Sabtu, 04 September 2010

TIM ADVOKASI KOALISI PENDIDIKAN

1

Sekretariat: Jalan Kalibata Timur IV/D Nomor 6, Jakarta Selatan, Jakarta,
Telp (021) 7901885, Fax (021) 7994005
Jakarta, 10 September 2009
Yang terhormat,
Majelis Hakim Konstitusi Perkara No 21/PUU-VII/2009
Pengujian UU Badan Hukum Pendidikan
dan Pasal 53 ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional
Di -
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
K E S I M P U L A N
Dengan hormat,
Untuk dan atas nama Para Pemohon Perkara No 21/PUU-VII/2009 Pengujian UU No 9
Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan dan Pasal 53 ayat (1) UU No 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional:
1. Yura Pratama Yudhistira, selaku PEMOHON I ;
2. Fadiloes Bahar, selaku PEMOHON II ;
3. Lodewijk F Paat, selaku PEMOHON III ;
4. Jumono, selaku PEMOHON IV ;
5. Zaenal Abidin, selaku PEMOHON V ;
6. Yayasan Sarjana Wiyata Tamansiswa, selaku PEMOHON VI ;
7. Sentra Advokasi Untuk Hak Pendidikan Rakyat (SAHdaR), selaku PEMOHON VII ;
8. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) “Qaryah Thayyibah”, PEMOHON VIII ;
9. Serikat Rakyat Miskin Kota, selaku PEMOHON IX ;
bersama ini kami Taufik Basari S.H., S.Hum, LL.M dan kawan-kawan berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tertanggal 1 Maret 2009 (terlampir), menyampaikan KESIMPULAN.
Adapun Kesimpulan ini kami susun dengan sistematika sebagai berikut:
A. Ringkasan Kesimpulan
B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
C. Legal Standing Para Pemohon
D. Analisis Hukum
1. UU BHP Menciptakan Sistem dan Paradigma Baru Penyelenggaraan
Pendidikan
2
2. Semangat dan Titik Pijak (Standing Point) Keberadaan Sistem dan UU BHP
Dilandaskan pada Keinginan untuk Melepaskan Tanggung Jawab Negara atas
Penyelenggaraan Pendidikan
a. Pemerintah dan DPR RI mengartikan Otonomi Pendidikan sebagai
Pengurangan peran dan Tanggung Jawab Pemerintah
b. Menurut DPR RI dan Pemerintah, UU BHP Muncul Atas Keinginan
Menyamakan Sekolah atau Perguruan Tinggi Negeri dengan Swasta
c. Keinginan Melepaskan Tanggung Jawab Pemerintah dan Mendorong
Masyarakat Terbebani Tanggung Jawab Menanggung Biaya Pengelolaan
Pendidikan menjadi Roh dari Sistem dan UU BHP.
d. Pemerintah dan DPR RI Memiliki Landasan Berpijak di Dua Rel yang
Berbeda dengan Para Pemohon: Rel Pelepasan Tanggung Jawab
Pemerintah dan Rel Menegaskan Tanggung Jawab Pemerintah dalam Hal
Penyelenggaraan Pendidikan
3. Dengan Sistem dan UU BHP, Akses Pendidikan di Indonesia Menjadi Terbatas
a. Prinsip Nirlaba dalam UU BHP Hanya Slogan Karena Tidak Sejalan dengan
Roh UU BHP Itu Sendiri
b. UU BHP Memberi Banyak Ruang Bagi Orang Mampu Secara Ekonomi dan
Membuka Sedikit Ruang Bagi Orang Miskin Berprestasi, Namun Menutup
Ruang bagi Orang Miskin Tidak Berprestasi
c. UU BHP Mengejar Kualitas Namun Mengesampingkan Pemerataan
Kesempatan Memperoleh Pendidikan
d. Akses Pendidikan yang Terbatas Membuat Tujuan Negara Melindung
Segenap Bangsa dan Seluruh Tumpah Darah Indonesia, Memajukan
Kesejahteraan Umum, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Menjadi Tidak
Terpenuhi
4. Mandat Penyelenggaraan Sistem Pendidikan oleh UUD 1945 adalah melalui
Pendekatan Universal Sedangkan UU BHP Melalui Pendekatan Residual
5. Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan UU BHP Bertentangan dengan UUD 1945
E. Petitum
A. Ringkasan Kesimpulan
Kesimpulan ini disusun berdasarkan keterangan Pemerintah RI dan DPR RI, keterangan
ahli dan saksi, baik dalam persidangan maupun yang disampaikan tertulis. Dari
keterangan-keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat dua landasan
berpijak yang berbeda antara Pemerintah RI dan DPR RI di satu sisi dengan Para
Pemohon di sisi lain terkait dengan paradigma baru yang diciptakan oleh sistem dan UU
BHP. Pemerintah dan DPR RI berpijak pada suatu semangat bahwa penyelenggaraan
pendidikan seharusnya tidak lagi menjadi beban pemerintah melainkan harus menjadi
3
beban masyarakat karena itulah dibutuhkan UU BHP. Sementara Para Pemohon justru
berkeinginan agar Pemerintah tidak menjauhi bahkan lepas tangan dalam hal sistem
penyelenggaraan pendidikan agar tujuan negara sebagaimana dalam Pembukaan UUD
1945 dapat terwujud. Masing-masing pijakan ini dikemukakan oleh kedua belah pihak
dalam persidangan dengan argumentasi yang valid, namun tidak dapat disatukan karena
berbeda rel karena terdapat perbedaan fundamental. Oleh karena itu, “rel” yang
menjadi landasan berpijak (standing point) inilah yang menentukan posisi landasan yang
mana yang sesuai dan selaras dengan UUD 1945.
Pemerintah RI dan DPR RI dalam persidangan telah jelas-jelas menunjukkan bahwa
maksud diundangkannya UU BHP adalah adanya keinginan untuk tidak lagi
membebankan penyelenggaraan pendidikan kepada negara dan membuka ruang seluasluasnya
kepada masyarakat untuk berpartisipasi (baca: dibebani tanggung jawab) turut
menanggung biaya pelaksanaan pendidikan. Pelepasan tanggung jawab ini memakai dalih
otonomi pendidikan, sebab jelas sekali Pemerintah RI dan DPR RI mengartikan otonomi
sebagai bentuk perginya peran pemerintah dalam pengelolaan pendidikan. Di samping
itu, ternyata ada semangat untuk menyamakan sekolah atau perguruan tinggi negeri
dengan swasta. Dengan kata lain, UU BHP bermaksud menswastakan sekolah-sekolah
negeri.
Akibatnya adalah biaya pendidikan di Indonesia mejadi tinggi. Penyelengggara ataupun
satuan pendidikn berlomba-lomba untuk menggalang dana sebanyak-banyaknya karena
peran pemerintah berkurang. Siapa yang berhasil mendapatkan dana sebanyakbanyaknya
dari masyarakat, itulah yang akan maju. Akhirnya, syarat utama dari
kemajuan atau peningkatan kualitas adalah dana. Tanpa dana tak ada kualitas. Money
talks.
Sebenarnya pembuat UU menyadari bahwa UU BHP menciptakan pendidikan biaya
tinggi. Oleh karena itu muncul ketentuan yang memberikan “jatah” bagi masyarakat
miskin yang berprestasi untuk dapat ikut menikmati fasilitas pendidikan di tengah
mahalnya biaya pendidikan. Namun masyarakat miskin ini harus berprestasi terlebih
dahulu jika ingin bertambah pintar. Sementara masyarakat miskin yang memang tidak
berprestasi tidak akan dapat jatahnya ini dah jika ingin mendapatkan pendidikan maka
mereka harus bersaing dengan masyarakat mampu, baik itu berprestasi maupun tidak.
Akibatnya, dengan adanya UU BHP ini maka tidak ruang bagi kelompok masyarakat
ekonomi rendah yang tidak berprestasi ini untuk mendapatkan akses pendidikan.
Merujuk pada pendapat ahli Alamsyah Ahmad yang memaparkan ciri-ciri dari sistem
penyelenggaraan pendidikan di berbagai negara, ciri-ciri sistem yang dibangun oleh UU
BHP ini termasuk ke dalam ciri-ciri pendekatan residual. Berbeda dengan pendekatan
sosialis yang menjadikan pendidikan itu adalah kewajiban warga negara dan pendekatan
universal yang menjadikan pendidikan sebagai hak warga negara, sementara pendekatan
residual pelayanan pendidikan diserahkan kepada masyarakat (yang dimaksud
masyakarat termasuk pelaku-pelaku pendidikan).
4
Ciri dari pendekatan universal adalah negara wajib menyediakan pendidikan kepada
warganya tidak peduli ia mampu atau tidak mampu, kecuali jika warga yang
bersangkutan tidak mau, karena pendidikan merupakan hak warga negara. Hal ini
berbeda dengan pendekatan residual. Negara menyerahkan penyelenggaraan dan
pengelolaannnya kepada masyarakat dengan mekanisme pasar, apabila ada yang tidak
mampu barulah negara turun tangan. Skema yang terakhir inilah yang dibangun oleh UU
BHP.
Para Pemohon meyakini bahwa mandat konstitusional dalam hal sistem penyelenggaraan
pendidikan nasional adalah dengan pendekatan universal karena secara tegas disebutkan
baik dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 31 UUD 1945 bahwa
pendidikan adalah hak warga negara dan Negara wajib mewujudkan pendidikan yang
mampu diakses seluruh warganya agar mampu memenuhi tujuan negara mencerdaskan
kehidupan bangsa dan memajukan kesejahtearaan umum. Sementara itu, implementasi
dari paradigma baru yang diciptakan oleh UU BHP merupakan pendekatan residual yang
melemparkan beban tanggung jawab pembiayaan pendidikan kepada masyarakat
sementara pemerintah baru turun tangan ketika dibutuhkan untuk memberikan jatah
bagi kelompok masyarakat miskin yang berprestasi. Artinya, jika masyarakat sudah
mampu membiayai ongkos pendidikan, maka pemerintah merasa tidak perlu turun
tangan lagi. Keadaan ini oleh Pemerintah RI dan DPR RI justru disyukuri karena dianggap
negara tidak lagi terbebani untuk menunjang biaya penyelenggaraan pendidikan. Bahkan
di dalam persidangan, melalui tanya jawab yang berlangsung, terlihat bahwa Pemerintah
RI dan DPR RI menganggap kemampuan menggalang dana dari masyarakat dianggap
sebagai indikator keberhasilan penyelenggara satuan pendidikan.
Jika mandat konstitusi berbeda dengan implementasi norma undang-undang sudah tentu
undang-undang tersebut tidak memiliki pijakan konstitusional. Jika konstitusi
mewajibkan negara menjamin penyelenggaraan pendidikan yang dapat diakses seluruh
masyarakat, termasuk masyarakat yang berekonomi lemah namun tidak berprestasi,
sementara implementasi UU tidak dapat mengakomodir hal tersebut maka UU tersebut
melanggar konstitusi. Jika konstitusi mengamanatkan agar negara menjadi subjek utama
dalam penyelenggaraan pendidikan sementara UU justru mendorong agar negara atau
pemerintah mundur dan mengurangi tanggung jawabnya serta menyerahkan beban
tanggung jawab tersebut kepada masyarakat dan masyarakat beralih fungsi menjadi
subjek utama penyelenggaraan pendidikan, maka UU tersebut bertentangan dengan
konstitusi.
Oleh karena itu, Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas yang memberi landasan kebijakan
mengenai BHP dan UU BHP yang menciptakan paradigma baru pendidikan yang
berorientasi pasar, maka Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan seluruh UU BHP
bertentangan dengan UUD 1945, khususnya alinea keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal
1 ayat (3), Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (1) serta Pasal 28 I ayat
(2), Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), UUD 1945.
5
B. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Bahwa UU yang diuji adalah UU No 20 Tahun 2003 dan UU No 9 Tahun 2009 terhadap
UUD 1945, maka berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap UUD.
2. Bahwa meskipun Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas pernah diajukan ke Mahkamah
Konstitusi dengan perkara No 021/PUU-IV/2006, namun putusan perkara tersebut
adalah Niet Ontvankelijk verklaard (N.O.) atau tidak dapat diterima. Pernyataan
Pemerintah RI dan DPR RI dalam persidangan yang menyatakan permohonan ne bis in
idem, menunjukkan ketidakmengertian Pemerintah dan DPR RI atas pengertian NO.
Pertimbangan Mahkamah dalam putusan tersebut salah satunya adalah karena UU
BHP belum diundangkan. Saat ini UU BHP sebagaimana dimaksud Pasal 53 ayat (1)
UU Sisdiknas aquo telah diundangkan menjadi UU No 9 Tahun 2009 Tentang BHP.
Oleh karena, Mahkamah Konstitusi RI masih memiliki wewenang menguji ketentuan
tersebut.
C. LEGAL STANDING PARA PEMOHON
3. Bahwa Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Pemohon adalah
perorangan WNI dan badan hukum privat, yang terdiri dari mahasiswa, guru, dosen,
orang tua murid dan badan hukum yang bergerak di bidang pendidikan dan/atau
advokasi pendidikan.
4. Oleh karena keberlakuan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan UU BHP telah merugikan
hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan jaminan pemenuhan hak atas
pendidikan, jaminan hukum yang adil dan tidak diskrimintatif, maka Para Pemohon
memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini.
D. ANALISIS HUKUM
(1) UU BHP Menciptakan Sistem dan Paradigma Baru Penyelenggaraan Pendidikan
5. Baik Para Pemohon dalam permohonannya maupun Pemerintah RI dan DPR RI dalam
keterangannya, sama-sama mengakui bahwa UU BHP menciptakan paradigma baru
pendidikan yang berbeda dengan paradigma yang selama ini telah dijalankan.
6. (Mantan) Wakil Ketua Komisi X DPR RI - Prof. Dr. Anwar Arifin (vide Risalah Sidang
tanggal 30 April 2009, point 26, halaman 13-14) dan Sekjen Depdiknas - Prof. Dr. Ir.
Dody Nandia (vide Risalah Sidang, tanggal 30 April 2009, point 64, halaman 34) dalam
persidangan menekankan paradigma baru berupa diperluasnya partisipasi
6
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Bagi Pemohon, perluasan partisipasi
masyarakat dalam paradigma baru itu merupakan kata lain lain pengurangan
tanggung jawab pemerintah dan mundurnya peran pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan di satu sisi, dan di sisi lain membebankan tanggung
jawab kepada masyarakat serta mendorong agar penyelenggaraan pendidikan
diserahkan pada mekanisme yang berlaku di tengah masyarakat. Mendorong
penyelenggaraan pendidikan masuk ke dalam mekanisme yang berlaku di masyarakat
sama saja mendorong pendidikan ke dalam mekanisme pasar. Sebab mekanisme
pasar adalah mekanisme dimana pemerintah sangat kurang perannya dan
pelaksanaannya tergantung pada hukum permintaan dan penawaran yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat.
7. Oleh karena itu, Para Pemohon berkesimpulan paradigma baru yang dibangun oleh
sistem BHP dan UU BHP adalah paradigma pendidikan yang berorientasi pasar.
(2) Semangat dan Titik Pijak (Standing Point) Keberadaan Sistem dan UU BHP
Dilandaskan pada Keinginan untuk Melepaskan Tanggung Jawab Negara atas
Penyelenggaraan Pendidikan
a. Pemerintah RI dan DPR RI mengartikan Otonomi Pendidikan sebagai
Pengurangan Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah
8. Pemerintah RI dan DPR RI dalam keterangannya baik dalam persidangan maupun
dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa alasan dipilihnya sistem dan
diundangkannya UU BHP adalah dalam kerangka mewujudkan otonomi pendidikan.
9. Dalam hal ini, Pemerintah dan DPR RI mengartikan otonomi pendidikan sebagai
langkah mengurangi peran dan dan tanggung jawab Pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan. Kemandirian dan otonomi pendidikan diartikan bahwa
penyelenggaran satuan pendidikan harus berusaha sendiri untuk membiayai dirinya
sendiri. Kesempatan untuk meraup dan menggalang dana sebesar-besarnya dibuka
seluas-luasnya, bahkan didorong (being encouraged) dan distimulus oleh Pemerintah
karena keberhasilan meraup dana dari masyarakat menjadi indikator keberhasilan.
(lihat Risalah Sidang, 3 September 2009, pernyataan dan pertanyaan Mendiknas RI,
Prof. Dr. Bambang Sudibyo dalam point 130, halaman 31 dan pernyataan Wakil Ketua
Komisi X DPR RI, Heri Akhmadi, point 157, halaman 35 serta keterangan Ahli
Pemerintah Prof. Dr. Djoko Hartanto).
10. Bahkan, dalam presentasi keterangan Saksi dari Pemerintah, Prof. Dr. Johannes
Gunawan, mantan Ketua Komisi Khusus Pembahasan RUU BHP dari Depdiknas dan
anggota Panja RUU BHP dari Pemerintah RI yang terlibat aktif dalam penyusunan UU
BHP, ditegaskan bahwa salah satu maksud dan tujuan utama dari UU BHP adalah
mengeluarkan atau “melepaskan” Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang tadinya bagian
dari badan hukum negara menjadi badan hukum pendidikan yang terpisah, berdiri
sendiri (vide Risalah Sidang 3 September 2009, Point 171, halaman 41). Hal secara
jelas terlihat dari animasi slide yang ditampilkan Saksi Pemerintah, Prof. Dr. Johannes
Gunawan yang menggambarkan bahwa PTN yang tadinya berada dalam satu kotak
7
dengan negara dilepaskan atau dikeluarkan dari kotak tersebut sebagai konsekwensi
pelaksanaan UU BHP. Saksi Pemerintah tersebut juga membandingkan dengan
Perguruan Tinggi Swasta (PTS), dimana pasca pelaksanaan UU BHP kedudukan PTN
dan PTS menjadi sama. Menurut Saksi Pemerintah, inilah maksud dari otonomi
pendidikan, yakni melepas peran dan tanggung jawab Pemerintah.
b. Menurut DPR RI dan Pemerintah, UU BHP Muncul Atas Keinginan Menyamakan
Sekolah atau Perguruan Tinggi Negeri dengan Swasta
11. DPR RI dan Pemerintah RI dalam keterangannya di persidangan menjelaskan bahwa
salah satu alasan utama diundangkannya UU BHP ini adalah adanya keinginan untuk
menyamakan sekolah atau perguruan tingggi negeri dengan sekolah atau perguruan
tingggi swasta.
12. Mendiknas RI, Prof. Dr. Bambang Sudibyo menyatakan sebagai berikut:
Bisa dibayangkan sebuah perguruan tinggi lembaga yang sangat cerdas mungkin termasuk
yang tercerdas di republik ini kalau kemudian dikungkung oleh aturan-aturan birokrasi, inilah
yang ingin kita hilangkan. Sekaligus dengan cara seperti itu dengan diperlakukan sebagai
badan hukum maka status kelembagaan antara satuan pendidikan negeri dengan swasta itu
menjadi sama. Jadi tidak ada lagi diskriminasi kelembagaan antara satuan pendidikan negeri
dengan satuan pendidikan swasta karena kalau swasta sudah lama itu berbadan hukum.
(vide Risalah Sidang 3 September 2009, point 43 halaman 12).
13. Keinginan menyamakan sekolah atau perguruan tinggi negeri dengan yang swasta
sebagai alasan diundangkannya UU BHP tersebut di atas kembali ditegaskan oleh
Wakil Ketua Komisi X, Heri Akhmadi dalam keterangannya di persidangan (vide
Risalah Sidang 3 Septemer 2009, point 45, halaman 14).
14. Oleh karena itu, Para Pemohon berkesimpulan bahwa UU BHP hendak melakukan
swastanisasi sekolah dan perguruan tinggi negeri. Dengan bentuk seolah-olah
menjadi swasta, maka peran dan tanggung jawab Pemerintah menjadi jauh
berkurang.
c. Keinginan Melepaskan Tanggung Jawab Pemerintah dan Mendorong Masyarakat
Terbebani Tanggung Jawab Menanggung Biaya Pengelolaan Pendidikan menjadi
Roh dari Sistem dan UU BHP
15. Dalam persidangan, Mendiknas RI, Prof. Dr. Bambang Sudibyo menyatakan: “Roh dari
Badan Hukum Pendidikan adalah keinginan untuk memberikan otonomi kepada
satuan pendidikan.” (vide Risalah Sidang 3 September 2009, point 43, halaman
11).
16. Sementara itu, sebagaimana telah disebutkan di atas, Pemerintah RI mengartikan
otonomi sebagai pengurangan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan.
17. Dengan logika yang sangat sederhana, dapat disimpulkan bahwa roh dari BHP
adalah pengurangan peran dan tanggung jawab pemerintah di satu sisi dan di sisi
lain mendorong masyarakat terbebani tanggung jawab menanggung biaya
pengelolaan pendidikan.
8
d. Pemerintah RI dan DPR RI Memiliki Landasan Berpijak di Dua Rel yang Berbeda
dengan Para Pemohon: Rel Pelepasan Tanggung Jawab Pemerintah dan Rel
Menegaskan Tanggung Jawab Pemerintah dalam Hal Penyelenggaraan
Pendidikan
18. Dari keterangan Pemerintah RI, keterangan DPR RI, keterangan ahli yang diajukan
Pemerintah, dapat ditarik benang merah bahwa kesemuanya berpendapat bahwa
paradigma pendidikan baru di Indonesia adalah paradigma yang harus mengurangi
peran dan tanggung jawab pemerintah dan menyodorkan pengelolalan pendidikan
pada sistem yang berlaku di tengah masyarakat.
19. Sementara itu, permohonan Para Pemohon dan keterangan ahli dan saksi yang
diajukan Para Pemohon justru sebaliknya berangkat dari landasan berpikir bahwa
justru Pemerintah tidak boleh mengurangi peran dan tanggung jawabnya karena
peran dan tanggung jawab tersebut merupakan amanat konstitusi.
20. Seluruh keterangan yang diberikan di persidangan tersebut terlihat logis dan valid
dari hukum logika. Namun terdapat perbedaan fundamental dari premis dasarnya.
Jelas argumentasi Pemerintah RI dan DPR RI yang mempertahankan BHP berangkat
dari premis bahwa pengurangan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam hal
penyelenggaraan pendidikan justru harus dilakukan. Sementara premis Para
Pemohon sebaliknya, peran dan tanggung jawab pemerintah dalam hal
penyelenggaraan pendidikan justru harus dipertegas dan tidak boleh ada upaya
melepas pendidikan ke dalam mekanisme pasar.
21. Persoalannya adalah terletak pada pendirian Mahkamah Konstitusi untuk menilai dua
premis dasar yang berbeda ini, mana yang sejalan dengan UUD 1945 dan mana yang
bertentangan dengan UUD 1945.
(3) Dengan Sistem dan UU BHP, Akses Pendidikan di Indonesia Menjadi Terbatas
a. Prinsip Nirlaba dalam UU BHP Hanya Slogan Karena Tidak Sejalan dengan Roh
UU BHP Itu Sendiri
22. Meskipun dalam UU BHP dinyatakan bahwa BHP harus berprinsip nirlaba, ternyata
prinsip ini hanya slogan semata karena tidak sejalan dengan roh UU BHP itu sendiri.
23. Dari keterangan Pemerintah RI, DPR RI dan saksi dan ahli yang diajukan Pemerintah,
nampak jelas dan nyata bahwa BHP dipacu untuk dapat menghidupi dirinya sendiri
dengan cara menggalan dana masyarakat. Semakin berhasil penggalangan dana
tersebut maka penyelenggara satuan pendidikan tersebut dianggap berprestasi.
24. Artinya, setiap BHP dipacu untuk berusaha dan mencari keuntungan. Segala
proyeknya termasuk proyek penelitian harus menghasilkan sumber dana.
25. Argumentasi yang selama ini dibangun Pemerintah dan DPR bahwa UU BHP tetap
berprinsip nirlaba ternyata tidak konsisten. Pemerintah dan DPR berdalih bahwa BHP
9
tidak dapat dikatakan profit karena keuntungan dari “usaha” yang dilakukan BHP
kembali kepada BHP itu sendiri dan diperuntukan untuk menunjang operasional dan
bukan diperuntukkan kepada pengurusnya. Pengertian nirlaba seperti ini tidaklah
tepat. Jelas-jelas BHP dituntut untuk mendapatkan sisa hasil usaha atau dengan kata
lain keuntungan. Meskipun bukan untuk para pengurusnya, namun sifat mencari dan
mengejar keuntungan ini tidak lain dan tidak bukan merupakan sifat dari profit.
b.UU BHP Memberi Banyak Ruang Bagi Orang Mampu Secara Ekonomi dan Membuka
Sedikit Ruang Bagi Orang Miskin Berprestasi, Namun Menutup Ruang bagi Orang
Miskin Tidak Berprestasi
26. Pada kenyataannya, bila di analisis leb ih lanjut UU BHP Memberi Banyak Ruang Bagi
Orang Mampu Secara Ekonomi dan Membuka Sedikit Ruang Bagi Orang Miskin
Berprestasi, Namun Menutup Ruang bagi Orang Miskin Tidak Berprestasi
27. Ahli Darmaningtyas dalam persidangan menyatakan UU BHP tidak memberi tempat
bagi orang miskin yang bodoh sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:
A
KAYA dan
PINTAR
C
MISKIN tapi
PINTAR
B
KAYA tapi
BODOH
D
MISKIN dan
BODOH
A
SD – PT Negeri
Favorit, skr: SSN,
SBI, PT BHMN, LN
C
Dulu : SD – PT
Negeri favorit
Skr: Negeri
pinggiran
B
SD – PT swasta
mahal/LN. Skr
bisa di PT BHMN.
D
SD Inpres, SMP –
SMTA swasta
pinggiran
28. Pada akhirnya, ketentuan 20% untuk kelompok ekonomi lemah yang berprestasi
bukan jawaban terhadap pemerataan kesempatan mendapatkan akses pendidikan
karena tetap saja akses pendidikan sulit terjangkau dan dijangkau oleh kelompokjkelompok
marjinal.
c. UU BHP Mengejar Kualitas Namun Mengesampingkan Pemerataan Kesempatan
Memperoleh Pendidikan
29. Dari keterangan Pemerintah RI, DPR RI, saksi dan ahli yang diajukan Pemerintah
terlihat jelas bahwa pihak-pihak ini menekankan bahwa UU BHP Mengejar Kualitas
Namun ternyata Mengesampingkan Pemerataan Kesempatan Memperoleh
Pendidikan.
30. Kualitas pendidikan dianggap dapat dicapai apabila penyelenggara pendidikan
memperoleh dana yang besar dari masyarakat melalui proyek-proyeknya agar dapat
berkembang. Sementara, dampak dari kondisi ini adalah biaya pendidikan yang
10
tinggi. Dengan tingginya biaya pendidikan maka justru menutup pemerataan
kesempatan mendapatkan akses pendidikan.
d. Akses Pendidikan yang Terbatas Membuat Tujuan Negara Melindung Segenap
Bangsa dan Seluruh Tumpah Darah Indonesia, Memajukan Kesejahteraan Umum,
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Menjadi Tidak Terpenuhi
31. Konsekwensi dari akses yang terbatas adalah Tujuan Negara Melindung Segenap
Bangsa dan Seluruh Tumpah Darah Indonesia, Memajukan Kesejahteraan Umum,
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Menjadi Tidak Terpenuhi.
32. Jika tujuan negara tidak terpenuhi maka eksistensi negara menjadi hilang. Oleh
karena itu begitu pentingnya UU menjamin agar akses pendidikan tidak menyulitkan
seluruh warga negara Indonesia.
33. Segala hal di atas dapat terjadi karena sistem dan UU BHP menciptakan Pendidikan
Berbiaya Tinggi
34. Selain itu, UU BHP Menjadikan Uang menjadi Syarat Utama Penentu Kualitas
Pendidikan
35. UU BHP Mendorong Penyelenggara Pendidikan Berlomba-Lomba Menggalang Dana
Masyarakat Karena Pemerintah Tidak Lagi Bertanggung Jawab Penuh
36. Sementara itu, Skema Pembiayaan Pendidikan dalam UU BHP Sama Sekali Tidak
Menjamin Akses Pendidikan yang Terjangkau
37. Oleh karenanya, Biaya Pendidikan yang Mahal Mempersempit Akses Masyarakat
Memperoleh Pendidikan Murah Berkualitas
(4) Mandat Penyelenggaraan Sistem Pendidikan oleh UUD 1945 adalah melalui
Pendekatan Universal Sedangkan UU BHP Melalui Pendekatan Residual
38. Sebagaimana dijelaskan di atas dan disampaikan oleh ahli Pemohon Alamsyah Ahmad
dalam persidangan, terdapat tiga pendekatan
Sosialis Otoriter Universal Residual
Prinsip Kewajiban warga Hak dasar Mekanisme Pasar
Cara Pandang Warga wajib menerima
apa yang disediakan
Negara
Pelayanan adalah hak warga
tak peduli mampu/ tak
mampu. Negara wajib
menyediakan sesuai standar
kecuali bagi yang “tidak
mau” .
Pelayanan dilaksa-nakan
sendiri oleh warga melalui
mekanisme pasar, Negara
hanya mengurus yang tak
mampu.
Implikasi
(aspek
keadilan dan
diskri-minasi)
Tak ada diskriminasi
terhadap warga baik
dalam pelayanan
maupun pajak.
Tak ada diskriminasi
terhadap warga dalam
pelayanan, tetapi ada pada
pajak.
Ada diskriminasi dalam
pelayanan tapi diskriminasi
dalam pajak berusaha
dikurangi.
11
39. Bahwa ternyata jika dikaji mendalam, Mandat Penyelenggaraan Sistem Pendidikan
oleh UUD 1945 adalah melalui Pendekatan Universal Sedangkan UU BHP Melalui
Pendekatan Residual.
(5) Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan UU BHP Bertentangan dengan UUD 1945
40. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa
Sistem dan UU BHP menciptakan Paradigma Baru Penyelenggaraan Pendidikan yang
Bertentangan dengan UUD 1945
41. Oleh karena itu, Pasal 53 ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional dan UU BHP secara
keseluruhan Bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945, Pasal 31 ayat (1), (2), (3),
(4), dan (5), Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) Pasal 28 E ayat (1) serta Pasal 28 I
ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
E. Petitum
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi untuk memutus sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang
Para Pemohon ;
2. Menyatakan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Undang-Undang No 9 Tahun 2009 Tentang Badan
Hukum Pendidikan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, khususnya alinea keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 1
ayat (3), Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (1) serta Pasal 28 I
ayat (2), Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), UUD 1945;
3. Menyatakan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Undang-Undang No 9 Tahun 2009 Tentang Badan
Hukum Pendidikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadiladilnya
(ex aeque et bono)
Hormat Kami,
Kuasa Hukum Para Pemohon
Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M
Illian Deta Artasari, S.H.
Ricky Gunawan, S.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar