Jadi, kalau Debray membuat urut-urutannya kajiannya dari “yang politik” menuju “yang ideologi” untuk sampai pada “yang agama”, maka Al-Jabiri membaliknya dengan hasil yang bertolak belakang sama sekali. Di Masyarakat Arab, kata Al-Jabiri, “yang sosiologis” itulah justu yang membentuk “yang politik”; yang politik kemudian membentuk ideologi, dan ideologi lantas membentuk pola keagamaan. Sebab, dalam konteks masyarakat Arab, apa yang dipermukaan dianggap sebagai gejala sektarianisme agama, bukanlah merupakan pilihan politik. Makanya, bawah sadar politik masyarakat Arab tidak selamanya dibentuk oleh agama sebagaiamana Eropa, tapi justru sebaliknya: sektarianisme agama yang menjadi topeng dan menyembunyikan bawah sadar politik. Maka dari itu, dalam kajiannya ini, Al-Jabiri berusaha mencari apa yang berada dalam bawah sadar politik masyarakat Arab-Islam.
Dalam bukunya ini, Al-Jabiri juga menggunakan konsep imajinasi sosial (imaginaire social atau al-mikhyâlul ijtimâ‘i) untuk mengkaji bawah sadar politik Arab-Islam. Konsep ini merupakan referensi utama bagi nalar politik Arab. Imajinsai sosial lah yang memberikan kerangka bagi alam bawah sadar politik Arab-Islam, dan menjelma menjadi semacam tanah air (mauthin) bagi jiwa atau sanubari tiap-tiap kelompok. Istilah imajinasi sosial ini juga dia pinjam dari ilmu sosial kontemporer. Jelasnya, makna imajinasi sosial adalah “sekumpulan imajinasi yang memenuhi kepala bangsa Arab, baik dalam bentuk peristiwa-peristiwa, kisah kepahlawanan, ataupun pelbagai kegetiran yang mereka hadapi. Sekumpulan imajinasi itu dipersonifikasikan dalam sosok-sosok legendaris masa lampau Arab, seperti As-Syanfari, Imru’ul Qais, ‘Amr ibn Maktum, Hatim Atthai’, tragedi keluarga Amr bin Yaser, Umar bin Khattab, Khalid bin Walid, Umar bin Abdul Aziz, Harun Al-Rasiyid, Kisah 1001 Malam, Shalahuddin Al-Ayyubi, wali-wali yang saleh, Gamal Abdul Naser, dan lain-lain. Khusus untuk imajinasi Syiah, tersebutlah nama-nama sosok keluarga Ali sebagai titik sentralnya.
Dari konsep tentang imajinasi sosial ini, Al-Jabiri hendak menegaskan bahwa nalar politik Arab sebagai sebuah praksis dan ideologi, sebagai sebuah fenomena yang kolektif, akan diketemukan referensinya dari “imajinasi sosial” masyarakat itu sendiri, bukan dari struktur ilmu mereka. Maka dari itu, dia mendefenisikan konsep “imajinasi sosial” sebagai “sejumlah pandangan, simbol-simbol, ndilalah, norma-norma dan nilai-nilai yang memasok struktur bawah sadar politik masyarakat Arab dalam fase sejarah tertentu atau di kalangan komunitas masyarakat yang terorganisasi. Sebagai sebuah imajinasi kolektif, yang menjadi objek analisis bagi nalar politik adalah “soal keyakinan” (tidak peduli keyakinan itu benar atau salah, karena yang penting darinya hanya efektivitasnya untuk memobilisasi emosi massa, misalnya).
Dua konsep yang sudah diulas tadi (bawah sadar politik dan imajinasi sosial), kemudian dijadikan Al-Jabiri sebagai konsep prosedural yang menghubungkan nalar politik Arab-Islam dengan morif-motif (muhaddidât) dan bagaimana manifestasinya (tajalliyât) dalam kenyataan. Motif-motif dan manifestasi politik ini, dalam pandangan Al-Jabiri merupakan sisi yang psikologis sekaligus sosiologis (jânib nafsî ijtimâ‘i), unsur yang individual dan kolektif (al-‘unshurus dzâtî wal jamâ‘î) dari fenomena politik Arab.
Konsep ketika yang digunakan Al-Jabiri di sini adalah konsep “domain politik” (almajâlus siyâsî, political sphere). Di sini, Al-Jabiri kembali membedakan antara domain politik dalam masyarakat Eropa dengan domain politik dalam masyarakat Islam. Dia mencermati, bahwa dalam masyarakat Eropa, domain politik tumbuh dan sangat kuat relasinya dengan berdirinya sistem kapitalis. Salah satu karakteristik sistem kapitalisme antara lain, diferensiasi dua hal dalam masyarakatnya yang sangat jelas: infrastruktur atau landasan ekonomi (tulang pungungnya adalah insdustri), dan suprastruktur berupa perangkat negara, institusi, dan ideologi yang menjadi landasannya. Sementara, masyarakat yang belum sampai pada fase kapitalisme (murni?), seperti masyarakat Arab dan umumnya Dunia Ketiga, perbedaan yang esensial antara dua struktur itu tidak begitu kentara. Bahkan, biasanya kedua struktur itu saling tumpang-tindih (tadâkhul) bahkan seperti sebuah struktur yang menyatu. Maka dari itu, sudah menjadi konsensus dalam ilmu sosial, bahwa masyarakat prakapitalis mempunyai spesifikasi tertentu, di antaranya:
Satu, kesatuan antara infrastruktur dan suprastrukur masyarakatnya, atau paling tidak dia mesti dilihat sebagai sebuah kesatuan yang rumit, yang hubungan antara unsur-unsurnya saling berdialektika: saling mempengaruhi dan saling bertukar tempat. Kedua, kuatnya peranan kekerabatan dalam masyarakat prakapitalis. Bahkan, saking kuatnya peran kekerabatan tersebut, terkadang dia mesti dilihat tidak hanya sebagai suprastruktur, tapi juga bagian dari infrastruktur masyarakat itu sendiri, dan menjadi kerangka hubungan produksi. Ketiga, kuatnya peran agama sebagai keyakinan dan sebagai bagian dari organisasi sosial yang memendam makna politis, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam masyarakat Eropa, agama dianggap “unsur yang terbungkam” (al-makbût), dan menjadi bagian dari bawah sadar politik. Makanya, Debray dalam kajiannya berusaha mengungkap faktor yang terbungkam itu. Sementara dalam masyarakat Arab-Islam, agama bukanlah bagian yang terbungkam, tapi justru menjadi sangat jelas. Sehingga, bahwa sadar di balik kegiatan keagamaan itu mesti diungkap supaya jelas isinya.
Dari proses adopsi konsep dan “penyimpangan-penyimpangan” yang dilakukan secara sengaja oleh Al-Jabiri tadi, yang dia ingin hanyalah agar dia dapat mendekati objek kajianya sebagai seorang mujtahid, bukan sebagai pembebek (muqallid). Konsep-konsep yang dia pinjam tadi, dia gunakan tak lain hanya untuk lebih mendekatkan diri, mencerdaskan dan menghidupkan tradisi permikiran sosial Islam yang sudah pernah dirintis oleh Ibn Khaldun. Sebab, menurut Al-jabiri, dalam pemikiran Islam, sosok Ibn Khaldun, khususnya dalam kajiannya tentang ilmu peradaban manusia (ilmul ‘umrânil basyarî) telah berjasa mengungkap beberapa motif-motif di balik nalar politik sebuah peradaban manusia, tak terkecuali peradaban Islam. Hal itu paling tidak tergambar dari penegasannya tentang pentingnya perananan fanatisme (al-‘ashabiyyah), faktor kekerabatan (al-qarâbah), dan peranan dakwah keagamaan dalam formasi sebuah negara dan kekuasaan. Maka dari itu, rujukan teoritis Al-Jabiri dalam kajiannya ini diperkaya oleh Ibn Khaldun. Dan bahkan, menurutnya, kembali mencermati pemikiran Ibnu Khaldun dapat diabsahkan dan sangat relevan, khususnya ketika memperhatikan realitas sosial politik yang berlangsung di negara Arab dan Islam. Problem-problem Arab dan Islam kontemporer, seperti soal kekerabatan, etnisitas, dan fundamentalisme keagamaan, yang muncul kembali ke permukaan, seakan memberi legitimasi untuk kembali merujuk kepada Ibn Khaldun; dan itu bukan lagi bagian dari perbincangan yang kemaruk dan mundur ke belakang.
Makanya, bermodal jargon Marx, “analisis atas masa kini akan menyuguhkan kunci-kunci (penjelasan) masa silam” (tahlîlul hâdlir yuqaddim lanâ mafâtîhul mâdlî), Al Jabiri menganalisis masa kini Arab-Islam, untuk kembali menghadirkan beberapa kunci penjelasan masa silam Islam, kalau bukan kunci dasarnya (al-mafâtîhur ra’îsiyyah), berdasarkan apa yang pernah dikemukakan Ibn Khaldun secara kurang teoritis. Paling tidak, terdapat tiga kunci penjelasan mendasar yang digunakan Ibnu Khaldun dalam menganalisis sejarah Arab-Islam. Dua diantaranya, yaitu konsep fanatisme kelompok (al-‘asyabiyyah al-qabiliyyah) dan dakwah keagamaan (ad-da‘wah ad-dîniyyah), sangat eksplisit digunakan oleh penjelasan-penjelasan Ibn Khaldun tentang sejarah masyarakat Arab-Islam. Sementara kunci ketiga, yaitu fakor ekonomi, yang pada masa Ibn Khaldun belum hadir sebagai faktor penjelas yang berdiri sendiri (apalagi dalam masyarakat prakapitalis), dan juga belum dianggap sebagai faktor determinan dalam penjelasan hubungan dalam masyarakat, sayup-sayup juga sudah dikemukakan oleh Ibn Khaldun. Al-Jabiri kemudian mengangkat faktor ekonomi itu menjadi faktor penjelas dalam analisisnya tentang nalar politik Arab dalam bukunya ini. Bagi Al-Jabiri, secara implisit Ibn Khaldun telah menyebut “cara produksi yang khas dalam masyarakat Arab”; sistem perekonomian yang bergantung pada suasana peperangan, atau dengan cara menabung surplus produksi melalui kekuasaan: kekuatan pemimpin, kepala suku, atau negara. Sistem ekonomi seperti inilah yang disebut Ibn Khaldun sebagai sumber mata pencarian (ekonomi) yang tidak wajar (madzhab fil ma‘âsy ghairat thabî‘i). Dalam peristilahan masa kini, sistem perekonomian seperti ini disebut sebagai “sistem ekonomi rente” (al-iqtishâd ar-rî’iy), sementara negara yang menjalankan sistem perekonomian demikian disebut dengan “negara rente” (ad-daulah al-rî’iyyah).
Berangkat dari tiga kunci yang sempat dikemukakan Ibn Khaldun itu, Al-Jabiri kembali menggunakannya dalam terma yang agak berbeda, demi menjelaskan nalar politik Arab-Islam. Dia menggubah tiga konsep tersebut dengan istilah yang lebih fungsional dan akrab di telinga dan tradisi masyarakat Islam. Konsep Ibn Khaldun tentang pernanan dakwah keagamaan (ad-da’wah ad-diniyyah) dia ubah menjadi kategori akidah (al-‘aqîdah), solidaritas kesukuan (al-‘ashabiyyah al-qabiliyyah) dia singkat menjadi kategori kabilah (al-qabîlah atau suku), sementara untuk menjelaskan sistem ekonomi yang disebut Ibn Khaldun “tidak wajar” tadi, dia menggunakan nomenklatur fikih Islam, yaitu kategori ghanimah, harta rampasan perang (al-ghanîmah).
Kabilah. Yang dimaksud kategori kabilah adalah peran yang dapat dimainkan faktor kekerabatan (dalam perspektif antropologi modern), atau soal fanatisme (‘ashabiyyah) sebagaimana yang telah disinggung Ibn Khaldun, ataupun koncoisme (asyâ’iriyyah) ketika kita berbicara tentang cara memerintah atau perilaku politik yang mengandalkan kaum kerabat, dibandingkan para ahli kompetensi dan mereka yang berpengalaman dan terpercaya. Dalam masyarakat industri yang maju, soal kabilah merupakan bagian dari pembentuk bawah sadar politik mereka. Sementara dalam negara agraris, persoalan kabilah tidak hanya menempati pojokan kesadaran politik, tapi menempati ulu hati kesadaran politik itu sendiri.
Ghanimah. Yang dimaksud ghanimah di sini adalah peran yang dimainkan faktor ekonomi dalam sebuah masyarakat yang sistem ekonominya pada prinsipnya bergantung pada unsur kharaj (land tax atau pajak tanah) atau ri’i (revenue, income, atau pendapatan rutin), bukan atas dasar hubungan produksi seperti patron-klien, feodalis (al-iqthâiy) dan hamba (al-qinn), ataupun pemodal dan buruh. Yang dimakusud ghanimah ini juga tidak hanya terbatas pada sumber pendapatannya, tapi juga mencakup bagaimana cara menggunakannya (logika pendapatan berbeda dengan logika produksi). Jadi yang dimaksud ghanimah lebih lengkapnya adalah jenis pemasukan yang khusus, cara menggunakannya dan logika yang menyertainya.
Akidah. Yang dimaksud dengan kategori akidah bukanlah segepok kandungan tertentu dari keyakinan (baik yang diwahyukan atau bukan) tapi adalah efektivitas sebuah doktrin itu sendiri dalam rangka mengukuhkan keyakinan atau kemazhaban. Akidah melingkupi sesuatu yang mampu menggerakkan suatu komunitas, sehingga nyaris menjadi semacam kabilah spiritual (qabîlah rûhiyyah). Pertanda yang paling jelas dari akidah adalah beraninya orang menyabung nyawa untuk membelanya. Unsur kebenaran dan pembuktian akan sebuah akidah tidak penting di bahas di sini. Yang penting adalah gejala di mana sebuah komunitas berani mati untuk hal yang mereka yakini, bukan hal yang mereka ketahui secara pasti.
Tiga katgori itulah yang menjadi kunci penjelas yang digunakan Al-Jabiri untuk menelaah sejarah politik Arab. Ketiga hal itu, dalam pandangan Al-Jabiri merupakan motif bawah sadar yang melandasi sebuah tindakan seorang individu (menurut ahli psikoanalisis). Bedanya, dia tidak berkaitan dengan data-data psikologis, tapi struktur simbol yang menemppati imajinasi sosial suatu kelompok, bukan akal, atau pemahaman. Jadi, ketiganya ibarat bawah sadar politik (imajinasi sosial) yang menggerakkan kegiatan politik sebuah kelompok atau individu-individu.
Adapun manifestasi motif-motif yang sudah diterangkan tadi, dalam rentang sejarah politik Islam, akan dibagi Al-Jabiri menjadi dua bagian. Pertama, bagian yang berisifat teoritis, yaitu menyangkut ideologi politik. Dan bagian yang praksis, yaitu peristiwa-peristiwa politik yang diselap-selipkan dalam pembahasan tentang tiga motif yang diterangkan tadi.
Dalam setiap bahasan dan buku yang dia terbitkan, Al-Jabiri selalu terlihat ketat dalam menggunakan teori, konsep dan pendekatan tertentu. Kenyataan bahwa dia seorang akademisi yang tekun dan taat asas berpikir bukan lagi rahasia. Lebih dari itu, bagi Al-Jabiri mengembangkan analisis atas teks-teks sejarah dengan cara yang metodologis, tidak kalah pentingnya dari melakukan analisis langsung yang memberikan horison baru bagi wawasan kita. Makanya, Al-Jabiri menghimpun kedua cara itu: melakukan “investasi teks” dengan cara yang metodologis, sekaligus melakukan analisis yang mendalam atas teks tersebut.
Aplikasi Konsep:
Dari Dakwah Menuju Dawlah
1. Penjelasan Akidah
Pada bahasan ini, Al-Jabiri berusaha mengungkap pelbagai gejala politik (al-madzharus siyâsî) dari dakwah Nabi. Pembahasannya menukik pada segala aksi dan reaksi yang memiliki kandungan politis dan berperan dalam membentuk imajinasi sosial-politik komunitas muslim pertama di satu sisi, dan menggerakkan reaksi musuh-musuhnya (elit Quraisy) di sisi lain. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa sebelum Nabi menjadi seorang yang sukses menggalang massa untuk mendukung dakwahnya, di kalangan elit Quraisy sudah muncul desas-desus bahwa Nabi akan menjadi seorang penguasa yang akan menaklukkan Dinasti Romawi maupun Parsi. Tapi menurut Al-Jabiri, meskipun tidak ada referensi yang dapat diandalkan untuk mendukung asumsi bahwa dakwah Nabi bermuatan proyek politik tertentu, dia tetap melakukan pembacaan politik (qirâ’ah siyâsiyyah) terhadap kiprah Nabi dalam batas-batas tertentu. Sebab, sangat jelas terlihat bahwa penentang dakwah Nabi dari kalangan elit Quraisy, sejak detik pertama sudah membaca dakwahnya sebagai sebuah proyek politik. Untuk itu, mereka melancarkan siasat untuk menentangnya. Pesan yang mereka tangkap dari dakwah Nabi adalah, dia akan meruntuhkan fondasi struktur ekonomi mereka, selanjutnya menguasai otoritas politik, bahkan eksistensi mereka sendiri. Maka dari itu, menurut Al-Jabiri, menghadapi siasat para elit Mekkah itu, tidak mungkin dakwah Nabi mengambil posisi yang pasif. Makanya, masuk akal, bahkan semestinya Nabi mengunakan senjata yang sama dengan yang mereka gunakan, di antaranya senjata politik. Maka dari itu, dalam bahasan ini, Al-Jabiri mengungkapkan bagian yang politis dari apa yang dipermukaan terlihat sebagai agamis dalam dua pososi yang berlawanan itu: dakwah Muhammad di satu sisi dan tanggapan Quraisy di sisi lain.
Al-Jabiri membagi dakwah Nabi pada periode Mekkah ke dalam dua fase. Pertama, fase dakwah gerilya (sirran); dan kedua, dakwah terang-terangan (jahran). Peran akidah dalam membentuk nalar politik komunitas Muslim pertama --yang oleh Al-Jabiri disebut sebagai “komunitas spiritual” (jamâ‘ah rûhiyyah)-- akan sangat terlihat dalam fase dakwah pertama ini. Al-Jabiri mencermati bahwa ikatan solidaritas yang paling dominan dalam mengikat generasi Muslim pertama tak lain adalah unsur akidah: keimanan pada Allah, Nabi dan wahyu. Sementara peran kabilah dan ghanimah belum terlihat pada mereka, dan justru sangat menonjol pada kubu musuh: elit Quraisy. Makanya, pertarungan politik pada masa ini dapat dikatakan sebagai pertarungan antara kategori akidah melawan qabilah dan ghanimah.
Di dalam fase dakwah gerilya (kurang lebih selama 3 tahun), ayat-ayat yang turun sebagai formasi akidah masih sangat menjauh dari kesan konfrontasi atas elit Quraisy. Nabi pun mengambil strategi yang menjauh dari konfrontasi dengan kaumnya tersebut. Akhirnya, dia tidak banyak dapat merebut hati orang Mekkah untuk mengamini dakwahnya. Di antara orang yang berhasil direbut hatinya, Khadijah (isteri Nabi sendiri), Ali bin Abi Thalib (10 tahun, sepupu Nabi), Zaid bin Haritsah (budak kecil yang diberikan kepada Khadijah dan lalu dibebaskannya), Abu Bakr bin Qahafah (38 tahun, dari kabilah kecil, Thaim), Utsman bin Affan (34 tahun, dari kabilah terkuat Quraisy, Bani Umayyah), Zubeir bin Awwam (seumur Ali, dari bani Asad, anak bibi Nabi), Abdurrahman bin ‘Auf (30 tahun) dan Sa’ad bin Abi Waqash (seumur Ali, dari Bani Zuhrah), Thalhah bin ‘Ubaidillah (sebaya Ali, dari kabilah Taim sebagaimana Abu Bakr). Ditambah dengan Amar bin Yaser, Shuhaib bin Sinan, Bilah bin Rabah al-Habasyi (dari kalangan budak), kesemuanya merupakan generasi paling awal dalam memeluk Islam, semata-mata karena unsur akidah tanpa hitung-hitungan kabilah dan ghanimah.
Kandungan politis dari dakwah Nabi pada fase pertama ini dapat dicermati dari ayat-ayat Qur’an yang membuat kesal kaum Quraisy, karena menegaskan bahwa kaum pagan dan kafir akan mendapat sanksi dunia dan akhirat, bukan hanya karena kekufuran dan paganisme yang mereka anut, tapi juga disebabkan penguasaan mereka atas sumber-sumber kekayaan, dan ketidakpedulian atas kaum fakir miskin.
Pada fase kedua dakwah periode Mekkak (fase terang-terangan), yang berlanjut dari tahun keempat kenabian sampai tahun 13, mulai terjadi konfrontasi langsung pada level akidah antara generasi awal Islam dengan elit Quraisy. Pada fase ini, ayat-ayat Al-Qur’an yang turun sudah mulai melakukan kecaman-kecaman dan secara eksplisit bertentangan dengan kepercayaan dan kepentingan kaum Quraisy. Fase ini disebut oleh Al-Jabiri sebagai fase dakwah terang-terangan dan konfrontasi atas berhala-berhala kaum kafir Mekkah. Pada fase ini juga reaksi Quraisy semakin keras, dari bentuk ejekan dan caci maki sampai pada penyiksaan jasmani. Sosok-sosok seperti Abu Lahab (paman Nabi sendiri), dan isterinya Ummu Jamil (saudara Abu Sufyan), elit-elit pembesar Quraisy seperti Walid bin Mughirah mulai tampil sebagai sosok-sosok yang memberikan tanggapan yang keras terhadap dakwah Nabi. Suatu kali, Walid bin Mughirah pernah merasa iri pada Nabi Muhammad. Dia lantas berkata, “Mengapa pula Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad, dan menacuhkan aku sebagai pembesar Mekkah dan Urwah bin Mas’ud, pembesar Thaif.” Pada masa inilah dimulai penyiksaan terhadap komunitas Muslim pertama, khususnya kaum lemah (tidak mendapatkan proteksi kabilah, atau kaum pendatang) sepeti Ammar bin Yaser dan Bilal bin Rabah. Tekanan-tekanan ekonomi juga dilangsungkan untuk melakukan gangguan psikologis atas generasi awal Islam, sehingga beberapa kalangan Islam yang lemah terpaksa melakukan beberapa kali eksodus, terutama ke Habasyah dan Thaif.
2. Penjelasan Kabilah
Dalam bagian ini, Al-Jabiri menerangkan bagaimana peran unsur kekerabatan baik bersifat positif maupun negatif dalam perilaku politik atau memainkan otoritas kelompok yang dirasakan atau dimanfaatkan oleh Nabi, sejak awal mula dakwah sampai terbentuknya negara Madinah. Domain kabilah ini terbatas pada suku-suku Quraisy di Mekkah, dan interaksi mereka dengan beberapa kelompok di Madinah. Efektivitas unsur akidah bersifat alamiah belaka, tapi digerakkan oleh unsur kekerabatan atau loyalitas, aliansi ataupun kedekatan jarak antar individu. Sebagaimana dimaklumi, dalam masyarakat kabilah, berlaku hukum perseteruan antarkabilah (qânûn shirâ‘il qabilî). Dan dalam sistem kabilah, berlaku prinsip yang menunjukkan solidaritas kesukuan, seperti ungkapan “anâ wa akhî ‘alâ ibn ‘ammî, wa anâ wa ibn ‘ammî alal gharîb” (aku dan saudaraku [berpihak] pada anak pamanku; dan aku besarta anak pamanku berpihak pada yang [bermusuhan] dengan orang asing).
Pada periode Mekkah, kabilah Quraisy merupakan kabilah yang paling kuat. Kata Quraisy sendiri merupakan penamaan untuk sekumpulan kabilah-kabilah yang dinisbatkan langsung ke sosok Fahr, nenek moyang suku-suku Arab Mekkah yang telah mendiami Mekkah sebelum, ketika dan sesudah meningalnya Nabi. Konfigurasi suku-suku yang menghuni Mekkah ketika itu akan menunjukkan secara jelas bagaimana peran kesukuan dalam masyarakat Mekkah. Sebagaimana diterangkan Karena Armstong, di dalam etika masyarakat suku, individualitas melebur di dalam kolektivitas suku. Solidaritas suku amat kuat dan bersifat koersif dalam menggerakkan emosi individu-individu. Perseteruan antarsuku merupakan hal biasa, dan hanya dapat diredam oleh mekanisme vendetta (al-tsa’r). Pendek kata, betapapun buruknya persepsi tentang vendetta, dia merupakan salah satu mekanisme untuk bertahan hidup dalam komunitas kesukuan.
Setidaknya ada dua belas suku yang mendiami Mekkah masa dakwah Nabi di Mekkah. Mereka hidup di Mekah tanpa otoritas yang tersentralisasi. Untuk melakukan pelbagai perundingan untuk kepentingan mereka, Quraisy (kakek keempat Nabi) mendirikan “padepokan perundingan” (dârun nadwah). Dalam masyarakat kabilah, juga sudah dikenal aliansi-aliansi antarsuku untuk saling membantu. Aliansi itulah yang lantas memberikan semacam proteksi kepada tiap-tiap individu dalam sebuah kabilah agar tidak diperlakukan secara semena-mena oleh kabilah lainnya. Sebab dalam hal ini berlaku prisip: menyentuh salah seorang individu dalam sebuah kabilah akan berakibat pada reaksi seluruh anggota kabilah, dan potensial menyulut perang saudara. Pola hidup kesukuan seperti ini, sedikit banyak bersifat positif untuk keselamatan Nabi dan beberapa pengikutnya. Mereka yang merupakan anggota keluarga salah satu kabilah Quraisy tidak akan diperlakukan secara semena-mena. Paling tidak, ini terlihat dari peran Abu Thalib, paman Nabi yang gigih dalam memproteksi Nabi dari ancaman-ancaman penentangnya. Proteksi relatif atas Nabi dari kabilahnya ini agak kontras dengan para muslim dari kaum yang tidak punya tulang punggung dari kabilahnya sendiri, seperti Ammar, Bilal, dan Shuhaib. Intinya, Nabi mendapatkan perlindungan dari kerabatnya (Bani Hasyim dan Bani Muthallib) sekalipun mereka tidak turut serta mengamini dakwahnya.
Kuatnya peran positif kabilah dalam dakwah Nabi juga dapat dicermati dari dua peristiwa penting: keislaman Hamzah paman Nabi dan Umar bin Khattab. Hamzah masuk Islam secara tidak sengaja, dalam rangka menggertak kabilah yang mengejek dan menyakiti Nabi. Ketika itu, tersiat kabar bahwa Abu Jahl (klan Makhzum) mengejek dan mencerca Nabi kala berpapasan di bukit Shaffa. Berita itu sampai ke telinga Hamzah dari mulut sorang budak Abdullah ibn Jad’an (bani Taim, sekutu Bani Hasyim). Seketika itu juga Hamzah naik pitam dan mencari batang hidung Abu Jahal. Ketika berjumpa dia mengatakan, “Berani sekali Engkau mencercanya, sementara aku sudah menganut agamanya (padahal dia belum menganut Islam ketika itu), dan aku mengatakan apa yang dia katakan. Berikan padaku reaksi yang serupa kalau kau memang benar jantan!” Ketika itu, beberapa orang dekat Abu Jahal bereaksi untuk membela Abu Jahal, tapi mereka dilarang Abu Jahal, kuatir terjadi pertempuran berdarah antar kabilah yang potensial untuk tidak berkesudahan.
Kisah keislaman Umar juga memberikan indikasi kuat tentang peran dominan kabilah dalam masyarkat Arab dan pengaruhnya terhadap dakwah Nabi. Suatu ketika Umar sudah siap menghunuskan pedangnya untuk membunuh Nabi yang dia sebut sebagai “seorang Shabean yang telah memecah-belah harmoni Quraisy”. Dalam perjalanan menuju Nabi, dia diingatkan oleh Na’im bin Abdullah bahwa Bani Abdi Manaf (bukan hanya bani Hasyim) tidak akan membiarkan Umar hidup bebas tanpa membuat perhitungan atas kematian Muhammad. Umar akhirnya mengurungkan niatnya dan justru masuk Islam setelah tersentuh secara spiritual oleh makna Al-Qur’an dalam surat Thaha.
Pada akhirnya, Al-Jabiri berkesimpulan bahwa hubungan kesukuan yang sangat rumit itu tidak memungkinkan suku Quraisy untuk membersihkan aktivis-aktivis dakwah yang berada bersama Nabi. Maknanya, dakwah Nabi dapat tetap bertanah hidup –juga-- dalam naungan solidaritas kerabat dalam sistem kabilah. Bahkan, hubungan dengan Madinah, terutama dengan kabilah Aus dan Khazraj juga tidak lepas dari soal perimbangan kekuatan kabilah setelah Nabi merasa tidak lagi mempunyai kekuatan yang memadai sebagai penopang dakwahnya di Mekkah.
Tapi yang menarik, setelah pindah ke Madinah, Nabi relatif berhasil mengembangkan sistem persaudaraan lintaskabilah antara komunitas Muslim pertama (kaum Muhajirin dan Anshor), dan kaum Muslim dengan kabilah-kabilah Yahudi di Mekkah melalui Piagam Madinah (mitsâqul madînah). Intinya, pada periode Madinah, Nabi cukup berhasil mengantikan solidaritas kesukuan menjadi solidaritas lain yang bersiafat ideologis, yaitu solidaritas ummah atau millah. Bahkan, Nabi berhasil membentuk semacam “pakta pertahanan bersama” antara kaum muslim dengan Yahudi, untuk sama-sama memproteksi wilayah Madinah dari kemungkinan serangan Quraisy Mekkah.
Hanya saja, di samping peran-peran positif tadi, kabilah juga punya beberapa peran negatif. Sulitnya Nabi menembus proteksi kabilah terhadap individu-individu dalam kelompok kesukuan tersebut untuk menganut Islam termasuk di antara peran negatif kabilah. Penjelasannya tak lain karena individu-individu dalam sebuah kabilah bukanlah sosok-sosok yang otonom atau independen dari komunitasnya. Pilihan untuk mengambil arus yang berlawanan dan berbeda dari prinsip umum kabilah merupakan tindak bunuh diri (asybah bil intihâr). Di sinilah rahasia mengapa dakwah Islam kemudian mesti melakukan terobosan-terobosan dan penaklukan-penaklukan terhadap sistem kabilah yang menjadi tembok penghadang sesungguhnya. Tapi persoalan kabilah saja tidak cukup menjadi motif mengapa mereka sulit menerima dan ditembus. Lebih esensial dari sekedar kabilah adalah persoalan qhanimah; soal sumber-sumber ekonomi yang perlu dipertahankan dan belum adanya tanda dan jaminan bahwa hidup mereka akan lebih membaik dengan ikut terlibat dalam solidaritas keislaman. Dari sinilah perlunya membahas lebih lanjut faktor penjelas lainya, yaitu ghanimah.
3. Penjelasan Ghanimah
Suatu ketika, seorang penguasa Bani Umayyah bernama Abdul Malik bin Marwan menanya Urwah bin Zubeir tentang mengapa kaum Quraisy menentang dakwah Nabi. Urwah menjawab, “Ketika Nabi menyeru kaumnya dengan petunjuk dan pencerahan yang diturunkan kepadanya, mereka mulanya tidak menjauh, dan nyaris akan menanggapinya. Sampai kemudian Nabi menyebut-nyebut berhala mereka, maka datangnya sekelompok orang berharta melimpah mengingatkan mereka akan bahaya dakwah tersebut. Sejak saat itulah mereka menghindar dari Nabi, kecuali sedikit yang dijaga oleh Allah”. Di sini, sebenarnya terlihat sekali kontras luar biasa antara keyakinan (celaan terhadap berhala-berhala mereka) dengan kedatangan orang kaya yang umumnya tak lebih penting bagi mereka kecuali keselamatan harta benda mereka.
Menurut Al-Jabiri dan beberapa kajian tentang keyakinan Quraisy di masa Nabi, berhala-berhala bagi kaum Quraisy tidak sampai derajat “yang sakral” sehingga seseorang rela mati untuk mempertahankan kesakralannya. Berhala-berhala tersebut tak lebih dari simbol untuk menjaga sumber pendapatan dan tulang punggung ekonomi mereka. Mekkah merupakan sentra berhala masing-masing kabilah; tempat mereka berkumpul dalam ritual haji yang banyak mendatangkan devisa bagi suku-suku Quraisy. Rasionalisasi kekhawatiran mereka akan berhala tersebut tak lebih karena itu sama artinya dengan bertindak lancang atas sumber pendapatan dalam haji dan aktivitas ekonomi yang berkaitan denganya. Kekuatiran akan kehilangan sumber-sumber pendapatan mereka, membuat Quraisy dengan keras menentang dakwah Nabi.
Makanya, Al-Jabiri berpendapat bahwa perpindahan Nabi dari Mekkah ke Madinah juga dapat dibaca sebagai proses menjalankan dakwah dengan cara yang lain, seperti megutus ekspedisi dan menyerang kafilah dagang Quraisy, bukan semata-mata karena takut dan melarikan diri dari kejaran Quraisy. Cara-cara berdakwah seperti itu, ketika itu “dapat dibenarkan” sebagai bentuk “embargo” ekonomi atas Mekkah, demi menanti penyerahan total secara politis agar mereka selanjutnya memeluk Islam. Dari dalam penjelasan ini, pemikiran-pemikiran tentang qhanimah sudah muncul dalam nalar politik Islam permulaan. Kenyataan itu pulalah yang sudah dideteksi secara jeli oleh Nabi. Beberapa serangan Nabi atas kafilah Quraisy, misalnya yang terjadi di Buwath, dan beberapa perang seperti Perang Badar, tak lain demi memberikan pukulan ekonomis terhadap kaum Quraisy. Ini jugalah yang dapat dipahami dari penentangan Quraisy terhadap cercaan ayat-ayat Qur’an terhadap berhala-berhala mereka. Menyentuh persoalan berhala mereka, dalam pemahaman Quraisy tak lain adalah pengumuman perang terhadap sumber-sumber ekonomi mereka.
Dari perspektif ghaniman ini, Al-Jabiri menyatakan bahwa ghanimah pada awalnya bukanlah tujuan utama Nabi. Hanya saja, pukulan-pukulan terhadap kepentingan ekonomi Quraisy perlu dilancarkan demi menaklukkan mereka, sembari menegaskan bahwa hanya dengan Islam mereka akan dapat diuntungkan. Islamnya kaum Quraisy sangat berarti untuk mengislamkan suku-suku lain, karena mereka adalah suku yang berkuasa di Mekkah. Maka dari itu, proses penghadangan terhadap ekspedisi perniagaan Quraisy perlu dilancarkan dari Madinah, sebab jalur perdagangan antara Mekkah dan Syam (Syiria sekarang) akan melewati jalur Madinah. Nabi paham betul, bahwa strategi perang yang paling menyakitkan bagi Quraisy adalah yang dapat menyadarkan bahwa kepentingan niaga mereka akan benar-benar terancam.
Beberapa perang, seperti perang Badr benar-benar telah memberikan harta rampasan perang yang memadai bagi kaum Muslim di Madinah. Ketika itu pulalah, kekuatan Abu Jahal dan sukunya, Bani Makhzum benar-benar luluh lantak, dan Bani Umayyah kemudian menguasai Mekkah secara penuh. Setelah perang Badr dan banyaknya harta rampasan perang, turun surat Al-Anfal yang memberikan tuntunan teknis distribusi jatah ghanimah, yaitu 4/5 untuk yang ikut berperang, dan 1/5 untuk Allah dan Rasulnya. Sejak saat itu, persoalan ghanimah sudah menjadi bagian penting dari “bibit negara Madinah”, bahkan, bagi kalangan Muslim baru, menjadi salah satu stimulan untuk masuk ke dalam pangkuan Islam. Al-Jabiri juga menyebutkan sebanyak 17 ghazwah dan sirriyyah yang dilancarkan Nabi terhadap suku-suku badui sekitar Mekkah dan Madinah, dilancarkan untuk “memberi pelajaran” kepada mereka agar mau memeluk Islam, menambah wibawa Islam, atau untuk menjamin keamanan jalur perdagangan Islam dari Madinah ke Syam.
Hanya saja, persoalan ghanimah selain berperan positif juga punya dampak-dampak negatif terhadap perkembangan Islam selanjutnya. Al-Jabiri menyebutkan, banyaknya ghanimah yang dihasilkan dalam beberapa penaklukan, dan berduyun-duyunnya orang memeluk Islam tidak dapat mengiring mereka untuk melampaui derajat “Islam politis-perang” menuju Islam pada level akidah dan keimanan. Sisi-sisi negatif dari faktor ghanimah ini akan ikut andil dalam perpecahan kaum Muslim awal, bahkan sejak Nabi masih hidup. Cerita tentang ghanimah Hunain menjadi bukti akan hal ini. Sebelumnya, perang Uhud juga menjadi bukti bahwa faktor ghanimah selain merupakan faktor kekuatan, juga menjadi kelamahan di kemudian hari. Sisi-sisi negatif aspek berlanjut dalam kasus perang Tabuk dan Mu’tah (untuk melawan Imperium Romawi), dan bagaimana tanggapan kaum Muslim awal dalam peristiwa tersebut. Ketika Nabi mempersiapkan diri untuk berperang, banyak dari kaum Muslim baru yeng derajat keislamannya masih pada level loyalitas politik, enggan ikut perperang. Surat At-Taubah yang turun setahun menjelang wafatnya Nabi, menjadi bukti sejarah dan nyaris seperti laporan kritis tentang kondisi internal negara dakwah Nabi.
Pada tahun kesepuluh Hijriah, menjelang wafatnya Nabi, nyaris semua kabilah di Jazirah Arab sudah tunduk dan loyal kepada kepemimpinan politik Nabi. Nabi juga telah mengutus dan menempatkan wakil-wakilnya di tiap-tiap wilayah sebagai dutanya. Hanya saja, masuk akal kalau dikatakan bahwa Islamnya beberapa kabilah di Jazirah Arab itu --seperti islamnya kaum A’râb, kaum munafik Madinah, dan kaum Quraisy ketika penaklukan Mekkah dan suku Tsaqif-- semuanya dapat dikatakan sebagai bentuk Islam politis ketimbang Islam ideologis. Kala itu, salah satu pertanda loyalitas kepada suku yang menang (Nabi di Madinah) adalah dengan cara memberikan upeti secara rutin, tidak beraliansi dengan musuh, dan tidak menunjukkan permusuhan nyata. Hanya saja, sebagaimana biasanya, loyalitas itu akan berhenti dengan matinya sang pemimpin/penakluk. Inilah yang terjadi kemudian dengan negara dakwah Nabi. Demi mendengar sakitnya Nabi, beberapa kabilah tersebut bergegas murtad lagi (membelot dari Islam), para dukun mengaku diri sebagai nabi baru, dan beberapa kepala suku melakukan pemberontakan.
Tapi yang menarik, kebanyakan kabilah yang membelot dari “kekuasan sentral” tersebut tidak termasuk dua kabilah besar, Quraisy dan Tsaqib; dua kabilah yang dulunya menjadi musuh bebuyutan Nabi. Ini disebabkan, kekuasaan di pusat telah berjalan mengarah pada prakondisi menuju negara Quraisy sejati.
Dari Riddah Ke Fitnah
1. Penjelasan Kabilah
Dalam bahasan ini Al-Jabiri menjelaskan problem suksesi kepemimpinan politik setelah mangkatnya Nabi. Menurut Al-Jabiri, kajian atas beberapa riwayat tentang suksesi kepemimpinan politik setelah mangkatnya Nabi dan bagaimana prosesi pengangkatan Abu Bakr sebagai pengganti Nabi dalam urusan kepemimpinan negara baru Madinah, menunjukkan bahwa faktor kabilah --berbeda dari bahasan sebelumnya yang menempatkan akidah sebagai bahasan awal-- merupakan faktor determinan dalam prosesi tersebut. Data-data sejarah tentang perdebatan sengit antara kalangan Anshar dan Muhajirin dalam penentuan siapa yang paling berhak memangku kepemimpinan politik setelah Nabi, menunjukkan secara terang benderang determinasi faktor kabilah (soal dari kabilah apa, unsur kedekatan dengan Nabi, kepermulaan masuk Islam, dan perimbangan kekuatan) dalam menentukan siapa yang paling berhak menjadi pemimpin. Problem ini muncul karena kematian Nabi bagi rata-rata umat Islam kala itu memang mengejutkan, lebih-lebih Nabi tidak mewasiatkan tentang siapa yang akan memangku jabatan pemimpin untuk melanjutkan misi Islam setelah dia wafat. Akhirnya, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, Abu Bakar keluar sebagai pemenang “pemilu sederhana” dalam masyarakat yang masih kuat mempertimbangkan faktor kabilah itu.
Menariknya, Al-Jabiri justru mengemukakan, selain karena kedekatan dengan Nabi, kewibawaan dan faktor-faktor lainnya, Abu Bakr juga dipilih karena dia berasal dari kabilah Taim yang kurang berpengaruh. Pemilihan itu didasarkan atas asumsi bahwa dengan tampilnya Abu Bakar yang notabene dari kabilah Taim yang kecil dan kurang berpengaruh, kedengkian kabilah yang lebih besar seperti Bani Umayyah dari kalangan Muhajirin dan Khazraj dari kalangan Anshar menjadi tidak beralasan. Dalam pandangan mereka, Abu Bakar tidak akan memimpin secara semena-mena dan bersikap memihak pada salah satu kabilah. Ini artinya, proses suksesi kepemimpinan dijalankan dengan logika politik belaka. Logika politik yang paling dominan ketika itu tak lain adalah logika kesukuan atau kabilah. Artinya, faktor akidah (wasiat Nabi, Hadis-hadis tentang keutamaan Quraisy, atau ayat-ayat, tidak digunakan dalam perdebatan pelik itu), dan faktor ghanimah belum menjadi pertimbangan penting. Artinya, para sahabat menganggap suksesi kepemimpinan tersebut sebagai masalah ijtihadi dan menggunakan mekanisme itu sembari tidak melupakan soal perimbangan kekuatan (mizânul quwâ), kemampuan (maqdirah), kecakapan (kafâ’ah), dan kepentingan negara (mashlahatud daulah). Hanya saja, semua itu tetap berada dalam kerangka kabilah, lazimnya dalam sebuah masyarakat kesukuan. Selain soal determinasi kabilah, Al-Jabiri juga tidak lupa mengatakan bahwa dakwah Nabi Muhammad telah berhasil melampaui logika kabilah (dalam maknanya yang sempit), dan menggantikannya dengan logika ummah sebagai proyek masa depan Islam.
Hanya saja, proses suksesi kepemimpinan kepada Abu Bakar meskipun berlangsung aman dan lancar di pusat (poros kekuasaan), tetap saja menimbulkan beberapa pergolakan di wilayah-wilayah (daerah satelit). Pemberontakan yang dalam terma fikih disebut sebagai soal kemurtadan (riddah, irtidâd), terjadi di pelbagai daerah, kecuali di Mekkah, Madinah dan Thaif. Persolan inilah tantangan pertama yang dihadapi Abu Bakr: merekonstruksi fondasi negara (i‘âdat binâ’id daulah) ataupun “penaklukan ulang” (i‘âdatul fath).
Pada masa pemerintahan Umar, negara Islam betul-betul sudah berada di dalam genggaman Quraisy, tanpa pesaing berarti. Merekalah orang-orang yang bergiat melakukan gerakan penumpasan atas pemberontakan-pemberontakan di pelbagai wilayah. Di Irak dan Syam, mereka berhasil menaklukkan kekuasaan dua imperium besar Parsi (di Irak) dan Romawi (di Syam). Yang menarik, setelah Umar wafat, terjadi persaingan kepentingan antara Ali bin Abi Thalib (klan Hasyim) dengan Utsman bin Affan (klan Umayyah). Persaingan ini mengingatkan kembali persaingan antara kedua klan tersebut pada era sebelum Islam, yang dimenangkan klan Hasyim dan menyingkirnya klan Umayyah ke Syam. Tapi kali ini, klan Umayyah tergolong lebih kuat dari klan Hasyim. Beberapa pembesar klan Umayyah adalah orang-orang yang berjasa dalam penaklukan Islam dan menjadi penguasa Islam di beberapa wilayah taklukan. Sementara Ali lebih banyak berada di Madinah, tidak terlalu berpolitik, dan lebih banyak aktif dalam kegiatan sosial, umpamanya mengelola panti kaum yang lemah. Inilah agaknya rahasia mengapa klan Umayyah berikutnya lebih berkuasa dan berhasil mengalahkan Ali dalam pelbagai percaturan politik kekuasaan.
Faktor kabilah masih juga terlihat jelas baik dalam kebijakan Abu Bakar, Umar maupun Utsman. Abu Bakar bersikap keras terhadap para pemberontak dan kemudian memperlakukan mereka --setelah takluk-- ibarat perlakuan atas para pecundang sebagai sanksi atas pembelotan mereka. Mereka juga tidak diikutsertakan dalam penaklukan-penaklukan besar seperti terhadap Irak ataupun Syam. Ketika Umar memerintah, “mereka yang pesakitan itu” kembali diikutsertakan dalam proses penaklukan Irak dan Syam. Pada masa Utsman, kendali Quraisy atas Arab lainnya, terutama klan Umayyah lebih menonjol dan lebih kentara lagi. Al-Jabiri menafsrikan bahwa pemberontakan di pelbagai daerah taklukan Islam, juga berarti pemberontakan Arab lainnya atas kekuasaan Quraisy. Selain, di Syam yang relatif dapat dikendilan oleh klan Umayyah, Kufah, Bashrah dan Mesir, masih merupakan barak golongan Arab non-Quraisy (lebih spesifik non-Umayyah) yang merasa sesaknya nafas berada di bawah hegemoni Quraisy-Umayyah. Mereka merasakan jerih payah menaklukkan daerah-daerah tersebut dengan tenaga mereka sendiri, tapi jatah ghanimah, kharâj, dan jizyah selalu terbang ke kekuatassn pusat Quraisy di Madinah.
Pada episode sejarah selanjutnya, pemberontakan mereka akan terlihat lebih nyata lagi dalam peristiwa persekutuan beberapa kabilah yang mendendam terhadap Quraisy, dan khususnya kebijakan politik Utsman yang benar-benar mengukuhkan kekuasaan Umayyah. Kabilah-kabilah Arab di Kufah, Bashrah dan Mesir, bersepakat menuju Madinah dengan berkedok ritual umrah pada tahun 35 Hijrah. Mereka menuntut Utsman untuk mengubah kebijakan, mundur dan memecat beberapa penguasa Umayyah yang berada di tempat mereka masing-masing (baik di Syam, Kufah, Bashrah maupun Mesir). Tapi ketika itu perundingan mengalami jalan buntu (deadlock) sehingga berakhir tragis dengan kematian Utsman.
Lalu Ali tampil ke tampuk pimpinan khilafah. Kondisi sudah terlalu runyam untuk bisa dikendalikan. Jelas sekali, saat itu konflik utama berlangsung antara klan Umayyah melawan suku-suku Arab yang banyak berpihak kepada Ali. Peperangan akhirnya meletus antara pasukan Ali melawan koalisi Zubeir, Thalhah dan Aisyah di Kufah (Perang Unta). Ali juga berperang melawan Muawiyah di Syam (perang Shiffin). Menariknya, Al-Jabiri menyebutkan bahwa kekalahan Ali melawan Muawiyah, pada titik akhirnya lebih disebabkan “kontradiksi internal” di dalam pasukan Ali sendiri yang terdiri dari persekutuan beberapa suku Arab non-Umayyah. Dalam artian, Ali tidak mampu melakukan harmonisasi yang memadai antar pelbagai kepentingan suku yang berperang di pihaknya. Kenyataan ini dalam analisis Al-Jabiri lebih disebabkan karena Ali bukan seorang politisi ulung sebagaimana Muawiyah. Dia lebih tepat dikatakan sebagai seorang “pekarja sosial” yang tiba-tiba menjadi politisi setelah mengalami pelbagai kekalahan dalam prosesi suksesi kepemimpinan puncak.
“Ketidakcakapan Ali” dalam melakukan harmonisasi antarkabilah yang berperang bersamanya itu kemudian berbuntut pada hilangnya nyawanya sendiri. Peristiwa itu terkait erat dengan dendam kelompok Khawarij yang diperangi Ali dalam perang Nahrawan. Ali dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam pada bulan Ramadan tanun 40 Hijriah. Pada akhirnya, dengan terbunuhnya Ali, melalui usaha yang keras, Muawiyah berhasil mengambil tampuk kekuasaan dan meredam pelbagai peperangan. Muawiyah datang ke Kufah untuk kemudian dibaiat oleh umat Islam, lantas menetapkah tahun tersebut (41 Hijriah) sebagai “tahun rekonsiliasi” (‘âmul jamâ’ah). Dengan tampilnya Muawiyah dalam pentas sejarah kekuasaan politik Islam, dimulilah era baru bagi sebuah “negara-raja-politikus” (daulatul malikis siyâsî).
2. Penjelasan Ghanimah
Umum diketahui, dua prasyarat utama untuk menopang sebuah negara adalah tentara dan kekuatan finansial (al-jund wal mâl). Dalam konteks itu, dalam sebuah adagium Arab tersiar istilah “al-mulk bil jund wal jund bil mâl” (sebuah kerajaan mesti [ditopang oleh] prajurit, dan prajurit mesti [ditopang dengan] duit). Dalam sejarah Islam awal, sumber pendapatan negara yang utama adalah ghanimah, zakat dan pendapatan lainnya. Zakat dalam pandangan kabilah-kabilah Arab ketika itu setara saja dengan upeti (itâwah) yang berlaku sebelum Islam, dan dipersembahkan bagi sebuah suku terkuat, selagi perimbangan kekuatan mensyaratkan itu. Pembelotan kabilah-kabilah pada masa Abu Bakar dapat dilihat dari perspektif ini. Bagi kabilah-kabilah yang membelot, loyalitas politik berikut “upetinya” hanya berlaku sepanjang hayat masih dikandung badan Muhammad. Untuk itu, tidak ada keharusan bagi mereka untuk melanjutkan setoran kepada Abu Bakar setelah Muhammad wafat.
Tapi dalam pandangan Abu Bakar, meremehkan persoalan zakat berkaitan erat dengan persoalan otoritas, atau setara dengan menyerahkan sebagian otoritas negara kepada kaum pemberontak. Abu Bakar yang ahli tentang sistem hidup kabilah tahu betul logika berpikir itu. Makanya, sedikit unjuk kekuatan menjadi penting untuk mengikat loyalitas mereka, sekalipun kebijakan tersebut pada mulanya ditentang keras oleh Umar, mengingat mereka juga telah mengucap dua kalimat syahadat. Tapi, dalam pandangan Abu Bakar, perang melawan kaum pembelot merupakan upaya rekonstruksi terhadap fondasi negara yang sudah dirintis oleh Nabi.
Logika ghanimah pertama kali dalam Islam terlihat kentara ketika Abu Bakar membujuk kabilah-kabilah Arab di Mekkah, Thaif, Yaman, Nejd, Hijaz dan lainnya untuk berjihad dengan iming-iming harta rampasan perang Romawi. Lebih lanjut, di masa Umar pun iming-iming harta rampasan perang masih digunakan dalam rangka penaklukan kekuasan Parsi di Irak. Asumsi utama Al-Jabiri menyebutkan, terdapat prasyarat objektif dan subjektif (di antaranya untuk mendapatkan mati syahid atau hidup senang) ketika kaum muslim bergiat melakukan penaklukan-penaklukan tersebut. Asumsinya lebih lanjut mengatakan bahwa pada generasi-generasi awal, faktor akidah (demi tersiarnya Islam) memang sangat dominan. Tapi pada generasi Islam berikutnya, khususnya pada kabilah-kabilah yang secara massal masuk Islam, sangat sulit untuk menafikan dorongan ghanimah dari alam bawah sadar mereka.
Pada masa Abu Bakar, kekayaan yang berasal dari ghanimah tidak seberapa. Tapi pada masa Umar, ghanimah berlimpah ruah, karena menyangkut warisan dua imperim besar yang rampasan perangnya lebih berkilau dibandingkan rampasan perang hasil penaklukan kabilah-kabilah di Jazirah Arab yang tandus. Pendek kata, Al-Jabiri ingin menegaskan bahwa persoalan ghanimah tidak bisa dilepaskan dari nalar Arab sama sekali dalam proses penaklukan-penaklukannya terhadap beberapa wilayah.
Tapi persoalan ghanimah menjadi masalah khususnya dalam kebijakan penguasa dalam soal distribusinya. Di masa Abu Bakar, semua hasil ghanimah diberikan secara merata kepada kaum muslim dan tanpa tesisa sedikitpun untuk Baitul Mal. Jatah per kepala pun disamakan antara semua yang ikut serta dalam perang (prinsip sama rata sama rasa?). Kebijakan Abu Bakar ini, tentu punya kelemahan dan kelebihan tersendiri. Kelebihannya, jurang antara yang miskin dan kaya di kalangan umat Islam relatif bisa dibendung. Sementara kekurangannya, dia mendapat kritik dari banyak kalangan, khususnya kaum Muslim awal; bagaimana mungkin Abu Bakar memberi jatah yang sama antara mereka yang dulu masuk Islam dengan para mualaf atau yang menganut Islam politis?
Kebijakan soal ghanimah berubah di masa pemerintahan Umar. Kriteria kedekatan dengan Nabi (al-qarâbah) dan asas permulaan memeluk Islam (‘aqîdah) mulai diberlakukan. Umar juga berinisiatif membuat “Kantor Distribusi” (diwânul ‘athâ’) setelah semakin banyak harta rampasan yang perlu dimenej. Al-Jabiri mencermati, bahwa persoalan distribusi rampasan perang menjadi landasan pada perkembangan selanjutnya dalam pengorganisasian kabilah dan rekonstruksinya. Pada titik ini, pada era Umar muncul persoalan pelik menyangkut bagaimana mengorganisasi tanah-tanah pertanian hasil rampasan perang di Irak, Syam dan Mesir yang terkenal subur itu. Umar mengambil kebijakan hasil olah pikirnya, yang bertentangan dengan makna literal yang ditetapkan Al-Quran dalam soal itu. Semestinya, tanah-tanah tersebut, menjadi hak para prajurit yang ikut dalam pepeperangan. Tapi Umar mengambil kebijakan lain mengingat para tentara tersebut terdiri dari kabilah-kabilah Badui yang tidak biasa bercocok tanam. Kalaupun mereka dianggap bisa bercocok tanam, siapa yang akan memangku tugas untuk berjihad?
Sebuah tantangan berada di pundak Umar, apalagi banyak para sahabat yang ingin menerapkan prinsip teks-teks Al-Qur’an secara literer (mereka mendapat bagian 4/5). Tapi Umar relatif mampu menanggulangi kemelut itu walau dengan susah payah. Sekarang, sumber pendapatan negara Islam menjadi dua: baitul mâl (pendapatan dari pajak tanah) di samping ghaniman dan pendapatan-pendapatan temproral lainnya. Tapi kebijakan Umar tadi, ditambah kebijakan-kebijakan lainnya yang dianggap mengekang kebebasan individu untuk menggunakan hartanya, juga ditentang oleh kebanyakan sahabat. Bahkan, Al-Jabiri menyebut kemungkinan adanya “konspirasi elit Quraisy” dalam pembunuhan Umar yang dilakukan Abu Lu’lu putra Mughirah, pembesar Quraisy yang dulu pernah menjadi saudagar kaya di Mekkah era Jahiliyah .
Pasca Umar, kebijakan Utsman yang berlatarbelakangan seorang pedagang dalam soal perekonomian negara berbeda dengan Umar. Umar masih mampu menahan lajunya konglomerasi di dalam negara. Tapi pada masa Utsman, konglomerasi mulai muncul ke permukaan. Utsman tidak terlalu berhitung dengan harta, dalam artian tidak terlalu ambil pusing dengan soal manejemen keuangan. Dia masih mengikuti pola Umar dalam distribusi kekayaan, tapi melampauinya sampai pada tingkat kroniisme yang akut dengan memberikan banyak previlese kepada para kerabatnya, khususnya klan Umayyah, dari dana Baitul Mal, seakan-akan harta pribadinya. Bahkan, ketika protes di sana-sisi atas kebijakannnya dalam mendistribusikan kekayaan negara, dia malah mengatakan, “Mengapa aku tidak berhak untuk menggunakan sisa kekayaan itu sesuai yang aku mau; untuk apa aku menjadi pemimpin?!” Utsman juga mulai membuka ruang buat berkuasanya kembali para spekulan lama dalam dunia perekonomian Mekkah zaman Jahiliyah. Kebijakan-kebijakan ekonominya dipandang kurang berpihak kepada kaum lemah. Ketika itulah, mulai terkonsentrasi kekayaan masyarakat pada segelitir orang dari pembesar Quraisy. Jurang antara yang berpunya dan yang papa semakin menganga. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang kurang berpihak pada orientasi pemerataan, ditambah penempatan beberapa wakilnya yang tidak cakap dari sisi kredibilitas keislaman inilah yang menjadi motor penggerak pemberontakan di daerah-daerah satelit terhadap kebijakan poros kekuasaan Madinah.
Pasca kematian Utsman, tidak gampang bagi Ali untuk memerintah dalam suasana yang relatif chaos. Dia dituntut dari berbagai sisi untuk menuntaskan banyak perkara; menegakkan sanksi bagi pembunuh Utsman, tapi sekaligus juga menenangkan para pemberontak yang sudah menguasai Madinah. Ali didesak oleh sahabat-sahabat seperti Thalhah dan Zubeir untuk menuntaskan kasus Utsman. Tapi dia juga dikepung oleh pemberontak yang merasakan kebijakan distribusi kekayaan yang salah pada masa pemerintahan Utsman. Makanya, sambil berkelit Ali suatu kali berkata, “Aku tidak meyuruh mereka memberontak, tapi kenapa Engkau menyalahkan aku?!” Ali kemudian mengambil kebijakan radikal dengan memecat beberapa orang kepercayaan Utsman, walaupun kekuasaan sesungguhnya tidak lagi di tangannya. Memang, Ali dikenal sebagai orang yang sangat dekat dengan kalangan pemberontak yang bergerak atas motif kemiskinan yang sudah mendera mereka. Dia juga menjadi simbol penuntut keadilan. Hanya saja, prinsip keadilan selalu dipersepsi macam-macam. Ali tetap setia dengan keadilan hakiki tanpa pretensi lainnya yang cenderung abstrak, sementara para pemberontak menuntut keadilan dalam bentuk kongkritnya: soal penambahan pendapatan (ziyâdatul ‘athâ’i). Artinya, Ali gagal menangkap kebutuhan material para pemberontak, dan tidak berhasil mendamaikan antara unsur akidah, ghanimah dan kabilah. Muawiyah pada akhirnya berhasil memungsikan semua motif-motif tersebut untuk memenangkan pertarungan politik.
3. Penjelasan Akidah
Menurut Al-Jabiri, kekacauan yang terjadi dalam sejarah Islam yang telah diulas di atas tidak hanya karena faktor dominasi Quraisy terhadap qhanimah, tapi juga disebabkan protes pada level akidah; bagaimana harus memimpin atas dasar Kitab, Sunnah dan tradisi Abu Bakar dan Umar. Pada bahasan kategori akidah ini, Al-Jabiri menguraikan iklim umum budaya Arab yang ikut berperan dalam menggerakkan kalangan yang mendakwakan diri sebagai nabi-nabi pasca Muhammad. Intinya, berdasarkan penjelasan kultural itu, beberapa kabilah Arab memandang bahwa soal kenabian hanyalah “fenomena biasa” yang masuk dalam bingkai gerakan hunafâ’ yang tidak terpisah dari hidup pertapaan ala Kristen. Fantas-fantasi lama Arab tentang kenabian sebagai sebuah fenomena biasa tidak bisa dilenyapkan sama sekali. Dalam sejarah Islam tercatat, mereka yang masuk Islam dalam suasana penaklukan di masa Abu Bakar, dan mereka sibuk dengan peperangan di masa Umar tidak cukup waktu untuk mengukuhkan keyakinan Islam pada level akidah. Jadi pada level akidah, masuk akal kalau mereka belum betul-betul dapat terlepas dari fantasi-fantasi lama mereka. Di sini, Al-Jabiri juga mengulas secara panjang lebar tentang peran sosok-sosok seperti Abdullah bin Saba’ dalam memberikan kerangka kultural bagi terciptanya fantasi-fantasi tentang kenabian, dan beberapa pemikiran yang relatif aneh di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Sebagian dari klaim-klaim Abdullah bin Saba’ tersebut nantinya akan berkembang juga dalam sejarah Islam, sebagaimana diulas Al-Jabiri dalam bahasan tentang mitologi pemimpin.
Sementara pada level kebijakan khalifah, Al-Jabiri memaparkan protes-protes Ammar bin Yaser, Abu Dzar Al-Ghifari dari kalangan yang terpinggirkan dengan menggunakan terma-terma agama. Menurut Al-Jabiri, kalangan mustadh’afin dulunya itu, termasuk kalangan yang ekstrem dalam soal keyakinan. Pendek kata, Ammar dan kawan-kawan, dalam istilah Al-Jabiri menggunakan logika kaum revolusioner (manthiquts tsaurah) merujuk pada kenangan mereka yang belum lenyap tentang revolusi atas berhala-berhala Mekkah. Sementara, Utsman dan beberapa kerabatnya berpikir menurut alur logika aparatur negara (manthiqut daulah). Dua logika yang sulit bertemu.
Negara Penguasa Panggung Politik
Tampilnya sosok Muawiyah bin Abi Sufyan di puncak kekuasaan Islam, dalam beberapa karangan Sunni ditanggapi cenderung positif, karena dia dianggap lebih baik --paling tidak lebih cakap dalam menajeman konflik-- daripada Ali. Lebih dari itu, dia dianggap sebagai orang yang berhasil menyelamatkan kekuasaan Islam dari keruntuhan yang total (al-inhiyârut tâm). Makanya, Al-Jabiri juga menilai bahwa Muawiyah telah melakukan rekonstruksi kedua atas kekuasaan Islam setelah konstruksi pertama (zaman Nabi) dan rekonstruksi pertama (zaman Abu Bakar). Hanya saja, puja puji terhadap Muawiyah dalam konteks ini, tidak diperbandingkan dengan sosok khalifah sebelumnya seperti Abu Bakar, dan Umar, tapi dikiaskan dengan mereka yang datang sesudahnya. Makanya, bagi Al-Jabiri, kalau negara dipandang sebagai sebuah fenomena politik belaka, maka negara Muawiyah tak ayal lagi dapat dikatakan sebagai awal mula negara politik dalam Islam; negara yang akan menjadi percontohan untuk era berikutnya, sampai saat ini. Lebih dari itu, Al-Jabiri menilai bahwa Muawiyah dalam perspektif modern, telah berhasil menciptakan apa yang dia sebut sebagai “domain politik” (al-majâlus siyâsî). Yang dimaksud domain politik di sini bukan karena dia berhasil mentransformasikan sebuah negara dari negara kabilah menjadi sebuah kuasa yang tiran (al-mustabiddul ‘âdil atau at-thâghiyah al-mustanîr); bukan juga karena dia berhasil menciptakan negara insitusional laiknya Eropa zaman modern. Tapi, yang dianggap sebagai domain politik di sini tak lain keberhasilannya mentrasformasikan negaranya dari sekedar sebuah negara yang sangat ditentukan oleh tiga faktor determinan tadi (akidah, kabilah, ghanimah), menjadi negara yang memainkan politik dalam tiga kerangka tersebut. Al-Jabiri menyebut, persoalan negara Muawiyah bukan hanya persoalan terjadinya transformasi dari negara khilafah menuju kerajaan, tapi berkembangnya konsep kenegaraan dari kekosongan domain politik menjadi negara dengan domain politik yang jelas; dimana politik dimainkan sebagai politik, sekalipun masih dalam kerangka tiga faktor penjelas tadi.
Persoalan domain politik itu tidak lepas dari peran Muawaiyah sebagai pemancang tonggaknya. Domain politik ditegaskan Muawiyah dalam pidato politiknya di Madinah saat tahun rekonsilkiasi (tahun 41 H). Dia menegaskan, “Aku sungguh tidak diangkat atas kecintaan dan kesenangan hati kalian. Tapi aku telah menaklukkan kalian dengan pedangku. Aku ingin menempuh cara-cara Abu Bakar ataupun Umar, tapi kemudian aku lari dari cara-cara tersebut. Aku ingin mengikuti cara Utsman memimpin, tapi tentu Ali tidak akan senang. Maka, aku kemudian menempuh caraku sendiri yang aku anggap bermanfaat bagi kamu. Maka, sebaiknya harus ada representasi yang pantas (muwâkalah hasanah) dan anutan (syâribah) yang baik. Kalupun aku tidak lebih baik dari kalian, setidaknya aku akan lebih baik menjadi representasi kalian. Sungguh, aku tidak akan menghunus pedangku kepada orang yang tidak berpedang…”
Pidato politik Muawiyah pasca berkuasa ini merupakan bentuk keterputusan (qathî‘ah) tradisi politik langsung dari tradisi masa Abu Bakar dan Umar pada level retorika politik. Tapi Muawiyah sudah menunjukkan kekuasaannya secara de facto, dan para penentangnya sebagian menerima atau pasrah dengan kenyataan itu, kecuali kaum Khawarij yang terus menerus melakukan perang gerilya. Pidato politik Muawiyah ini juga dapat disebut sebagai kontrak politik (‘aqd siyâsî) yang baru. Dalam pandangan Al-Jabiri, Muawiyah telah melancarkan politik dengan iklim yang relatif liberal (asal tidak mengangkat pedang, oposisi dibolehkan). Muawiyah dalam pandangan Al-Jabiri juga telah memberikan kebebasan berkspresi. Atas asas kebebasan yang relatif itu jugalah Dinasti Umawi dapat berumur panjang. Yang menarik dari itu, Al-Jabiri juga mengelaborasi bagaimana gerakan pencerahan dapat tumbuh berkembang di masa Dinasti Umawi sampai berhasil membentuk front sejarah (al-kutlah at-târikhiyyah) yang berhasil menumbangkan kekuasaan Umawi pada akhirnya.
Intinya, dari pidato politiknya itu, Muawiyah hanya ingin melakukan “apa yang dia mampu atas landansan manfaat”. Tapi problem pelik kemudian muncul seputar legitimasi dirinya menjadi pemimpin, selain soal kenyataan bahwa de facto dia sudah menjadi penguasa yang gagah perkasa. Pada level inilah Al-Jabiri menguraikan bagaimana Muawiyah mengembangkan ideologi fatalisme (jabar); bahwa dirinya sudah ditakdirkan Tuhan untuk memimpin. Hanya saja, ideologi tersebut mendapat tantangan keras dari kaum Khawarij yang selalu mendengungkan hukum Tuhan atau dalam istilah Al-Jabiri mengukuhkan sebentuk “sakralisasi politik” (taâli bis siyâsah). Makanya, kebebasan relatif pada level pemikiran, keagamaan dan politik yang dibuka oleh penguasa Umawi, juga dapat dibaca sebagai cara untuk mengurung kelompok Khawarij dalam kerangkeng yang sempit, baik dalam level akidah maupun kabilah. Artinya, dinasti Umawiyah ingin menetralisir elit agama dan pemikiran untuk tidak terlibat dalam revolusi yang tak berkesudahan sebagaimana yang dilancarkan kaum Khawarij yang memanggul senjata. Makanya, para penguasa Umayyah tidak segan-segan untuk “menertibkan” para elit pemikir atau agama yang meningkatkan derajat oposisi mereka dari oposisi pada level kata-kata menuju level senjata.
Pada saat ini pulalah dalam Islam mulai berkembang mazhab-mazhab keagamaan yang sebetulnya partai politik, seperti kaum Murjiah yang diwakili sosok-sosok seperti Abdullah ibn Umar, Saad bin Abi Waqash, Muhammad bin Muslimah, dan mereka yang mengambil posisi netral. Artinya, Dinasti Umayyah pada level akidah berhasil memungsikan ideologi untuk menggiring sebagian rakyat mengambil posisi abstain (mawqiful hiyâd). Para Ahli Hadis, seperti yang permulaan Abu Musa Asyari ikut andil dalam menggiring massa untuk bertindak netral, khususnya tentang perdebatan seputar pelaku dosa besar. Pada level ghanimah, dinasti Umayyah behasil menggalang loyalitas para ahli Hadis, qurra’ dan pendongeng untuk bergantung pada pemberian khalifah (‘athâ’ul khalîfah). Di sini, domain politik berhasil diciptakan oleh Dinasti Umayyah, dan sebentuk “sekularisasi” berhasil diterapkan dengan terpisahnya institusi agama dengan institusi pemerintah (contohnya independensi peradilan).
Menariknya, pada masa Umayyah juga berlangsung artistokrasi Arab atas non-Arab. Benar bahwa dalam syariat tidak ada pembedaan antara Arab dan non-Arab (mawâli). Tapi pada kenyataannya, para pembesar Arab tidak menganggap non-Arab sederajat dengan mereka. Mereka misalnya, tidak mempromosikan anak mereka dengan orang non-Arab, mengaggap kerajianan tangan sebagai lapangan kerja rendahan non-Arab, bahkan tidak menganggap pentingya ilmu dan agama, kecuali ilmu tentang nasab Arab. Makanya, setelah mangkatnya tiga Abdullah (Ubâdilah), Abdullah bin abbas, Abdullah bin Zubeir, Abdullah bin Amr bin Ash, maka kegiatan ilmu pengetahuan berpindah tangan kepada golongan non-Arab.
Dalam siasat terhadap kabilah, jelas bahwa dinasti Umayyah membangun legitimasinya dari klaim kequraisyan. Hanya saja, tidak semua Quraisy, tapi dibatasi pada klan Umayyyah saja. Salah satu cara Quraisy untuk mempertahankan kekuasaan mereka juga dengan mengatur siasat peperangan: medan yang sangat beresiko diberikan kepada non-Quraisy dan selain sekutunya, sementara yang kurang beresiko dilakukan Quraisy.
Sementara itu, pada level ghanimah, bingkisan atau hibah politik (‘athâ’ siyâsî) merupakan salah satu ketentuan penting Dinasti Umayyah. Bahkan, terhadap Ali dan keluarganya pun Muawiyah sangat ringan tangan memberi berbagai bingkisan. Bingkisan politik merupakan salah satu senjata mereka untuk memainkan politik pada level kabilah, untuk membungkam oposisi dan mengurung penentang-penentangnya. Keroyalan dinasti Umayyah pada level ghanimah tentu punya sumber-sumbernya. Sumber terpenting adalah rampangan perang, pajak tanah, dan lain-lain. Tapi ketika perang berhenti, otomatis tidak ada lagi ghanimah, dan pajak tanah juga tidak memadai. Maka tak ada jalan lain, negara harus menguras apa yang bisa dikuras (istikhrâj) agar tidak terjadi ketimpangan antara neraca pengeluaran dan pemasukan, yang berarti krisis. Maka tak ada jalan lain, pajak-pajak atas wilayah-wilayah taklukan harus ditingkatkan untuk menambah pendapatan. Maka dari itu, sekalipun “negara dermawan” itu dapat merebut simpati sebagian, membungkam sebagian, dan menangguhkan pemberontakan oposisi, tapi dia tidak bisa bertahan selamanya. Akibatnya, kebijakan yang bertentangan dengan syariat pun diterapkan: penarikan jizyah atas para muslim baru, dan pengalihan tanah kharaj menjadi tanah yang dikuasai oleh para aristokrat Arab-Quraisy.
Pada masa “khalifah ideal” Umar bin abdul Aziz (99-101 H), kondisi itu berusaha dia perbaiki. Dia meninjau kembali kebijakan-kebijakan tersebut. Tapi hal itu justru berakibat krisis pada keuangan negara royal tersebut. Maka khalifah setelahnya kembali kepada kebijakan semula untuk mempertahankan perimbangan neraca keuangan negara. Pada akhirnya, pengelolaan yang baik atas tiga faktor penentu keseimbangan dan kebertahanan Dinasti Umayyah tidak dapat dipertahankan dan menyebabkan Dinasti Umawi. Seabab, tiga faktor penentu keruntuhannya juga telah berhimpun secara sempurna: dekadensi pada level akidah, krisis pada level kabilah dan ghanimah. Revolusi akhirnya menang!
Mitologi Pemimpin dan Gerakan Pencerahan
Setelah menguraikan sejarah Bani Umayyah dengan tiga kunci dasar tadi, Al-Jabiri berusaha memotret perkembangan mitologi tentang pemimpin di kalangan Syiah yang mulai berkembang pada masa Dinasti Umayyah. Legitimasi agama dari mitologi kepemimpuinan beranjak dari klaim kalangan Sabean bahwa Ali merupakan pewaris (washiy) kekuasaan Nabi. Artinya, Nabi mewasiatkan agar Ali (sesama Bani Hasyim dan keponakan Nabi) menjadi pemimpin setelahnya. Yang berhak atas kepemimpinan bukan Abu Bakar, Umar, Utsman apalagi sampai jatuh ke tangah Bani Umayyah. Asumsi mereka dibangun dari perbandingan dengan 12 keturunan bani Israel (Ya’qub) yang akan menjadi pemimpin melalui wasiat.
Klaim wasiat sebetulnya sengaja dihidupkan untuk menentang soal pemilihan. Makanya, menurut Al-Jabiri, pada akhirnya, karena klaim Syiah berdiri atas penolakan pada prinsip syura dan pemilihan, maka sesungguhnya klaim tersebut juga bertentangan dengan rasionalisasi politik. Dari sinilah pangkal mula hidup berkembanganya mitologi pemimpin. Kalau dalam pemilihan, logika yang bermain adalah soal neraca kekuatan. Tapi dalam soal pewasiatan, yang menjadi legitimasinya adalah pewarisan (ilmu rahasia). Dalam persepsi mereka, pewasiatan merupakan unsur pentig kepemimpinan. Seorang pemimpin yang jeli tidak boleh membiarkan negara tanpa pewasiatan pemimpin sesudahnya. Maka, dalam pandangan Al-Jabiri, soal pewasiatan itu juga merupakan bagian dari keberkelitan dari kegagalan, penegasan akan kontinyuitas, paling tidak kontinyuitas harapan. Klaim-klaim seperti itulah yang kemudian dipompakan oleh penggerak mitos tentang kepemimpinan untuk menghidupkan harapan kalangan yang tertindas di masa Umayyah.
Salah satu bentuk mitologi kepemimpinan adalah pemikiran tentang al-mahdi atau “sang mesiah”. Inti pemikiran mesianistik adalah harapan akan munculnya pemimpin yang akan memimpin dunia dengan adil, khususnya bagi kalangan yang miskin. Ideologi ini kemudian menjadi ideologi kaum miskin dengan harapan agar mereka terbebas dari kepedihan hidup. Maka dari itu, menurut Al-Jabiri, gagasan tentang Al-Mahdi bukanlah gagasan keagamaan, tetapi merupakan cara untuk menghindar diri dari kekalahan dan kehancuran (secara psikologis) dan cara untuk tetap dapat berpegang kepada harapan. Fungsi mitos bagi beberapa kalangan di masa Umayyah adalah untuk melakukan perlawan secara simbolik, karena mereka tidak dapat melawan dengan senjata. Mitologi, bagi Al-Jabiri, adalah sebentuk irrasionalitas kaum lemah untuk menghadapi rasionalitas kaum yang kuat dan menang. Tapi mitos-mitos tentang kepemimpinan itu juga dapat digunakan untuk melakukan revolusi. Buktinya, kaum Abbasid menggunakan mitologi untuk menggerakkan massa guna menundukkan kepemimpinan Umayyah, dan mereka berhasil.
Sementara seiring dengan meluasnya pemahaman Syiah dalam iklim liberalisme politik yang relatif, di masa Umayyah juga berkembang gerakan pencerahan yang berangsur-angsur menjadi ideologi tandingan bagi ideologi jabar. Artinya, di sela-sela ideologi jabar kaum Umayah, ideologi takfir kaum Khawarij, dan mitologisasi pemimpin kalangan Syiah, terdapat sekelompok orang yang mencari “jalan tengah” melalui gerakan pencerahan. Tersebutlah di sana sosok Hasan Al-Bashri, yang mangkal di Masjid Bashra, sosok berilmu yang sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan bicaranya. Hasan Al-Bashri memperkenalkan ideologi kuasa manusia untuk berbuat dan bertanggung jawab atas perbuatanya, bukan seperti klaim Umayyah yang menyatakan manusia seperti ilalang yang terombang-ambing seturut arah angin. Bashrah ketika itu menjadi bassis oposisi intelektual bagi dinasti Umayyah. Dia beroposisi secara damai terahadap dinasti Umayyah, tapi juga tidak mau terjebak dalam ideologi takfir Khawarij dan mitologi kaum Syiah. Dia mengambil posisi di antara dua posisi: antara ideologi jabar Umayyah di satu sisi dan klaim Khawarij dan Syiah di sisi lain. Spirit global ideologi yang diletakkan Hasan Al-Bashri telah memberikan wacana baru tentang bagaimana beroposisi. Wacana-wacana yang dikembangkan Hasan Al-Bashri intinya menyebarkan kesadaran baru bahwa manusia, terlebih lagi pemimpin, mengerjakan segala baik buruk perbuatannya atas dasar kemauannya sendiri. Allah tidak menginginkan aniaya, dan bagaimana mungkin memaksa manusia untuk berbuat aniaya?
Tapi suatu ketika, ajaran-ajaran Hasan Bashri yang bermuatan politik itu tersiar ke telinga penguasa Umayyah. Akibatnya, Hasan dipanggil dan diuji dnegan pertanyaan jebakan untuk meperjelas ideologinya: pandangannya tentang Utsman dan Ali. Secara diplomatis Hasan menjawab, bahwa perkara Utsman dan Ali hanya Tuhan yang tahu. Artinya, posisi rasional yang ditempuh Hasan, secara otomatis menolak bentuk pertanyaan bermuatan teror tersebut. Dan, Hasan berhasil berkelit. Hasan akhrinya tidak hanya menjadi simbol bagi kalangan umum, tapi juga merupakan guru bangsa bagi banyak intelektual sesudahnya.
Sosok lain yang sempat diulas Al-Jabiri tak lain adalah Washil bin ‘Atha’ yang paling terkenal dengan gagasannya tentang “posisi menggantung” pendosa besar. Bacaaan politik atas wawasan-wasaan keagamaan Washil menunjukkah bahwa dia menggantungkan legitimasi seorang pemimpin dengan syarat tobat. Intinya, dedengkot Muktazilah ini berhasil meletakkan tiga prinsip dasar Muktazilah, yaitu tahuhid, keadilan dan posisi menggantung itu tadi. Tauhid berarti membebaskan Tuhan dari sifat-sifat yang diberlakukan pada manusia (tanzîh). Keadilan berarti terhindarnya Tuhan dari sifat aniaya, dan kemampuan manusia untuk berbuat. Sementara posisi antar dua posisi berlaku untuk menggertak secara ideologis pandangan Umayyah yang membenarkan tindakan-tindakan mereka atas asumsi akan tetap mendapat pahala. Pendek kata, para pembaru itu --berlawanan dengan kaum Khawarij yang melakukan sakralisasi politik (at-ta’âlî bis siyâsah)-- melakukan sebentuk politisasi yang sakral (tasyîsul muta‘âli) demi membendung ideologi jabar kaum Umayyah. Maka dari itu, pada poin ini Al-Jabiri melakukan pembacaan yang politis atas firqah-firqah atau sekte keagamaan dalam Islam.
Gerakan pencerahan ini, sekalipun belum berhasil pada generasi pertamanya, mulai menampakkan buahnya pada generasi berikut. Terbukti, mereka dapat merebut hati salah satu penguasa Umayyah, Yazid bin Walid bin Malik untuk memecat salah seorang penguasa yang dibenci ketika itu, Walid bin Yazid. Beberapa pandangan kaum pencerahan juga diadopsi sebagai garis besar kebijakan negara. Dari paparan-paraparan tentang proyek pencerahan ketika itu, Al-Jabiri ingin membuktikan bahwa peran yang dimainkan kelompok Qadariyah, Jahmiyyah dan Muktazilah dalam pengembangan pemikiran politik dan agama di era Umayyah cukup signifikan. Mereka-mereka inilah yang pada dasarnya menjadi kalangan intelijensia yang mengerakkan revolusi Abbasid yang sesungguhnya. Mereka bisa menembus batasan-batasan kabilah untuk dapat menghimpun wacana dan menetapkan satu musuh bersama. Maka dari itu, posisi Muktazilah yang terhormat pada masa Abbasiyah, sesungguhnya tidak terlepas dari saham mereka dalam memberikan ideologi alternatif untuk melakkukan revolusi atas Umayyah. Pada akhirnya, dalam pandangan Al-Jabiri, hanya penjelasan “front sejarah” saja yang dapat menjelaskan runtuhnya kejayaan Dinasti Umawi. Front sejarah tidak hanya berarti berhimpun atau beraliansinya berbagai kekuatan sosial, tapi juga menyatunya berbagai kekuatan ideologis dengan kekuatan sosial tersebut (Arab, non-Arab, pemimpin kabilah-kabilah Arab, pejuang Parsi, petani, pedagang, kaum lemah dan mereka yang berduit), untuk menuju satu tujuan: jatuhkah Dinasti Umayyah!
Ideologi Kekuasaan dan Fikih Politik
Logika revolusi untuk merebut kekuasaan yang telah diuraikan oleh Al-Jabiri dalam kerangka “front sejarah” tadi, akan mengalami pergeseran jauh ketika sudah mulai muncul logika tentang bagaimana membangun kembali tatanan negara. Logika oposisi berbeda dengan logika kekuasaasn. Dari poin inilah Al-Jabiri kemudian menguraikan bagaimana ideologi kekuasaan dibentuk dan dikukuhkan pada masa Abbasiyah melalui karangan-karangan Ibn Muqaffa dalam tiga bukunya: Al-Adabus Shaghîr (etika mikro), Al-Adabul Kabîr (etika makro), dan Risâlatus Shahabah. Dalam karangannya tentang ideologi kekuasaaan itu, Ibnu Muqaffa banyak terinspirasi sistem kekuasaan Parsi, dan nyaris bulat-bulat mengadopsi sistem penyelenggaraan kekuasaan yang pernah berlaku di Parsi, dengan keberpihakan yang sangat nyata pada rezim penguasa. Al-Adabus Shaghîr mengulas tentang politik individu, atau tentang bagaiamana mestinya individu-individu dalam mayarakat bersikap terhadap kekuasaan. Al-Adabul Kabîr berbicara tentang bagaimana mengelola negara (siyâsatul madînah) yang ditujukan untuk para pemuka negara. Sementara buku Risâlatus Shahâbah berbicara tentang bagaimana semestinya para khalifah yang sudah menjadi perwakilan Tuhan langsung itu berinteraksi dengan kalangan penasehatnya, baik dari kalangan teknokrat maupun ulama. Intinya, buku tersebut diabdikan untuk memudahkan kekuasaan politik menaklukkan dan menjinakkan kalangan awam dan bagaimana memperlakukan kalangan elitnya dengan baik.
Dalam masa Abbasyiyah juga sudah mulai muncul undang-undang untuk mendudukkan militer sebagai penjaga rezim, dan juga gagasan-gagasan tentang pentingnya membentuk jaringan intelijen yang rapih. Tentara profesional dibutuhkan untuk meredam munculnya kembali semangat kesukuan dan agar mudah mengendalikan kekuasaan sesuai dengan kehendak penguasa, sebagai titik sentral kekuasaan. Pada akhirnya, kedudukan pemimpin dalam masa Abbasiyah bersifat sangat mutlak. Ketaatan terhadap pemimpin menjadi bagian dari ketaatan terhadap Tuhan. Pemimpin tetap ditaati selagi tidak memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Tuhan: tidak melarang salat, tidak memaksa meninggalkan berpuasa, dan aspek-aspek ritual lainnya. Akibatnya, sebentuk “teokrasi khas Islam” berkembang di masa Abbasiyah, dan menjadi bagian dari imajinasi sosial-politik-keagamaan masyarakat Islam sejak masa itu, dan masih berpengaruh sampai masa kini. Pendek kata, ideologi pencerahan yang digagas dalam iklim kebebasan yang relatif di masa Umayyah tadi, tumbang juga berhadapan dengan logika kekuasaan masa Abbasiyah. Fikih politik yang digagas oleh sosok-sosok seperti Al-Mawardi pun pada intinya hanya mengukuhkan dua perkara: wajibnya kepemimpinan, dan kewajiban mentaati pemimpin. Fikih politik inilah agaknya yang ditantang oleh Ali Abdur Raziq, salah seorang pembaru fikih politik Islam di abad modern dalam risalah pendeknya yang berjudul Al-Islâm wa Ushûlul Hukm (Islam dan Dasar-dasar Kekuasaan). Pendek kata, Al-Jabiri menegaskan, sebetulnya klaim bahwa Islam telah memiliki teori tentang kekuasaan dalam tulisan-tulisan para ahli fikih dan para teolog dari dulu sampai sekarang, sebenarnya tak lebih sebuah impian untuk terciptanya teori itu sendiri.
Rethinking Nalar Politik Islam
Paparan Al-Jabiri yang cukup mendetil tentang nalar politik Islam dalam buku ini merupakan upaya pembacaan ke belakang atas bentuk nalar politik yang telah begitu build-in dalam pemikiran politik Islam dengan menggunakan tiga kata kunci: akidah, kabilah dan ghanimah. Bagi Al-Jabiri, pembacaan ulang itu perlu dilakukan sebagai bagian dari pelacakan mendasar (ta’shîlul ushûl) atas fenomena historis Islam sebagai bagian yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran Islam saat ini. Bagi Al-Jabiri, sebenarnya perbincangan tentang nalar politik Islam belum bermula. Buku yang ia karang ini, tak lain merupakan bagian dari aktualisasi (tadsyîn) sebentuk perbincangan tentang nalar politik Islam di antara bentuk-bentuk lain yang mungkin untuk dikemukakan. Karangannya ini merupakan bagian dari kerangka permulaan untuk berpikir (isti’nâfun nadzar), yang perlu ditindak lanjuti pada level perbincangan yang lebih lanjut. Hanya saja, proses rekonstruksi pemikiran politik dalam Islam tidak bisa tidak harus bermula dari pelacakan paling mendasar (ta’shîlul ushûl) atas beberapa sampel yang menjadi anutan dalam sejarah Islam.
Tapi apakah dengan begitu Al-Jabiri dapat dikatakan mengikuti tradisi para pemikir yang (hanya) berusaha menuju dan menuju tanpa mencoba mengaktualisasikan kegundahannya sebagai seorang intelektual sebagaimana yang dilakukan banyak orang? Tidak juga! Dalam buku ini, Al-Jabiri telah meletakkan eleman-eleman mendasar dan kerangka berpikir teoritis untuk memudahkan pengungkapan lebih lanjut tentang nalar politik Islam. Sejumlah kemungkinan analisis tentang nalar politik Arab-Islam masih terbuka untuk dikembangkan. Al-Jabiri dengan pendekatan fungsional telah menerapkan konsep-konsepnya untuk menelaah secara kritis beberapa contoh kemungkinan praktek politik Islam dalam kurun panjang sejarah Islam. Tentu pendasaran saja tidak cukup untuk melakukan analisis atas fenomena politik Islam mutakhir. Dan itu diakui Al-Jabiri sendiri. Pengakuan atas sistem konstitusi yang demokratis misalnya, memang membuka jalan bagi modernisasi politik dunia Arab dan Islam. Tapi itu saja tidak cukup. Nalar politik tidak hanya ditentukan oleh bentuk pemerintahan, dan butir-butir konstitusi yang mengaturnya. Tapi semua itu selalu saja tunduk pada beberapa penjelasan sosiologis, ekonomi, dan kebudayaan. Makanya, dalam rekomendasi Al-Jabiri, pembaruan beberapa kunci penjelasan yang dia gunakan (akidah, kabilah dan ghanimah) tadi, mutlak diperlukan untuk memenuhi tuntutan kebangkitan dan kemajuan dunia modern.
Tapi persoalanya, pembaruan pada level penjelasan tadi saja tidak bisa berlangsung kecuali dengan melakukan negasi sejarah yang buruk, dengan memberi kerangka analisis yang kontemporer. Di sinilah letak pentingnya kritik masa kini dan masa silam dalam pandangan Al-Jabiri. Masa lampau dan masa kini belum terlepas betul dari ingatan atau imajinasi masyarakat Islam. Makanya kritik harus diajukan atas keduanya: atas fondasi dasar yang membentuk kesadaran politik kita, atau kritik pada bawah sadar nalar politik itu sendiri.
Pemikiran politik Islam tidak mengengal kecuali bentuk-bentuk mitologisasi pemimpin dan ideologi kekuasaan. Ahli Sunnah telah melakukan kritik yang keras terhadap yang pertama, tapi belum melakukan kritik yang memadai terhadap ideologi kekuasaan negara. Makanya, kritik nalar politik Arab dan Islam harus dimulai dari dua hal sekaligus: kritik atas mitologisasi pemimpin tadi, dan penolakan terhadap status quo (al-amrul wâqi). Demikian rekomendasi Al-Jabiri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar