http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1].Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
TEORI BEHAVIORISME
(http://jurusankomunikasi.blogspot.com/2009/03/teori-behaviorisme.html)
Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau memperoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
Prinsip-prinsip teori behaviorisme
- Obyek psikologi adalah tingkah laku
- semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek
- mementingkan pembentukan kebiasaan
Monday, September 8, 2008 Bab 2 Teori Sosial (Bandura) (http://alfaned.blogspot.com/2008/09/bab-2-teori-sosial-bandura.html)
Albert Bandura lahir tanggal 4 Desember 1925 di Mundare Alberta berkebangsaan Kanada. Ia seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.
Menurut Bandura proses mengamati dan meniru perilaku, sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Bandura (1977) menyatakan bahwa
"Learning would be exceedingly laborious, not to mention hazardous, if people had to rely solely onthe effects of their own action to inform them what to do. Fortunately, most humant behavior is learned obsevationally through modelling: from observing others one forms an idea of hor new behavior are performed, and on later occation this coded information serves as aguide for action".
Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh padapola belajar sosial ini. Misalnya seorang yang hidupnya dan lingkungannya dibesarkan dilingkungan judi, maka dia cenderung menyenangi judi, atau setidaknya menganggap bahwa judi itu tidak jelek.
Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah :
1. Perhatian (Attention), mencakup peristiwa peniruan (adanya kejelasan, keterlibatan perasaan, tingkat kerumitan, kelaziman, nilai fungsi) dan karakteristik pengamat (kemampuan indera, minat, persepsi, penguatan sebelumnya)
2. Penyimpanan atau proses mengingat (Retention), mencakup kode pengkodean simbolik, pengorganisasian pikiran, pengulangan simbol, pengualangan motorik.
3. Reproduksi motorik (Reproduction), mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik.
4. Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri (Motivation)
Selain itu juga yang harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih baik dengan cara mengkodekan perilaku yang ditiru kedalam kata-kata, tanda atau gambar dari pada hanya observasi sederhana (hanya melihat saja). Sebagai contoh: belajar gerakan tari dari instruktur membutuhkan pengamatan dari berbagai sudut yang dibantu cermin dan langsungditirukan oleh siswa pada saat itu juga. Kemudian proses meniru akan lebih terbantu jika gerakan tadi juga didukung dengan penayangan video, gambar atau instruksi yang ditulis dalam buku panduan.
2. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
3. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan dihargai serta perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.
Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku. Proses belajar masih berpusat pada penguatan, hanya terjadi secara langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal.
Sebagai contoh: penerapan teori belajar sisial dalam iklan televisi. Iklan selalu menampilkan bintang-bintang yang popular dan disukai masyarakat, hal ini untuk mendorong konsumen agar membeli sabun supaya mempunyai kulit seperti para "bintang" atau minum obat masuk anginnya "orang pintar"
Teori belajar dari Bandura ini tampaknya memang bisa berlaku umum dalam semua langkah pendidikan sosial, komunikasi, informasi dan instruksional, namun karena kondisinya yang umum tadi maka sulit dilaksanakan dalam sekolah-sekolah formal, sehingga metode belajar sosial dari Bandura ini agak sulit dilakukan. Hanya dalam situasi sosial dan kemasyarakatanlah banyak terjadi belajar sosial. Peristiwa sosial juga terjadi di lingkungan sekolah dan pendidikan pada umumnya, namun hal itu tentu saja sangat khusus dan terbatas, karena suasana dan kondisi yang sudah dirancang secara khusus untuk tujuan yang khusus pula, yakni untuk yujuan mempermudah terlaksananya proses belajar secara efektif.
http://apadefinisinya.blogspot.com/2008/05/teori-humanistik.html
Jumat, 16 Mei 2008 TEORI HUMANISTIK
Prinsip- prinsip belajar humanistic:
A.Manusia mempunyai belajar alami
B.Belajar signifikan terjadi apabila mqateri plajaran dirasakan murid mempuyai relevansi dengan maksud tertentu
C.Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persep[si mengenai dirinya
D.Tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasarkan bila ancaman itu kecil
E.Bila bancaman itu rendah terdapat pangalaman siswa dalam memperoleh caar
F.Belajar yang bermakna diperolaeh jika siswa melakukannya
G.Belajar lancer jika siswa dilibatkan dalam proses belajar
H.Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberi hasil yang mendalam
I.Kepercayaan pada diri pada siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri
J.Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.
Pengertian Teori
Humanistik tertuju pada masalah bagaimana tiap individu dipengaruhi dan dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri.
Kerangka Berfikir Teori Belajar
Tujuan belajar menurut teori ini adalah memanusiakan manusia artinya perilaku tiap orang ditentukan oleh orang itu sendiri dan memahami manusia terhadap lingkungan dan dirinya sendiri.Menurut para pendidik aliran ini I penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa.Tujuan utama pendidik adalah membantu siswa mengembangkan dirinya yaitu membantu individu untuk mengenal dirinya sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mewujudkan potensi mereka. Para ahli humanistic melihat adanya dua bagian pada proses belajar yaitu : proses pemerolehan informasi baru dan personalissi informasi ini pada individu. Yahya Nursidik di 22:16
Monday, 02.05.2005 10:00 http://blog.kenz.or.id/2005/05/02/carl-rogers-psikolog-aliran-humanisme.html Carl Rogers : Psikolog Aliran Humanisme Posted on Psychology.
Carl Ransom Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinios, Chicago. Rogers meninggal dunia pada tanggal 4 Pebruari 1987 karena serangan jantung.
Latar belakang: Rogers adalah putra keempat dari enam bersaudara. Rogers dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan dan menganut aliran protestan fundamentalis yang terkenal keras, dan kaku dalam hal agama, moral dan etika. Rogers terkenal sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis, ide – ide dan konsep teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman -pengalaman terapeutiknya.
Ide pokok dari teori – teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalah – masalah psikisnya asalkan konselor menciptakan kondisi yang dapat mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri. Menurut Rogers motivasi orang yang sehat adalah aktualisasi diri. Jadi manusia yang sadar dan rasional tidak lagi dikontrol oleh peristiwa kanak – kanak seperti yang diajukan oleh aliran freudian, misalnya toilet trainning, penyapihan ataupun pengalaman seksual sebelumnya.Rogers lebih melihat pada masa sekarang, dia berpendapat bahwa masa lampau memang akan mempengaruhi cara bagaimana seseorang memandang masa sekarang yang akan mempengaruhi juga kepribadiannya. Namun ia tetap berfokus pada apa yang terjadi sekarang bukan apa yang terjadi pada waktu itu.Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi -potensi psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh pengalaman dan oleh belajar khususnya dalam masa kanak – kanak. Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai usia tertentu (adolensi) seseorang akan mengalami pergeseran aktualisasi diri dari fisiologis ke psikologis.Rogers dikenal juga sebagai seorang fenomenologis, karena ia sangat menekankan pada realitas yang berarti bagi individu. Realitas tiap orang akan berbeda – beda tergantung pada pengalaman – pengalaman perseptualnya. Lapangan pengalaman ini disebut dengan fenomenal field. Rogers menerima istilah self sebagai fakta dari lapangan fenomenal tersebut. Konsep diri menurut Rogers adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Untuk menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai atau tidak, Rogers mengenalkan 2 konsep lagi, yaitu Incongruence dan Congruence. Incongruence adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan batin. Sedangkan Congruence berarti situasi di mana pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral, dan sejati.
Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain. Kebutuhan ini disebut need for positive regard, yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu conditional positive regard (bersyarat) dan unconditional positive regard (tak bersyarat).
Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positip tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai person sehingga ia tidak bersifat defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.
Lima sifat khas orang yang berfungsi sepenuhnya (fully human being): 1. Keterbukaan pada pengalaman
Orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang yang menerima semua pengalaman dengan fleksibel sehingga selalu timbul persepsi baru. Dengan demikian ia akan mengalami banyak emosi (emosional) baik yang positip maupun negatip.2. Kehidupan Eksistensial
Kualitas dari kehidupan eksistensial dimana orang terbuka terhadap pengalamannya sehingga ia selalu menemukan sesuatu yang baru, dan selalu berubah dan cenderung menyesuaikan diri sebagai respons atas pengalaman selanjutnya.3. Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri
Pengalaman akan menjadi hidup ketika seseorang membuka diri terhadap pengalaman itu sendiri. Dengan begitu ia akan bertingkah laku menurut apa yang dirasanya benar (timbul seketika dan intuitif) sehingga ia dapat mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi dengan sangat baik.4. Perasaan Bebas
Orang yang sehat secara psikologis dapat membuat suatu pilihan tanpa adanya paksaan – paksaan atau rintangan – rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Orang yang bebas memiliki suatu perasaan berkuasa secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya sendiri, tidak pada peristiwa di masa lampau sehingga ia dapat meilhat sangat banyak pilihan dalam kehidupannya dan merasa mampu melakukan apa saja yang ingin dilakukannya.5. Kreativitas
Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan kepercayaan kepada organisme mereka sendiri akan mendorong seseorang untuk memiliki kreativitas dengan ciri – ciri bertingkah laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai respons atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di sekitarnya.
Kelemahan atau kekurangan pandangan Rogers terletak pada perhatiannya yang semata – mata melihat kehidupan diri sendiri dan bukan pada bantuan untuk pertumbuhan serta perkembangan orang lain. Rogers berpandangan bahwa orang yang berfungsi sepenuhnya tampaknya merupakan pusat dari dunia, bukan seorang partisipan yang berinteraksi dan bertanggung jawab di dalamnya.Selain itu gagasan bahwa seseorang harus dapat memberikan respons secara realistis terhadap dunia sekitarnya masih sangat sulit diterima. Semua orang tidak bisa melepaskan subyektivitas dalam memandang dunia karena kita sendiri tidak tahu dunia itu secara obyektif. Rogers juga mengabaikan aspek – aspek tidak sadar dalam tingkah laku manusia karena ia lebih melihat pada pengalaman masa sekarang dan masa depan, bukannya pada masa lampau yang biasanya penuh dengan pengalaman traumatik yang menyebabkan seseorang mengalami suatu penyakit psikologis.Teori Rogers ini memang sangat populer dengan masyarakat Amerika yang memiliki karakteristik optimistik dan independen karena Rogers memandang bahwa pada dasarnya manusia itu baik, konstruktif dan akan selalu memiliki orientasi ke depan yang positip. Pertanyaannya yaitu : Apakah teori ini juga akan sama efektifnya jika diaplikasikan pada masyarakat dengan budaya, dan struktur sosial serta sistem kemasyarakatan yang berbeda dengan Amerika? Sumber Referensi:
Schultz, Duane. Psikologi Pertumbuhan: Model – Model Kepribadian Sehat. Jogjakarta: Kanisius, 1991.
FILSAFAT PENDIDIKAN PROGRESIVISME
http://siti-amaliyah-uin-bi-2b.blogspot.com/2008/05/macam-macam-teori-filsafat-pendidikan.html
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
TEORI KONSTRUKTIVISME
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.
Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan satu pendekatan yang didapati sesuai dipraktikkan dalam pengajaran dan pembelajaran sains. Dalam pendekatan ini murid dianggap telah mempunyai idea yang tersendiri tentang sesuatu konsep yang belum dipelajari. Idea tersebut mungkin benar atau tidak.
Konstruktivisme melibatkan lima fasa, iaitu:
1. Guru meneroka pengetahuan sedia ada murid pada permulaan sesuatu pelajaran melalui soal jawab atau ujian.
2. Guru menguji idea atau pendirian murid melalui aktiviti yang mencabar idea atau pendiriannya.
3. Guru membimbing murid menstruktur semula idea.
4. Guru memberi peluang kepada murid mengaplikasikan idea baru yang telah diperoleh untuk menguji kesahihannya.
5. Guru membimbing murid membuat refleksi dan perbandingan idea lama dengan idea yang baru diperoleh.
Lebih dua dasa warsa terakhir ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran dari teori konstruktivisme sehingga banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktik pendidikan mereka, bahkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pun tak luput dari pengaruh teori ini. Paul Suparno dalam “Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan” mencoba mengurai implikasi filsafat konstruktivisme dalam praktik pendidikan. Berikut ini adalah intisari buku tersebut, sekiranya bisa bermanfaat bagi para pendidik dan orangtua.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri (Von Glaserfeld). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Jika behaviorisme menekankan ketrampilan atau tingkah laku sebagai tujuan pendidikan, sedangkan maturasionisme menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan usia, sementara konstruktivisme menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secaca kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang. Proses tersebut meliputi:
1. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
2. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
3. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
4. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
Bermakna dan Menghafal
Menurut Ausubel, ada dua macam proses belajar yakni belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna berarti informasi baru diasimilasikan dalam struktur pengertian lamanya. Belajar menghafal hanya perlu bila pembelajar mendapatkan fenomena atau informasi yang sama sekali baru dan belum ada hubungannya dalam struktur pengertian lamanya. Dengan cara demikian, pengetahuan pembelajar selalu diperbarui dan dikonstruksikan terus-menerus. Jelaslah bahwa teori belajar bermakna Ausubel bersifat konstruktif karena menekankan proses asimilasi dan asosiasi fenomena, pengalaman, dan fakta baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa sebelumnya.
Berlandaskan teori Piaget dan dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang mengatakan bahwa bagian terpenting dari pemahaman manusia adalah perkembangan konsep secara evolutif, dengan terus manusia berani mengubah ide-idenya, Posner dkk lantas mengembangkan teori belajar yang dikenal dengan teori perubahan konsep. Tahap pertama dalam perubahan konsep disebut asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya untuk menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan fenomena baru yang tak bisa dipecahkan dengan pengetahuan lamanya, maka ia harus membuat perubahan konsep secara radikal, inilah yang disebut tahap akomodasi.
Tugas pendidikan adalah bagaimana dua tahap tersebut bisa terus berlangsung dengan terus memberi tantangan sehingga ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Praktik pendidikan yang bersifat hafalan seperti yang selama ini berlangsung jelas sudah tidak memadai lagi, bahkan bertentangan dengan hakikat pengetahuan dan proses belajar itu sendiri.
Beberapa macam konstruktivisme
Von Glaserfeld membedakan tiga level konstruktivisme dalam kaitan
hubungan pengetahuan dan kenyataan, yakni konstruktivisme radikal,
realisme hipotesis, dan konstruktivisme yang biasa.
Konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan
dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Bagi kaum radikal,
pengetahuan adalah suatu pengaturan atau organisasi dari suatu obyek
yang dibentuk oleh seseorang. Menurut aliran ini kita hanya tahu apa
yang dikonstruksi oleh pikiran kita. Pengetahuan bukanlah representasi
kenyataan. Realisme hipotesis memandang pengetahuan sebagai suatu
hypotesis dari suatu struktur kenyataan dan sedang berkembang menuju
pengetahuan yang sejati yang dekat dengan realitas. Sedangkan
konstruktivisme yang biasa, masih melihat pengetahuan sebagai suatu
gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek.
Dari segi subyek yang membetuk pengetahuan, dapat dibedakan antara
konstruktivisme psikologis personal, sosiokulturalisme, dan
konstruktivisme sosiologis. Yang personal dengan tokohnya Piaget,
menekankan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh seseorang secara
pribadi dalam berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang
dihadapinya. Orang itu sendiri yang membentuk pengetahuan.
Sosiokulturalisme yang ditokohi oleh Vygotsky, menjelaskan bahwa
pengetahuan dibentuk baik secara pribadi tetapi juga oleh interaksi
sosial dan kultural dengan orang-orang yang lebih tahu tentang hal itu
dan lingkungan yang mendukung. Dengan dimasukkannya seseorang dalam
suatu masyarakat ilmiah dan kultur yang sudah punya gagasan tertentu,
maka orang itu membentuk pengetahuannya. Sedangkan konstruktivisme
sosiologis menyatakan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh masyarakat
sosial. Unsur masyarakatlah yang penting, sedang unsur pribadi tidak
diperhatikan.
Dampaknya terhadap pendidikan
Dalam pengertian konstruktivisme, belajar adalah suatu proses
pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dibuat sendiri oleh
pelajar atau orang yang mau mengerti. Orang itulah yang aktif
berpikir, membuat konsep, dan mengambil makna. Guru atau pendidik di
sini hanyalah membantu agar proses konstruksi itu berjalan. Guru bukan
mentransfer pengetahuan sebagai yang sudah tahu, tetapi membantu agar
anak didik membentuk pengetahuannya.
Dalam belajar sistem ini, peran murid diutamakan dan keaktivan murid
untuk membentuk pengetahuan dinomorsatukan. Semua peralatan, bahan,
lingkungan, dan fasilitas disediakan untuk membantu pembentukan itu.
Murid diberi kesempatan mengungkapkan pemikirannya akan suatu masalah,
tanpa dihambat. Dengan dibiasakan berpikir sendiri dan
mempertanggungjawabkan pemikirannya, murid akan terlatih untuk menjadi
pribadi yang sungguh mengerti, yang kritis, kreatif, dan rational.
Dalam pengertian konstruktivisme, murid tidak dianggap sebagai suatu
tabula rasa yang kosong, yang tidak mengerti apa-apa sebelumnya. Murid
dipahami sebagai subyek yang sudah membawa "pengertian awal" akan
sesuatu sebelum mereka mulai belajar secara formal. Bahkan seorang
murid klas 1 SD pun sudah membawa pengetahuan awal mengenai
macam-macam hal yang dalam tarafnya berlaku untuk memecahkan
persoalan. Pengetahuan awal tersebut, meski kadang sangat naif atau
tidak cocok dengan pengertian para ahli, perlu diterima dan nanti
dibimbing untuk semakin sesuai dengan pemikiran para ahli. Pemikiran
mereka itu meski naif, bukanlah salah; tetapi terbatas berlakunya.
Pihak guru dituntut pengetahuan yang luas dan mendalam, agar dapat
memahami jalan pikiran anak. Guru menantang, mempertajam, dan
menunjukkan apakah jalan pikiran murid benar. Guru tidak mengklaim
bahwa satu-satunya jalan yang benar adalah yang sama dengannya.
Kesalahan pemikiran anak diterima sebagai landasan kemajuan. Bukankah
perkembangan semua ilmu mulai dari kesalahan, demikian tandas para
konstruktivis.
* Dr Paul Suparno, M.S.T, dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta,
doktor pendidikan sains dari Boston University, Amerika Serikat.
TEORI PENDIDIKAN THORNDIKE
pemikiran pendidikan Edward Leer Thorndike
Teori Belajar yang di Kemukakan Edward Leer Thorndike
Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di amerika serikat di dominasi oleh pengaruh dari Thorndike (1874-1949) teori belajar Thorndike di sebut “ Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut “Trial and error” dlam rangkan menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.
Objek penelitian di hadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.
Ciri-ciri belajar dengan trial and error :
1.Ada motif pendorong aktivitas
2.ada berbagai respon terhadap situasi
3.ada aliminasi respon-respon yang gagal atau salah
4.ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu
Jumat, 20 Juni 2008 Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern
Dalam filsafat pendidikan modern dikenal beberapa aliran, antara lain progresivisme, esensialisme, perenialisme, dan rekonstruksionisme.
1. Aliran Progresivisme
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan (Muhammad Noor Syam, 1987: 228-229)Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan Georges Santayana.Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain (Ali, 1990: 146). Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
2. Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, pada tarap permulaan seseorang belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsure apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.Bila orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori yang terarah buikanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna, 1983: 120-121).Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof , menerangkan tentang hakikat social dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja Yng telah ditentukan dan diatur oleh alam social. Jadi, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai social angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan berikutnya.
3. Aliran Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi sseorang untukk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah arsah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal dan memahami factor-faktor dan problema yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak memberikan sumbangan kepadaperkembangan zaman dulu.Tugas utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik kea rah kematangan. Matang dalam arti hiodup akalnya. Jadi, akl inilah yang perlu mendapat tuntunan kea rah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung, anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempesiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam nidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
4. Aliran Rekonstruksionisme
Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan. http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com/2008/06/aliran-aliran-filsafat-pendidikan.html
Landasan-landasan Pendidikan By sudionokps (http://sudionokps.wordpress.com/2008/07/20/landasan-landasan-pendidikan/)
Pendahuluan
Pendidikan itu bersifat universal dan langsung terus menerus dari generasi yang satu ke generasi yang lain. Upaya memanusiakan manusia melalui pendidikan, diselenggarakan sesuai dengan pandangan hidup dan latar belakang sosiokultural tiap-tiap masyarakat, serta pemikiran-pemikiran psikologis tertentu dan IPTEKS. Jadi, pendidikan diselenggarakan berlandaskan falsafah hidup dan sosiokultural masyarakat, psikologi dan IPTEKS.
Ada beberapa istilah yang perlu memperoleh kejelasan, yaitu dasar, asas, dan landasan. Dasar adalah landasan, pijakan yang disepakati menjadi pegangan, yang selamanya menjiwai setiap langkah atau kegiatan, sejak merencanakan sampai melaksanakan. Dasar pendidikan kita, artinya yang akan menjadi landasan atau pijakan bagi pendidikan kita adalah Pancasila. Asas adalah ketentuan-ketentuan yang harus menjadi pedoman atau menjadi pegangan dalam melaksanakan kegiatan. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan petunjuk-petunjuk teknis, agar pelaksanaannya berlangsung secara efektif dan efisien. Demikian juga dalam kegiatan pendidikan, ada petunjuk-petunjuknya. Contoh asas pendidikan adalah: asas ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani; asas pendidikan sepanjang hayat, asas semesta, menyeluruh dan terpadu; asas manfaat; asas usaha bersama; asas demokratis; asas adil dan merata; asas perikehidupan dalam keseimbangan; asas kesadaran hokum; asas kepercayaan pada diri sendiri; asas efisiensi dan efektivitas; asas mobilitas dan fleksibilitas. Asas-asas ini pernah dirumuskan oleh komisi pembaharuan pendidikan nasional ( KPKPN ).
Uraian :
a. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan, misalnya apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan itu diperlukan, dan apa tujuan pendidikan itu. Pembahasan mengenai semua ini berkaitan dengan pandangan filosofis tertentu. Filsafat menelaah sesuatu secara radikal sampai seakar-akarnya, menyeluruh dan konseptual, yang menghasilkan konsep-konsep mengenai kehidupan dan dunia. Landasan filosofis terhadap pendidikan dikaji terutama melalui filsafat pendidikan, yang mengkaji pendidikan dari sudut filsafat. Misalnya mungkinkah pendidikan diberikan kepada manusia, apakah pendidikan bukan merupakan keharusan, mengapa? Kemungkinan pendidikan diberikan kepada manusia bahkan harus diberikan, berkaitan dengan pandangan mengenai hakikat manusia. Bahasan mengenai hakikat manusia itu, dapat dijawab melalui kajian filosofis. Pendidikan itu mungkin diberikan dan bahkan harus, karena manusia adalah makhluk individualitas, makhluk sosialitas, makhluk moralitas, makhluk personalitas, makhluk budaya, dan makhluk yang belum jadi. Essensialisme, perenialisme, pragmatisme, progresivisme, rekonstruksionalisme, dan pancasila adalah merupakan aliran-aliran filsafat yang mempengaruhi pandangan, konsep dan praktik pendidikan.
1) Essensialisme
Essensialisme merupakan aliran atau mazab pendidikan yang menerapkan filsafat idealisme dan realisme secara eklektis. Mazab ini mengutamakan gagasan-gagasan yang terpilih, yang pokok-pokok, yang hakiki ( essensial ), yaitu liberal arts. Yang termasuk the liberal arts adalah bahasa, gramatika, kesusasteraan, filsafat, ilmu kealaman, meatematika, sejarah dan seni.
2) Perenialisme
Perenialisme hampir sama dengan essensialisme, tetapi lebih menekankan pada keabadian atau ketetapan atau kehikmatan ( perennial = konstan ). Yang abadi adalah (1) pengetahuan yang benar, (2) keindahan, dan (3) kecintaan kepada kebaikan. Prinsip-prinsip pendidikannya: (1) pendidikan yang abadi, (2) inti pendidikan mengembangkan keunikan manusia yaitu kemampuan berfikir, (3) tujuan belajar mengenalkan kebenaran abadi dan universal, (4) pendidikan merupakan persiapan bagi hidup yang sebenarnya, (5) kebenaran abadi diajarkan melalui pelajaran dasar, yang mencakup bahasa, matematika, logika, IPA dan sejarah.
3) Pragmatisme dan Progresivisme
Pragmatisme mazab filsafat yang menekankan pada manfaat atau kegunaan praktis. Progredivisme mazab filsafat yang menginginkan kemajuan, mengkritik, essensialisme dan perenialisme karena mengutamakan pewarisan budaya masa lalu, menggunakan prinsip pendidikan antara lain (1) anak hendaknya diberi kebebasan, (2) gunakan pengalaman langsung, (3) guru bukan satu-satunya, (4) sekolah hendaknya progresif menjadi laboratorium untuk melakukan berbagai pembaharuan pendidikan dan eksperimentasi.
4) Rekonstruksionisme
Mazab rekonstruksionisame merupakan kelanjutan dari progresivisme. Mazab ini berpandangan bahwa pendidikan/ sekolah hendaknya memelopori melakukan pembaharuan kembali atau merekonstruksi kembali masyarakat agar menjadi lebih baik. Karena itu pendidikan/sekolah harus mengembangkan ideologi kemasyarakatan yang demokratis.
5) Pancasila
Bahwa pancasila merupakan mazab filsafat tersendiri yang dijadikan landasan pendidikan, bagi bangsa Indonesia dituangkan dalam Undang-undang pendidikan yang berlaku. UU No. 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas (akan segera diubah ) mengaturnya dalam pasal 2, pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Demikian pula dalam GBHN-GBHN yang pernah dan sedang berlaku, biasa ditetapkan dasar pendidikan pancasila ini.
b. Landasan Sosiologis
Pada bagian depan telah dikemukakan bahwa manusia selalu hidup bersama dengan mwnusia lain. Kajian-kajian sosiologis telah dikemukakan pada waktu membahas hakikat masyarakat. Masyarakat dengan berbagai karakteristik sosiokultural inilah yang juga dijadikan landasan bagi kegiatan pendidikan pada suatu masyarakat tertentu. Bagi bangsa Indonesia, kondisi sosiokultural bercirikan dua, yaitu secara horisontal ditandai oleh kesatuan-kesatuan sosial sesuai dengan suku, agama adat istiadat dan kedaerahan. Secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah dan bawah. Fenomina-fenomina sosial dan struktur sosial yang ada pada masyarakat Indonesia sangat berkaitan dengan pendidikan sebagaimana telah diuraikan di muka.
c. Landasan Kultural
Saling pengaruh antara pendidikan dengan kebudayaan juga telah dikemukakan ketika membahas kaitan kebudayaan dengan pendidikan. Kebudayaan tertentu diciptakan oleh orang di masyarakat tertentu tersebut atau dihadirkan dan diambil oper oleh masyarakat tersebut dan diwariskan melalui belajar/pengalaman terhadap generasi berikutnya. Kebudayaan seperti halnya sistem sosial di masyarakat meruoakan kondisi esensial bagi perkembangan dan kehidupan orang.
Proses dan isi pendidikan akan memberi bentuk kepribadian yang tumbuh dan pribadi-pribadi inilah yang akan menjadi pendukung, pewaris, dan penerus kebudayaan, secara ringkas adalah (1) kebudayaan menjadi kondisi belajar, (2) kebudayaan memiliki daya dorong, daya rangsang adanya respon-respon tertentu, (3) kebudayaan memiliki sistem ganjaran dan hukuman terhadap perilaku tertentu sejalan dengan sistem nilai yang berlaku, dan (4) adanya pengulangan pola perilaku tertentu dalam kebudayaan. Tanpa pendidikan budaya dan manakala pendidikan budaya tersebut terjadi tetapi gagal, yang kita saksikan adalah kematian atau berakhirnya suatu kebudayaan.
d. Landasan Psikologis
Pendidikan selalu terkait dengan aspek kejiwaan manusia, sehingga pendidikan juga menggunakan landasan psikologis, bahkan menjadi landasan yang sangat penting, karena yang digarap oleh pendidikan hampir selalu berkaitan dengan aspek kejiwaan manusia. Ketika membahas hakikat manusiapun ada pandangan-pandangan psikologik, seperti behaviorisme, humanisme dan psikologi terdapat cukup banyak. Contoh, tipe-tipe manusia yang dikemukakan oleh Eduard Spranger, ia menyebut ada enam tipe manusia, yaitu manusia tipe teori, tipe ekonomi, tipe keindahan ( seni ), tipe sosial, tipe politik dan tipe religius. Model-model belajar juga dikemukakan oleh para psikolog seperti Skinner, Watson, dan Thorndike. Bahwa manusia mempunyai macam-macam kebutuhan dikemukakan misalnya oleh Maslow. Perkembangan peserta didik dengan tugas-tugas perkembangan terkait dengan pola pendidikan. Sifat-sifat kepribadian dengan tipe-tipenya masing-masing, juga terkait dengan pendidikan. Karakteristik jiwa manusia Indonesia bisa jadi berbeda dengan bangsa Amerika ( Barat ), maka pendidikan menggunakan landasan psikologis.
e. Landasan Ilmiah dan Teknologi serta Seni
Pendidikan dan IPTEKS mempunyai kaitan yang sangat erat, karena IPTEKS merupakan salah satu bagian dari sisi pengajaran, jadi pendidikan sangat penting dalam rangka pewarisan atau tranmisi IPTEKS, sementara pendidikan itu sendiri juga menggunakan IPTEKS sebagai media pendidikan. IPTEKS yang selalu berkembang dengan pesat harus diikuti terus oleh pendidikan, sebab kalau tidak maka pendidikan menjadi sangat ketinggalan dengan IPTEKS yang sudah berkembang di masyarakat. Cara-cara memperoleh dan mengembangkan ilmu (epistemologi ) dibahas dalam pendidikan, hingga pemanfaatan ilmu bagi umat manusia, kaitan ilmu dengan moral, politik, dan sosial menjadi tugas pendidikan.
Analisis dan Pembahasan
Landasan Pendidikan
Pendidikan diselenggarakan berdasarkan filsafat hidup serta berlandaskan sosiokultural setiap masyarakat, termasuk di Indonesia. Kajian ketiga landasan itu (filsafat, sosiologis dan kultural) akan membekali setiap tenaga kependidikan dengan wawasan dan pengetahuan yang tepat tentang bidang tugasnya.
Selanjutnya, ada dua landasan lain yang selalu erat kaitannya dalam setiap upaya pendidikan, utamanya pengajaran, yakni landasan psikologis yang akan membekali tenaga kependidikan dengan pemahaman perkembangan peserta didik dan cara-cara belajarnya, dan landasan IPTEK yang akan membekali tenaga kependidikan tentang sumber bahan ajaran.
Landasan Filosofis
Merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan, yang berusaha menelaah masalah-masalah pokok seperti; Apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan itu diperlukan, apa yang seharusnya menjadi tujuannya, dsb. Landasan filosofis adalah landasan yang berdasarkan atau bersifat filsafat (falsafat, falsafah). Ada 4 mahzab filsafat pendidikan yang besar pengaruhnya dalam pemikiran dan penyelenggaraan pendidikan. Keempat mahzab filsafat pendidikan (Redja Mudyahardjo, et.al., 1992 : 144 – 150; Wayan Ardhana, 1986 : 14-18) adalah:
a. Esensialisme
Merupakan mahzab filsafat pendidikan yang menerapkan prinsip idealisme dan realisme secara eklektis. Mahzab esensialisme mulai lebih dominan di Eropa sejak adanya semacam pertentangan diantara para pendidik sehingga mulai timbul pemisahan antara pelajaran–pelajaran teoritik (Liberal Arts) yang memerdekakan akal dengan pelajaran-pelajaran praktek (Practical Arts). Menurut mahzab ini, yang termasuk “The Liberal Arts”, yaitu:
1) Penguasaan bahasa termasuk retorika.2) Gramatika.3) Kesusasteraan.4) Filsafat.5) Ilmu Kealaman.6) Matematika.7) Sejarah. Seni Keindahan (Fine Arts).
Aliran atau mahzab tersebut dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah formal adalah adanya penetapan berbagai mata pelajaran yang disajikan atau dituangkan dalam kurikulum sekolah. Namaun demikian hal tersebut tidak berarti memisahkan antar mata pelajaran tetapi semuanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pembagian dalam berbagai mata pelajaran tersebut dapat memudahkan dan membantu siswa untuk mempelajari dan memahami tahap demi tahap, yang pada akhirnya menyeluruh (holistik). Karena semua mata pelajaran tersebut diperlukan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya sebagai makhluk sosial.
b. Perenialisme
Ada persamaan antara perenialisme dan esensialisme, yakni keduanya membela kurikulum tradisional yang berpusat pada mata pelajaran yang pokok-pokok (subject centered). Perbedaannya ialah pernialisme menekankan keabadian teori kehikmatan, yaitu:
1) Pengetahuan yang benar (truth).
2) Keindahan (beauty).
3) Kecintaan kepada kebaikan (goodness).
Juga sebaliknya kurikulum bersifat wajib dan berlaku umum, yang harus mencakup:
1) Bahasa.
2) Matematika.
3) Logika.
4) Ilmu Pengetahuan Alam.
5) Sejarah.
Dalam mahzab atau aliran ini menggambarkan pendidikan menekankan pentingnya penanaman nilai kebenaran, keindahan, kebaikan. Hal ini juga sesuai dengan relaitas kehidupan manusia yang di dalam dirinya selalu condong kepada kebaikan dan kebenaran yang bisa diterima oleh masyarakat umum. Jika hal tersebut tidak tampak dalam penyelenggaraan pendidikan maka akan tidak bisa diterima dan menimbulkan pro dan kontra.
c. Pragmatisme dan Progresivisme
Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang mengemukakan bahwa segala sesuatu harus dinilai dari segi nilai kegunaan praktis.
Penerapan konsep pragmatisme secara eksperimental melalui 5 tahap, yaitu:
1) Situasi tak tentu.
2) Diagnosis.
3) Hipotesis.
4) Pengujian Hipotesis.
5) Evaluasi.
Progresivisme (gerakan pendidikan progresif) mengembangkan teori pendidikan yang mendasarkan diri pada beberapa prinsip, antara lain :
Anak harus bebas untuk dapat berkembang secara wajar.
Pengalaman langsung merupakan cara terbaik untuk merangsang minat belajar.
Guru harus menjadi seorang peneliti dan pembimbing kegiatan belajar.
Sekolah progresif harus merupakan suatu laboratorium untuk melakukan reformasi pedagosis dan eksperimentasi.
Aliran ini pada hakekatnya mengajarkan kepada pendidik dan penyelenggara pendidikan untuk mendidik bagaimana berpikir kritis, sistematis, ilmiah dan mampu menguji kebenaran dalam ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah. Karena kebenaran yang ada itu bisa bersifat relatif bahkan bisa menjadi salah jika ditemukan teori yang baru.
Pancasila sebagai Landasan Filosofis Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa Pendidikan Nasional bedasarkan Pancasila dan UUD 45. Sedangkan Ketetapan MPR RI No. 11/MPR/1987 tetang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) menegaskan bahwa Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negar Republik Indonesia.
P4 atau Ekaprasetya Pancakarsa sebagai petunjuk operasional pengamalan Pancasiladalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang pendidikan . Perlu ditegaskan bahw Pengamalan Pancasila itu haruslah dalam arti keseluruhan dan keutuhan kelima sila dalam Pancasila itu, sebagai yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 , yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Buku I Bahan Penataran P4 dikemukakan bahwa Ketetapan MPR RI No. 11/MPR/1989 tersebut diatas memberi petunjuk-petunjuk nyata dan jelas wujud pengamalan kelima sila dari Pancasila.
Landasan Sosioligis
a. Pengertian tentan Landasan Sosiologis
Sosiologi pendidian merupakan analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi 4 bidang, yaitu:
1) Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain.
2) Hubungan kemanusiaan di sekolah.
3) Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya.
4) Sekolah dalam komunitas.
Kajian sosiologi tentang pendidikan pada prinsipnya mencakup semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan diluar sekolah. Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, telah mengalami banyak perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik baik secara horizontal maupun vertikal masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya.
Namun dengan niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat Indonesia serta dengan kemajuan dalam berbagai bidang pembagunan, utamanya dalam bidang pendidikan politik, maka sisi ketunggalan dari “Bhineka Tunggal Ika” makin mencuat. Berbagai upaya yang dilakukan, baik melalui kegiatan jalur sekolah (misalnya dengan mata pelajaran pendidikan moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, dll) maupun jalur pendidikan luar sekolah (penataran P4, pemasyarakatan P4 non penataran, dll) telah mulai menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang semakin kokoh. Berbagai upaya tersebut dilaksanakan dengan tidak mengabaikan kenyataan tentang kemajemukan masyrakat Indonesia.
Landasan Kultural
Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat dilestarikan / dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baik secara informal maupun secara formal. Sebaliknya bentuk ciri-ciri dan pelaksanaan pendidikan itu ikut ditentukan oleh kebudayaan masyarakat dimana proses pendidikan itu berlangsung.
a. Pengertian tentang Landasan Kultural
Pendidikan tidak hanya berfungsi untuk menstranmisi kebudayaan kepada generasi penerus, tetapi pendidikan juga berfungsi untuk menstranformasikan kebudayaan agar sesuai dengan perkembangan dan tujuan zaman. Dengan kata lain, sekolah secara seimbang melaksanakan fungsi ganda pendidikan , yakni sebagai proses sosialisasi dan sebagai agen pembaruan. Dalam bidang pendidikan, kedua fungsi tersebut kadang-kadang dipertentangkan, antara penganut pendidikan sebagai pelestarian (teashing a conserving activity).
b. Kebudayaan Nasional sebagai Landasan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Sistem pendidikan nasional adalah pendidkan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia (UU RI No. 2/1978) pasal 1 ayat 2. Karena masyarakat Indonesia sebagai pendukung kebudayaan itu adalah masyarakat yang majemuk, maka kebudayaan bangsa Indonesia tersebut lebih tepat disebut sebagai Kebudayaan Nusantara yang beragam. Puncak-puncak kebudayaan Nusantara itu dan yang diterima sacara nasional disebut kebudayaan nasional. Oleh karena itu, kebudayaan nasional haruslah dipandang dalam latar perkembangan yang dinamis seiring dengan semakin kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa indonesia sesuai dengan asas bhineka tunggal ika.
Landasan Psikologis
Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaanmanusia, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang penting dalam pendidikan. Pada umumnya landasan psikologis dri pendidikan tersebut terutama tertuju pada pemahaman manusia, khususnya tentang proses perkembangan dan proses belajar.
a. Pengertian tentang Landasan Psikologis
Hasil kajian dan penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan, misalnya pengetahuan tentang setiap aspek, dan konsep tentang cara-cara paling cepat untuk mengembangkannya. Untuk maksud itu psikologi menyediakan sejumlah informasi tenang kehidupan pribadi manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi.
b. Perkembangan Peserta Didik sebagai Landasan Psikologis
Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik karena pertumbuhan maupunkarena perkembangan. Pertumbuhan terutama karena pngaruh faktor internal sebagai akibat kematangan dan proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama karena pengaruh lingkungan.
Landasan Ilmiah dan Teknologis
Pendidikan serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mempunyai kaitan yang sangat erat. Pendidikan berperan sangat pentingdalam pewarisan dan pengembangan iptek. Setiap perkembangan iptek harus segera diakomodasi oleh pendidikan yakni dengan segera memasukkan hasil pengembangan iptek itu ke dalam isi bahan ajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat dipengaruhi oleh sejumlah cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu perilaku (psikologi, sosiologi, antropologi).
a. Pengertian tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Pengetahuan (Knowledge) adalah segala sesuatu yang diperoleh melalui berbagai cara penginderaan terhadap fakta, penalaran (rasio), intuisi dan wahyu. Pengetahuan yang memenuhi kriteria dari segi ontologis, epistomologis dan aksiologis secara konsekuen dan penuh disiplin biasa disebut ilmu atau ilmu pengetahuan (science); kata sifatnya ilmiah atau keilmuan, sedangkan ahlinya disebut ilmuwan. Dengan demikian, pengetahuan meliputi berbagai cabang ilmu (ilmu sosial/social sciences dan ilmu-ilmu alam/natural sciences), humaniora (seni, fisafat , bahasa, dsb). Oleh karena itu, istilah ilmu atau ilmu pengetahuan itu dapat bermakna kumpulan informasi, cara memperoleh informasi serta manfaat daari informasi itu.
b. Perkembangan Iptek sebagai landasan Ilmiah
Pengembangan dan pemanfaatan iptek pada umumnya ditempuh rangkaian kegiatan : Penelitian dasar, penelitian terapan, pengembangan teknologi dan penerapan teknologi, serta biasanya diikuti pula dengan evaluasi ethis-politis-religius.
Kemampuan maupun sikap ilmiah sedini mungkin harus dikembangkan dalam diri peserta didik. Pembentukan keterampilan dansikap ilmiah sedini mungkin tersebut secara serentak akan meletakkan dasar terbentuknya masyarakat yang sadar akan iptek dan calon-calon pakar iptek kelak kemudian hari.
Penutup
a. Simpulan
Berdasarkan uraian di muka maka dapat ditarik beberapa ciri umum pendidikan sebagai berikut :
1) Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai oleh keseimbangan anatara kedaulatan subyek didik dengan kewibawaan pendidik.
2) Pendidikan merupakan usaha penyiapan subyek didik menghadapi lingkungan hidup yang engalami perubahan semakin pesat.
3) Pendidikan mengandung tujuan tertentu, yaitu meingkatkan kualitas kehidupan pribadi masyarakat.
4) Pendidikan berlangsung seumur hidup
5) Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan melakukan usaha yang sengaja dan terencana dengan memilih materi, strategi kegiatan dan teknik penilaian yang sesuai.
6) Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmupengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya. Kegiatan tersebut dapat dilakukan baik di sekolah maupun di luar sekolah yaitu dikeluarga dan masyarakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar