Prof. Dr. Abdul Rahman Lubis, MSc
Chairman of Aceh Development Planning Agency (BAPPEDA Provinsi NAD)
The massive earthquake with a magnitude of 8.9 Richter scale and followed by a devastating tsunami has rocked Aceh Province, Indonesia in the last December 2004. The loss of life and tremendous destruction were unavoidable and tragic. Consequently, the catastrophe has brought the economy of Aceh into jeopardy with the massive devastation of physical capitals as well as human resources in the most developed areas in Aceh as the motor of development. On the other hands, the other part of Aceh is still characterized by rural economy that needs a stimulation to grow and utilize their potentials. Thus, a comprehensive, on-going Acehs reconcstruction particularly in the economic recovery should also consider the inclusion of all potentials, physical and social capitals utilization of Acehnese in all parts of Aceh, not only in the destroyed areas. In order to achieve and support the Acehs Redevelopment Mission post the tragedy, Local Economic and Resources Development (LERD), for example, has been considered as a strategic model in order to provide a stimulus at the local or group level, in which both local governments and community-based groups manage their own resources into more productive economic activities in Aceh. However, the ongoing Acehs Rehabilitation and Reconstruction Process as strongly supported both by an amazing outpouring of compassion and generosity from around the world and the current peace agreement signed by both parties on August 15th, 2005 in Helsinki will be a substantial momentum to build Aceh together back better with a prosperity, sincerity and dignity.
Ucap Utama 2
LEADERSHIP: IT IS VALUES THAT MATTER MOST
Tan Sri Dato’ Seri Sanusi Junid
President The International Aceh Club, Kuala Lumpur
Leaders play important roles in the rise and fall of nations. Nations need leaders to show the right direction with the right objectives. The earlier generation of human being attached a great deal of importance to their leaders. Leaders become the problem solvers and inspire the people around them to strive for successes leading to the greatness of their nations. Moreover, leaders must be able to perform even in the most difficult situation with very limited resources available. It seems that leaders must have incredible skills with great abilities to succeed in their mission. As far as leadership is concerned, there are so many characteristics and ingredients a leader must possess. Here, we are not going to discuss characteristics, ingredients and qualities of a leader because there are numerous books and articles available on such issues. What we want to share with you is the most essential among elements that every leader must have. Value is certainly the mother of all qualities that every leader should have. This is the element that set great leaders apart. Comprehensive readings reveal that five values i.e. trustworthiness, courage, discipline, diligence and loyalty are the driving force behind great leaders. These values are the contents of Bushido, Hwarang and Jinsheng spirits that brought success to Japan, South Korea and Taiwan respectively. Looking back at the glorious days of Aceh, the 5 (five) moral values also existed and practiced during that time. These five values are what matter most for each and every leader. Furthermore, these are Islamic values.
PEMBANGUNAN ADMINISTRASI DAN BIROKRASI
DI PROVINSI ACEH PASCA TSUNAMI
Rasyidin
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam
Provinsi Aceh pasca tsunami mengalami perubahan yang sangat signifikan baik dalam bidang pembangunan fisik maupun pembangunan bukan fisik. Hal terjadi setelah seluruh inprastruktur maupun suprastruktur rusak karena dihantam oleh gempa bumi dan gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Menurut catatan statistic provinsi Aceh sejumlah 250 ribu orang mati terbunuh dan 70 % inprastuktur Aceh rusak sehingga Aceh telah mengalami kerugian lebih kurang 117 triliun rupiah. Tsunami Aceh telah menciptakan pula sebuah ruang kesadaran sosial, humanistik dan spiritual baru. Seperti sebuah magnet raksasa, dimana musibah tersebut telah mampu menyatukan hati, jiwa dan perasaan bangsa Indonesia, yang sebelumnya dihantam kebencian, kecurigaan, perselisihan, konflik etnis, agama, kemarahan dan kekerasan. Hikmah gempa bumi dan gelombang tsunami telah mampu menyadarkan berbagai pihak yang bertikai selama ini. Seiring dengan musibah tersebut telah tercipta sebuah peluang yaitu wujudnya perdamaian di Provinsi Aceh diantara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Negara Republik Indonesia. Hari ini Aceh telah diberikan sebuah peluang emas untuk mengurus provinsi ini sesuai dengan adat resam, budaya dan kebiasaan serta agama yang diamalkan oleh orang Aceh sejak dahulu. Kesungguhan pemerintah Republik Indonesia menggubal sebuah undang-undang pemerintahan Aceh melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006. Merujuk kepada undang-undang ini Aceh diberi peluang untuk mengurus rumah tangganya sendiri, menjalan pembangunan sebagai upaya meningkatkan kembali Aceh bagaikan sedia kala. Melalui tulisan ini penulis mencoba untuk memberikan konsep pemikiran tentang pembangunan administrasi dan birokrasi di provinsi Aceh, dengan mengadobsi pendapat para pakar pemerintahan katalis dan birokasi yang effektif dan efesien. Disamping itu memberikan etika pembangunan yang diperlukan hari ini. Birokrasi yang berpihak kepada masyarakat sebagai pengguna perkhidmatan (jasa) birokrat. Dengan tulisan ini para pengurus keperluan umum kiranya dapat dipedomani sebagai panduan dalam menjalankan pemerintahan Aceh seperti diamanahkan oleh Undang-Undang nomor 11 tahun 2006. Dengan demikian Aceh akan lebih bermarwah dan bertabat baik pada tingkat regional maupun peringkat Internasional dimasa-masa yang akan datang dengan wajah dan format pemerintahan baru dan berbeda dengan pelayanan administrasi dan birokrasi selama ini dijalankan di Negara Republik Indonesia. Pemerintah Aceh mencoba meredefinisikan apa yang dimaksud dengan pembangunan Administrasi dan Birokrasi yang tangguh.
MEMBANGUN SISTEM TERPADU KESEJAHTERAAN SOSIAL ACEH
Radhi Darmansyah1 & T. Voenza Rhamdan2
1Manajer Kesejahteraan Sosial pada Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD- NIAS
2Ketua Tim Operasional untuk Kajian Sistem Kesejahteraan Sosial Aceh pada Satker BRR – Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial (PRKS).
Model pelayanan publik dengan basis manfaat untuk individu dalam penanganan sosial, kesehatan, pendidikan, dan hari tua mesti disiapkan dan dikembangkan lebih ideal bagi masyarakat Aceh paska konflik dan tsunami. Pembentukan Sistem Kesejahteraan Sosial Aceh diharapkan dapat memadukan pelayanan publik yang ada saat ini, seperti bantuan-bantuan sosial, ASKESKIN, SPP/beasiswa, dan TASPEN/JAMSOSTEK dalam suatu kelembagaan yang menyatu. Bahkan pengadaan sistem Identitas Cerdas (Smart ID), semisal Sosial Security di Amerika Serikat, akan memberikan akses yang lebih baik secara online untuk pelayanan kependudukan, perbankan, dan kepolisian secara bertahap. Human Development Index (HDI) Aceh sangat berpotensi untuk diperbaiki secara cepat dalam waktu dekat. Apalagi sumber dana untuk pelayanan kesejahteraan individu ini dimungkinkan oleh UUPA dengan alokasi Pendapatan Daerah (DAK-DUA) yang lebih banyak dan konsistensi donasi masyarakat lokal (via zakat, infaq, sadaqah) dan masyarakat internasional.
GOOD GOVERNANCE FOR FIGHTING CORRUPTION IN ACEH
Saiful
Bengkulu University
Corruption is the dominant factor that contributes to failure of Aceh development program. Lower levels of private investment and growth, inefficient of inferior resource allocation, distorted government expenditure and distorted government revenue, higher income inequality and poverty, and lower standards in public life are the indication of higher corruption in Aceh. Corruption is related to poor governance. Lack of transparency and of effective institutional controls is the main factors leading to poor governance. Since corruption is the failure source, succeeding Aceh to fight corruption becomes main point in development Aceh in the future. Fighting corruption will be succeed, when Aceh implement the principle of good governance including transparency and accountability.
SISTEM PENDIDIKAN DI ACEH: SATU ALTERNATIF
PASCA TSUNAMI DAN KONFLIK
Nazaruddin Ali Basyah, M.Ed
Direktur Institut Kajian Pendidikan dan Motivasi, Aceh
Modal insan ataupun sumber daya manusia adalah strategi penting untuk mencapai kesejahteraan hidup sejak dahulu lagi. Denison (1967) menyatakan mereka yang berpendidikan mudah mencari dan memilih pekerjaan yang menjamin perolehan pendapatan yang tinggi dan lumayan. Kepentingan sumberdaya manusia ini kian bertambah penting khususnya dalam era sains dan teknologi informasi yang menuntut setiap individu khususnya pelajar untuk meningkatkan pengetahuan dan kemahiran mereka. Schultz (1961) menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi dalam sumberdaya manusia. Hal ini terbukti bahwa penduduk yang berpendidikan tinggi mempunyai kecenderungan untuk bekerja lebih baik dalam pengembangan karir dan menambah pendapatan keluarga. Meiyer menyatakan sumberdaya manusia memberikan sumbangan secara langsung terhadap pertumbuhan pendapatan negara melalui peningkatan ketrampilan dan produktiviti kerja.
UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DAN STRATEGI DALAM MEREALISASIKAN PEMBANGUNAN SOSIO-EKONOMI DI ACEH UTARA (PASAI).
Dr. Lukman Thaib
Masyarakat Aceh, Malaysia
Keberhasilan pembangunan sesebuah wilayah bukan hanya bergantung kepada satu bentuk undang-undang yang memberikan kuasa luas kepada sesebuah wilayah, sepertimana kekayaan sumber alam yang dimiliki Aceh sebelum ini belum mampu membuat daerah sejahtera, dengan itu yang lebih penting ialah sesuatu kebijakan pemerintah daerah haruslah berasal dari bawah (bottom up). Dengan itu kelahiran undang-undang pemerintahan Aceh haruslah dijadikan sebagai momentum untuk bangkitnya Nanggroe Aceh Darussalam dan hal ini haruslah dijadikan sebagai inisitiatif lokal di masa hadapan.
PEMBINAAN MODEL PENGARUH IKLIM KERJASAMA, MOTIVASI KERJA DAN GAYA KEPIMPINAN PENGETUA TERHADAP KEPUASAN KERJA GURU: SATU TINJAUAN DI INDONESIA
Prof. Madya Dr. Muhammad Hussin
Erawati Toelis
Universiti Kebangsaan Malaysia
Tujuan kajian ini ialah untuk meninjau hubungan antara iklim kerjasama, motivasi kerja, dan gaya kepimpinan pengetua terhadap kepuasan kerja guru bagi membolehkan pembinaan model pengaruh terhadap kepuasan kerja. Secara spesifik, objektif kajian ialah untuk meninjaui pengaruh faktor iklim kerjasama, motivasi kerja dan gaya kepimpinan beroientasi pendayautamaan struktur dan orientasi pertimbangan terhadap kepuasan kerja. Di samping itu, kajian ini juga bertujuan untuk membina model pengaruh faktor iklim kerjasama, motivasi kerja dan gaya kepimpinan beroientasi pendayautamaan struktur dan orientasi pertimbangan terhadap kepuasan kerja, Pengumpulan data dilakukan melalui tinjauan ke atas guru-guru Sekolah Menengah Tingkat Pertama di seluruh kota Padang. Populasi dan teknik persampelan yang digunakan ialah teknik persampelan stratifikasi yang setiap sekolah secara rawak dipilih guru yang akan disertakan dalam sampel, instrumen kajian, kajiam rintis, tatacara pengumpulan data. Sampel kajian dalam penyelidikan ini terdiri daripada guru-guru yang telah dilantik sebagai Pegawai Negeri pada Sipil Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di seluruh Kotamadya Padang, Propinsi Sumatera Barat, Indonesia. Terdapat beberapa alasan berkaitan dengan pemilihan sampel ini. Populasi kajian pula meliputi keseluruhan guru Pegawai Negeri Sipil Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Kota Padang, yang berjumlah seramai 1829 orang guru dari 34 buah sekolah. Soal selidik dalam kajian ini mengenai motivasi kerja menggunakan soal selidik dalam Job Diagnostic Survey; Internal Work Motivation (1975) dari Hackman dan Oldham (1973). Instrinsic Job Motivation dari Warr, Cook and Wall (1979), A Quuestionaire Measure of Individual Differences in Achieving Tendency (QMAT) yamg dibentuk oleh Mehrabian dan Bank (1978) yang diterjemahkan diubah suai oleh penyelidik berdasarkan indicator (ciri-ciri) pembolehubah Soalselidik gaya kepimpinan pengetua pula dibina dari Behavior Description Questionaire (LBDQ Form XII) yang telah direka bentuk oleh Lembaga Penyelidikan Personel (personal Research Board) Ohio University State. Dapatan kajian menunjukkan motivasi kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Sementara itu iklim kerjasama juga mempunyai pengaruh terhadap kepuasan kerja. Di samping itu, didapati juga iklim kerjasama mempunyai pengaruh yang besar terhadap motivasi kerja. Ini bermakna bahawa iklim kerjasama mempunyai pengaruh langsung terhadap kepuasan kerja dan pengaruh tidak langsung melalui motivasi kerja. Seterusnya gaya kepimpinan tidak mempunyai pengaruh terhadap motivasi kerja. Begitu juga gaya kepimpinan tidak berpengaruh terhadap motivasi kerja Walau bagaimanapun, gaya kepimpinan mempunyai pengaruh terhadap kepuasan kerja melalui pengaruhnya terhadap iklim kerjasama.
PENINGKATAN KUALITI PENGAJARAN DI INSTITUSI PENGAJIAN TINGGI
DI ACEH
Prof. Dr Saedah Siraj & Norhayati Ishak
Fakulti Pendidikan, Universiti Malaya
Pengajaran di peringkat pengajian tinggi juga merupakan satu agenda utama bagi menentukan pembangunan Aceh selepas Tsunami dilaksanakan secara menyeluruh. Kertaskerja ini akan melaporkan satu kajian tentang kualiti pengajaran dari persepsi pelajar di sebuah Institusi Pengajian Tinggi yang telah dijalankan di Aceh. Kajian tersebut bertujuan untuk mengenalpasti tahap amalan kualiti pengajaran yang diperlukan oleh pensyarah dalam pengajaran. Objektif kajian adalah untuk mengenalpasti (i) ciri-ciri utama yang diperlukan dan tahap yang sedia ada dalam amalan pengajaran, (ii) keutamaan ciri-ciri amalan pengajaran, dan (iii) hubungkait antara bidang pengkhususan dengan tahap amalan pengajaran. Responden kajian terdiri daripada pelajar yang sedang mengikuti pengajian diperingkat Sarjana Muda pada Universiti Syiah Kuala di Banda Aceh Indonesia. Sampel kajian seramai 120 orang pelajar pada tiga jabatan iaitu : Bahasa Indonesia, Biologi, dan Kimia. Kajian menggunakan kaedah tinjauan (Survey), dengan menggunakan instrumen berupa soal selidik. Statistik Deskriptif (frekuensi, peratus, min) dan korelasi pearson telah digunakan untuk menganalisis data. Hasil kajian menunjukkan bahawa: (i) 84.2 peratus responden memilih tahap amalan kualiti menguasai isi kandungan bidang yang diajar dalam perancangan pengajaran sebagai sangat perlu, (ii) 74.2 peratus responden memilih tahap amalan kualiti mempunyai kemahiran dalam penyampaian pengajaran bagi pelaksanaan pengajaran sebagai sangat perlu; (iii) 63.3 peratus responden yang memilih tahap amalan kualiti mempunyai pengetahuan perkaedahan penilaian pengajaran bagi penilaian pengajaran sebagai sangat perlu; (iv) manakala 61.7 peratus responden yang memilih tahap amalan pengajaran mempunyai kemahiran mendengar bagi hubungan interpersonal sebagai sangat perlu. Sedangkan pada tahap yang sedia ada daripada aspek iaitu perancangan pengajaran, pelaksanaan pengajaran, penilaian pengajaran, hubungan interpersonal, hasil kajian menunjukkan majoriti ke empat-empat aspek tersebut adalah rendah. Tidak ada hubungan yang signifikan antara bidang pengkhususan dengan tahap amalan kualiti pengajaran. Majoriti responden memilih pelaksanaan pengajaran sebagai aspek yang paling utama dalam tahap amalan kualiti pengajaran. Berdasarkan kajian ini, penulis mencadangkan agar institusi pengurusan pendidikan dan unit perkembangan staf memberi penekanan terhadap latihan mengikut keperluan pensyarah dan keperluan pendidikan masa kini dan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemahiran pensyarah supaya proses pengajaran dan pembelajaran berlangsung dengan lebih berkesan. Saranan-saranan lain juga akan dibincangkan dalam kertas kerja ini bagi tujuan mempertingkat kualiti pengajaran di peringkat institusi pengajian tinggi di Aceh.
ARAH KOMUNIKASI POLITIK ACEH: MEMBANGUN FORMAT
SISTEM SOSIAL BUDAYA DAN POLITIK MASA HADAPAN
Dr. Erman Anom
Universitas Esa Unggul, Jakarta
Keseimbangan antara penataan struktur, proses, dan budaya politik merupakan salah satu aspek demokratisnya sistem sosial budaya dan politik Aceh Indonesia. Sufrastruktur dan infrastruktur dalam sistem sosial budaya dan politik Aceh Indonesia harus ada keseimbangan, jika tidak, demokrasi Aceh Indonesia akan jalan di tempat, tidak berfungsi dan mati suri. Format sosial budaya dan politik masa depan Aceh Indonesia yang ideal harus mengacu pada pengembangan kehidupan masyarakat Aceh berbangsa dan bernegara dengan tidak mengabaikan dimensi religius, nilai-nilai budaya masyarakat Aceh, solidaritas, kritis, dan kualitas.
GAM: ANTARA TRANSFORMASI GERAKAN
DAN DILEMA RE-INTEGRASI
Baharuddin, AR, M. Si
Universiti Sains Malaysia
Tragedi gempa dan tsunami, 26 Desember 2004, ternyata membawa nikmat disamping malapetaka tentunya sengsara membawa nikmat. Perdamaian yang telah lama diidamkan, ternyata terwujud pula dengan segala konsekuensinya. Popularitas kedua pihak yang berdamai, juga semakin terangkat. Begitu juga pihak negosiator dan fasilitator. Pat Ujeun Nyang Han Pirang, Pat Prang Nyang Han Reuda (di mana hujan yang takkan berhenti dan di mana peperangan yang takkan berakhir). Namun, tulisan sederhana ini mencoba membedah transformasi strategi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan program re-integrasi. Dua hal ini boleh menguntungkan, dan boleh jadi merugikan, bagaikan Buah Simalakama. Tegasnya, boleh merperkuat perdamaian dan boleh pula mengancam perdamaian di Aceh berkelanjutan (suistanable).
TSUNAMI SIMULATION BY TUNA:
TOWARDS CAPACITY BUILDING AND REDEVELOPMENT OF ACEH
Koh Hock Lye, Teh Su Yean & Ahmad Izani Md Ismail
School of Mathematical Sciences, Universiti Sains Malaysia
The 26 December 2004 Andaman tsunami is a wake-up call for many in Malaysia and Indonesia. The sensitivity to the needs for the redevelopment of Aceh after the tsunami has been a driving force for a number of international development agencies. Several constructive agenda have been planned towards achieving this goal for the redevelopment of Aceh, covering a wide spectrum of scientific, social-economic and cultural dimensions. Community education, preparedness and mitigation to face potential tsunami attacks among the coastal communities in Aceh and other Southeast Asia regions have been highlighted since the occurrence of this 26 December 2004 Andaman tsunami. The ability to simulate the generation, propagation and beach runup of tsunami is an essential in order to develop capacity building among the local communities to enhance community preparedness to face the hazards of future tsunamis. In this regard, the numerical simulations of tsunami occurrence and impacts on local coastal communities are important. This paper will present the simulation model TUNA developed in-house following guidelines of UNESCO/IOC to simulate tsunami along the impacted beaches. Results of TUNA simulations of tsunami generated by the 26 December 2004 Andaman earthquake by the shallow water equations SWE will be discussed. Simulation of subsequent runup wave heights along the beaches by the nonlinear shallow water equations NSWE will then be presented. Simulation results appear to indicate reasonable qualitative agreement with wave heights measured after the said tsunami. This implies that TUNA may be used for the simulation of future tsunamis in the regions. We hope that this conference will stimulate active collaboration between various parties involved in tsunami mitigations for the benefit of Aceh community. We also hope that TUNA will receive active collaboration so that it will be further enhanced for applications in the redevelopment of Aceh.
FAILURE OF COMMUNITY DEVELOPMENT APPROACH IN ACEH RECONSTRUCTION: LESSONS LEARNED FOR YOGYAKARTA
Muamar Vebry
UN-Habitat Nanggroe Aceh Darussalam
In general, the social structure of Aceh has proven to be able to withstand all kinds of conflict. For example, local leadership in Geuchik, Tuha Peut or the Tengku Imeum were the result of social verification performed by Acehnese society based on years of observation of behavior and wisdom. However, these potentials were marginalized by the incoming new political elites with the new democratic system which resulted in the distancing of traditional leaders from the people. In some cases the traditional leaders were included in newly modern instructions which were not completely accepted in Aceh. As a result, the new system did not work well. On top of this were added new elites, brokers and seasonal contractors by the community-based projects in Aceh. The failure of community based projects in Aceh is also caused by the incapacity to the culture of Aceh. We tended to categorize the problems only to the problem of reconstruction and rehabilitation without focusing on the rooted problems of Aceh or the past centuries.
ACEHNESE SOCIAL RELATION:
SOCIAL CAPITAL OR SURVIVAL OF THE FITTEST?
Saiful Mahdi
Ph.D candidate in Regional Sciences, Cornell University, Ithaca, NY
This paper explores social relation within Acehnese society both in Aceh and its diaspora outside Aceh. Evidence of social relation is shown through the quantification of associations using geographic neighborhood, gampong, to proxy for social networks. Some statistics are used to show that there is a pattern of spatial interaction behavior of IDPs and refugees with their gampong during conflict and more so after the tsunami. The great quake and tsunami of 26 December 2006 devastated coastal, mostly urbanized areas in Aceh, reversed the pattern of IDPs mobility from those affected by the conflict. In contrast to the absence of outside intervention during the conflict, tsunami IDPs gained much support from humanitarian and relief works. Micro-studies, however, indicate that outside interventions are not always beneficial to social networks among Acehnese IDPs and refugees. While the interventions might strengthen a re-united community, they have weakened a split-dispersed one. The empty sense of gampong seems to leave a community to resort to the survival of the fittest strategy in navigating their life, especially outside Aceh. The pattern of IDPs and refugee mobility and where they take refuge, nonetheless, seem to support the existence of social capital in Acehnese society based on gampong relation.
REVIVING THE SPIRIT AND ISLAMIC ESSENCE OF EDUCATION IN ACEH
M. Shabri Abd. Majid
University Kebangsaan Malaysia
M. Shabri Abd. Majid (International Islamic University Malaysia) Abstract The system of education plays a significant role in all aspects of human life, including in empowering the welfare of ummah. A good educational system during the Kingdom of Aceh Darussalam has led her people to be saluted and admired both by locals and internationals. This study tries to discover the problem hampering the system of education, focusing the district of Aceh as a case study. To establish a good educational system we need to reform the curricula, renovate the educational facilities, empower lecturers’ abilities and skills, improve students’ quality, and shorten educational bureaucracy. To produce a knowledgeable and taqwa (pious) graduates, the curricula of Islamic educational system have to be in harmony with the Divine injunctions, al-Qur’an and Hadits. Then, the educational facilities, lecturers’ abilities and skills of teaching and educational bureaucracy as well have to be in placed proportionately, improved and controlled for from time to time. The experiences of success from other countries and universities in adopting Islamic educational system, such as International Islamic University Malaysia (IIUM) can be comprehensively learnt as inputs for our future educational reforms. Finally, to make our dreams come true to come up with a good educational system, the government has also to actively cooperate and involve in empowering the educational system, inter alia, by providing sufficient budget for educational agenda.
ISLAMIC THEOLOGICAL AND ETHICAL GUIDES RELATED TO HUMAN DEVELOPMENT IN ACEH.
Dr. Ibrahim Abu Bakar
Jabatan Ushuluddin dan Falsafah, Fakulti Pengajian Islam
Universiti Kebangsaan Malaysia
Human development either in Aceh or elsewhere in this world is related to human soul and mind. Human soul and mind can directly or indirectly produce human actions. Human actions are divided into many categories from Islamic legal and ethical bases. From Islamic ethical categories, the most popular ones are good and evil. Human development is mostly promoted by human good intentions and actions. Meanwhile, human development is mostly retarded and halted by human evil intentions and actions. The evil intentions are hidden in human soul and mind. The evil actions are apparent after they come out from human soul and mind. Human development toward goodness and prosperity is successful and sustainable if human evil intentions and actions are placed under control. Islamic theological and ethical guides are very crucial for human development in Aceh since Aceh has been known for her Islamic traditions and heritages for many centuries.
KAEDAH SAINTIFIK DAN PEMBUDAYAAN SAINS
STRATEGI MEMBANGUN SEMULA ACEH
Khalijah Mohd Salleh
Pusat Pengajian Fizik Gunaan, Universiti Kebangsaan Malaysia
Keperluan membangunkan Aceh dengan teliti dan sistematis, memerlukan penyusunan dan implementasi strategi secara saintifik. Ini diperlukan masyarakat Aceh untuk memastikan bahawa sains (seperti yang difahami kini) adalah salah satu daripada entiti budayanya. Terlebih dahulu kertas kerja ini akan menerangkan maksud kaedah saintifik dan budaya sains. Ini bertujuan untuk menyelaraskan pemikiran antara penulis dan pembaca. Penulis kertas kerja ini berpendapat dan yakin bahawa daerah Aceh boleh merapatkan tahap pembangunannya dengan negara-negara lain dalam masa yang singkat berbanding tempoh yang diambil oleh mana-mana masyarakat dalam suasana yang aman damai, agak bebas daripada malapetaka alam dengan sayarat masyarakat Aceh menggunapakai strategi kaedah saintifik dan mengamalkan budaya sains dalam merancang dan melaksanakan dasar serta program pembangunannya. Dalam keadaan demikian usaha untuk melaksanakan semua aktiviti pembangunan akan menjadi lebih teratur, sistematik dan terkawal. Jika pada masa yang sama komitmen yang ada pada masyarakat Aceh ditunjangi pula oleh budaya kerja beretika yang berteraskan syiar Islam, Insya Allah impian masyarakat Aceh melihat daerah mereka terbangun semula akan menjadi realiti dalam masa yang secara relatif pendek. Akhir sekali kertas kerja turut membincangkan peranan pendidikan sama ada secara formal atau informal dalam memupuk budaya sains di semua peringkat masyarakat.
A ROLE OF INTERNET AND COMMUNICATION TECHNOLOGY (ICT)
FOR ACEH DEVELOPMENT
Rizal Munadi
Electrical Department, Engineering Faculty, Universitas Syiah Kuala
The Information Age has transformed industrialized nations in the latter part of the 20th century, is now poised to have an equally dramatic effect on developing nations. Internet and Communication Technology (ICT) has been implemented in develop countries and recently, introduced in developing country, such as Indonesia . By using this technology, every people have an opportunity to use internet services in obtaining information. Through Internet every one can get knowledge and information, for example academic purpose. The availability communication network to serve is a main factor to have a good quality grade of service. High speed access or broadband service using optical fiber will give a faster access and reduce the spending time while searching via internet. To boost up this service, the usage of wireless technology is a good approach and practical in terms of time.
KERJASAMA TIGA NEGARA DALAM PENYELIDIKAN KOMPUTERAN MEKANIK SEBELUM & SELEPAS TSUNAMI
A. K. Ariffin1, M. Ridha2, S. Aoki3 & G. Yagawa4
1Universiti Kebangsaan Malaysia, 2Universiti Syiah Kuala Aceh,
3Toyo Univerisiti, Japan, 4Centre for Computational Mechanics Research
Kertas kerja ini membentangkan kerjasama yang telah dijalankan antara tiga negara; Malaysia, Indonesia dan Jepun dalam bidang komputeran mekanik sebelum dan selepas tsunami. Ianya melibatkan Makmal Komputeran Mekanik, Jabatan Kejuruteraan Mekanik & Bahan, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Makmal Komputeran Mekanik, Teknik Mesin, Universiti Syiah Kuala (UNSYIAH) dan Makmal Komputeran Mekanik, Department of Computational Science and Engineering, Toyo University (TU), Japan. Hasil kerjasama erat ini telah menghasilkan beberapa siri seminar peringkat tempatan dan antarabangsa. Akhirnya sumbangan terkini ialah penubuhan Centre for Computational Mechanics Research (CCMR), Japan.
PENGUATAN SEMULA INSTITUSI MUKIM SEBAGAI ASAS PEMBANGUNAN PEDESAAN ACEH
Sanusi Muhammad Syarif
Mahasiswa Pusat Pengkajian Sains Sosial Pembangunan dan Persekitaran FSSK- UKM,
Pengasas Yayasan Rumpun Bambu Banda Aceh
Kewujudan institusi mukim di Aceh telah melalui proses yang panjang. Proses itu bermula sejak masa pra kolonial dan berterusan hingga masa sekarang. Namun begitu, kewujudan institusi mukim pada masa sekarang sudah mengalami pelbagai perubahan. Hal ini terjadi sebagai akibat daripada pengaruh luaran dan pengaruh dalaman. Pengaruh luaran pada amnya berasal daripada campur tangan kuasa negara sedangkan pengaruh dalaman berasal daripada komunitinya sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk membincangkan realiti mukim pada masa sekarang dengan bercermin pada realiti dan proses sejarah pada masa silam. Hasil perbincangan diharapkan dapat menyumbang kepada perbaikan dan penguatan semula institusi mukim di Aceh pada masa hadapan, berasaskan kepada nilai-nilai murni di dalam komuniti tempatan. Dengan demikian akan mempermudah keupayaan mukim untuk mewujudkan komuniti yang mandiri, sama ada pada peningkat kampung mahupun pada peringkat mukim.
MEMBANGUNKAN SEMULA SOSIOEKONOMI DESA PASCA BENCANA DI ACEH MELALUI PENDEKATAN PEMBIAYAAN MIKRO
Fauwaz Hasbullah
Universiti Kebangsaan Malaysia
Setelah tujuh bulan Aceh dilanda musibah tsunami pada 26 Disember 2004, yang mengakibatkan kehancuran yang dasyat, terlakarlah sebuah sejarah baru iaitu perdamaian yang ditandatangai oleh Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua ‘anugerah’ Tuhan ini telah membebaskan Aceh daripada sejarah pahit yang dialami oleh masyarakat tersebut sejak puluhan tahun hidup di dalam suasana konflik. Rentetan daripada peristiwa tersebut ia menuntut kepada kebangkitan semula rakyat Aceh untuk membina sebuah peradaban bangsa yang baru. Salah satu keperluan yang mendesak kepada mangsa tsunami dan mereka yang terlibat dengan proses reintergrasi GAM ialah pemulihan dalam aspek sosioekonomi, yang menjadi nadi kepada pembangunan masyarakat setempat. Pihak kerajaan mahupun badan bukan kerajaan samada dari dalam atau luar negeri telah memainkan peranan di dalam memulih dan membangunkan semula ekonomi masyarakat setempat. Antara kaedah yang diketengahkan ialah melalui pendekatan pembiayaan mikro. Namun cabaran utama yang sering diutarakan ialah keberkesanan sistem perlaksanaan program pembiayaan kecil-kecilan kepada masyarakat setempat. Global Peace Mission (GPM) Malaysia, merupakan salah satu badan kemanusiaan antarabangsa yang berpusat di Malaysia, telah melaksanakan kajian dan projek perintis selama setahun bagi melihat kesesuaian pendekatan pembiayaan mikro ‘ala Grameen Bank’ kepada masyarakat Aceh. Kertas kerja ini bertujuan untuk melihat keberkesanan dan cabaran aplikasi pembiayaan mikro sebagai satu pendekatan alternatif untuk memulihkan sosioekonomi masyarakat yang terjejas akibat bencana dan proses reintergrasi GAM.
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN PARTISIPASI KOMUNITAS “GAMPONG” DAN “MUKIM” DALAM PEMBANGUNAN
DI NANGROE ACEH DARUSSALAM
Teuku Iskandar
Presiden Komisaris PT Kertas Kraft Aceh, Lhokseumawe, Aceh Utara
Pembangunan berkelanjutan merupakan satu konsep pembangunan yang mempertimbangkan keseimbangan pembangunan ekonomi, kesejahtraan sosial dan lingkungan hidup. Secara garis besarnya, pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk mengoptimalkan pembangunan ekonomi dan sosial melalui peningkatan kualitas hidup penduduk, pembasmian kemiskinan, meningkatkan ketersampaian kepada kemudahan dan keperluan dasar, pembangunan manusia dan kemapanan komuniti. Namun demikian, pengoptimalan pembangunan ekonomi dan sosial yang dilakukan seiring dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan adalah tidak melebihi “daya tampung” (carrying capacity) lingkungan. Saat ini, konsep pembangunan berkelanjutan telah diadopsi sebagai satu kebijakan pembangunan di berbagai negara khususnya di negara dunia ketiga seperti di Indonesia. Namun begitu, keberkesanan dalam mengimplementasikannya memerlukan satu strategi pembangunan yang dinamis dan progresif termasuk memobilisasi dan memberdayaan komunitas lokal secara institusi maupun sistem dalam pembangunan. Di Indonesia, khususnya di Nangroe Aceh Darussalam, penglibatan komunitas dalam pembangunan dapat dilakukan melalui pemberdayaan dan penguatan kembali institusi “gampong” dan “mukim”. Justru itu, kertas ini bertujuan untuk membincangkan sejauhmana “gampong” dan “mukim” menjadi starting point dan fondasi dalam melaksanakan pembangunan. Selain itu, kertas ini juga bertujuan untuk melihat sejauhmana komunitas “gampong” dan “mukim” berperan dalam proses pembangunan di Nangroe Aceh Darussalam.
WAR-PEACE AND THE DYNAMIC OF ACEH CIVILIZATION:
A HISTORICAL ANALYSIS
Hafas Furqani
International Islamic University of Malaysia
The history of Aceh civilization can be classified into two phases; the development of civilization and the decline of civilization. The first phase is started when the first Islamic kingdom established in Peurelak. the subsequent kingdoms, Samudera Pasai and Aceh Darussalam developed further the Aceh civilization and reached the golden age at Sultan Iskandar Mudas era (1607-1636). At that time, Aceh has a complete civilization, from the structure of government, democracy, bureaucracy, economic, politics, social, culture, and law. The second phase is the decline of Aceh civilization. This happened when Aceh entered into an everlasting war begin with the Dutch in 1873-1903, war against Japanese (1942-1945), Cumbok war (late 1945), DI-TII war (1953-1963), and GAM-RI war (1976-2005). The consequence of this never-ending war is the Aceh civilization that has been established through out centuries is getting weak. Aceh, bit by bit, has lost his identity, nation character, and resources. War is anti-establishment; it ruins all aspect of life that has been established through out centuries. However, the peace agreement signed by GAM and RI in 15 Agustus 2005 brings the opportunity for Aceh to re-establish its civilization by re-structuring its democracy, culture, custom, socio-economy, socio-politics and law. With current good development, Aceh, probably, is entering the third phase of its history, the resurgence of Aceh civilization. This paper is trying to do a historical analysis of the war and peace in Aceh and its consequence to the dynamic of Aceh civilization.
ACEH DAN TANTANGAN MULTIKULTURALISME
Mohammad Alkaf
Aceh Institute
Aceh yang terlahir sebagai indentitas plural dan jamak telah melalui sejarahnya dengan panjang dan unik. Aceh tidak tunggal dalam memaknai perjalanan dirinya, karena Aceh adalah kumpulan keberagaman. Baik itu etnis, ras, suku, agama, sejarah bangsa bahkan juga pandangan politik. Dimasa-masa awal Aceh, keberagaman ini dapat dimaknai dan diapresiasi secara positif, sehingga Aceh lahir menjadi titik tolak peradaban bagi wilayah sekitarnya. Kini kedewasaan tersebut mendapat tantangan, karena Aceh sudah berada pada fase yang manentukan, pasca konflik dan tsunami. Bahwa kini di Aceh dituntut kembali untuk menmgelola keberagamannya, seperti masa-masa awal. Pengelolaan secara positif ini dinamai dengan multikulturalisme. Paham yang menerangkan akan pentingnya apresiasi positif terhadap perbedaan, dengan kacamata kesetaraan.
MOBILITY IN RELATION TO TRANSPORT SYSTEM DEVELOPMENT IN ACEH
M. Sabri
Universiti Kebangsaan Malaysia
This paper presents an analytical method to find a true modal shift from public transport concept towards more sustainable modes of transport in Aceh; implement urban planning strategies based on principles like urban density, improved mixed use of space and limited new urban developments to areas served by public transport are the important thinks to plan; At the same time, specific organisation methods and innovative technologies in terms of energy saving and the environment protection of transport field, must be introduced. It is moreover crucial to raise awareness among citizens about the effect of their choice of transport mode on the quality of urban environment.
FUTURE DEVELOPMENT OF BIOTECHNOLOGY AND ITS IMPLICATIONS ON THE DEVELOPMENT OF EDUCATION IN ACEH
Prof. Dr Saedah Siraj, Gopalakrishnan, Kang Wai Kee, Hiew Yee Thai, Zulbahri, Paramasivam, K.Subramaniam
Faculty of Education, University of Malaya
This paper reports on the findings of a Delphi study conducted to forecast future development of biotechnology with special emphasis on its impacts on education for the next 10 to 15 years. The approach is descriptive, covering current trends using Delphi technique. The Delphi technique is a method for obtaining forecasts from a panel of independent experts over two rounds. The Delphi panel for this study consisted of 10 biotechnology experts from throughout Malaysia who participated in a two-round consensus building process. Experts have come to a conclusion that the infusion of Biotechnology into the school curriculum is very possible. They also have agreed that Biotechnology should be taught at secondary school level. the government should play a greater role by encouraging more private sectors to invest more in the field of biotechnology and encourage more research on this filed. Besides that, government also should provide financial support for research and development in both public and private sectors. In order to promote biotechnology in the future, the education curriculum should be revamped. Biotechnology should be introduced at the earlier stage in the curriculum. As suggested by the experts in this field, we can conclude that we can develop the Biotechnology curriculum for secondary school. Practical implications Aceh is been blessed with a wealth of resources like rice, cassava (tapioca), peanuts, rubber, cocoa, coffee, palm oil: petroleum and natural gas. Biotechnology, in wider sense, has been known and practiced for a long time in Indonesia although most people in Ache are not exposed to this and do not understand what is happening in the process. This study can be relevant to Aceh whereby by introducing Biotechnology in the school curriculum means that there will be a greater scope for Ache in terms of rebuilding the provinces economy and make a great contribution to Indonesia’s Gross National Product.
DEMOKRATISASI PASCA PERJANJIAN DAMAI : STUDI AWAL PEMBANGUNAN DEMOKRASI DI ACEH
Teuku Banta Massa Djafar
Calon Phd, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan
Latar belakang historis tentang pergolakan politik dan sosio-kultural rakyat Aceh yang telah terbentuk sejak zaman penjajah telah mempengaruhi orientasi politik rakyat Aceh khasnya berlandaskan nilai-nilai keIslaman, heroisme, egalitarian dan kemandirian. Ciri-ciri ini tidak terwakili dalam sistem politik pemerintah Indonesia. Ini telah dibuktikan dengan terjadinya konflik politik pada tahun 1958 dan sepanjang pemerintah Orde Baru. Tuntutan Kemerdekaan yang diperjuangkan oleh GAM adalah anti tesis terhadap sistem politik dan pemerintahan Indonesia yang tidak memberikan peluang kepada ciri-ciri politik yang sudah berakar berabad lamanya pada kehidupan rakyat Aceh. Subtansi Perjanjian Perdamaian Helsinki 2006 di antara GAM dan Pemerintah Indonesia adalah sebuah perjuangan dan pengakuan self government bagi rakyat Aceh dengan dikeluarkan sebuah Undang-Undang baru, iaitu Undang Undang Pemerintahan Aceh. Demokratisasi dan Demokrasi di Aceh masih perlu melalui proses yang panjang. Beberapa masalah kelembagaan masih menjadi isu penting di antara rakyat Aceh dengan pemerintah pusat. Misalnya seperti Parti Lokal dan Otoritas Pemerintah Aceh. Disisi lain jurang ekonomi dan peluang pekerjaan merupakan sebahagian isu penting yang sangat menentukan proses konsolidasi demokrasi. Kertaskerja ini akan mengetengahkan beberapa masalah berkenaan konsolidasi demokrasi tersebut.. Selain itu kertaskerja ini membincangkan persoalan demokratisasi di Aceh yang diharap akan mengarah kepada self government dengan mengadopsi ciri-ciri politik khas rakyat Aceh sehingga menjadi sebuah model politik lokal di Indonesia. Pembangunan di Aceh tentu akan berhasil jika demokratisasi yang berjalan di Aceh akan membentuk suatu sistem politik dan pemerintahan lokal yang demokratis dan stabil. Jika proses demokratisasi tidak memperkuat kearah pembentukan pemerintahan lokal yang bercirikan self government, bukan tidak mungkin Aceh akan terjebak dalam konflik yang berkepanjangan seperti semula atau semakin mendorong Aceh menjadi sebuah negara merdeka yang terpisah dari negara Indonesia.
PENGARUH PARTISIPASI AKAUNTAN PUBLIK DALAM MENCIPTAKAN GOOD COOPORATE GOVERNANCE
Mulia Saputra
Calon PhD, University Sains Malaysia
Akauntan publik adalah seorang praktisi dan gelar profesional yang diberikan kepada akauntan di Indonesia yang telah mendapatkan izin dari Menteri Keuangan RI untuk memberikan pengkhidmatan audit umum dan review atas laporan keuangan, audit kinerja dan audit khusus serta pengkhidmatan dalam bidang non-atestasi lainnya seperti pengkhidmatan konsultansi, pengkhidmatan kompilasi, dan pengkhidmatan-pengkhidmatan lainnya yang berhubungan dengan akauntansi dan keuangan. Dampak memburuknya kondisi ekonomi telah menimbulkan berbagai resiko audit. Praktek audit menjadi semakin kompleks. Isunya ialah makin maraknya tuntutan terhadap profesi akuntan,perubahan hukum dan peraturan perundang-undangan yang memiliki dampak terhadap profesi akauntan telah menciptakan lingkungan risiko tersendiri. Profesi akauntan merespon perubahan ini dengan melakukan pengelolaan risiko yang memadai. Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk memindahkan risiko yaitu pendekatan komprehensif dan penyusunan kebijakan dan prosedur yang memadai. Di samping itu Ikatan Akauntan Indonesia sebagai badan penyusun standar telah menerbitkan beberapa PSAK dan SPAP baru untuk memenuhi kebutuhan akan pedoman untuk melaksanakan pengauditan dalam lingkungan risiko. Walaupun demikian, peranan akauntan dianggap penting di dalam menciptakan suatu ’good cooperate governance’, hal ini dimungkinkan karena banyaknya akauntan yang telah mulai memahami pentingnya suatu prinsip-prinsip ’good governance’, antara lain transparansi dan responsibility. Aceh adalah kawasan yang baru terjadi suatu bencana besar yaitu tsunami, dan sekarang terus membangun kembali daerah tersebut. Pembangunan yang dirasakan sekarang sangat besar sehingga diperlukan suatu pertanggungjawaban yang memadai oleh banyak pihak, oleh sebab itu akuntan publik merupakan suatu profesi yang dapat memberikan suatu masukan mengenai pertanggung jawaban pengelola suatu perusahaan.
MEWUJUDKAN SISTEM PERPAJAKAN ISLAM:
SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PAJAK PENDAPATAN DAN BAZIS DI ACEH
Damanhur
Universitas Malikussaleh
Duty is one of the domestic income source for one country development, and zakat is the obligation for the Moslem to be given to the people who have right to earn so. Both duty and zakat is the obligation for the Moslems in Indonesia, specially in Nanggroe Aceh Darussalam. This research tries to address the implementation of income tax and zakat improvement as well as the community response on to fulfill both of obligations. The finding from this research is the civil servant has a positive value or good attitude to the variables, and for the enterpreneurs have negative value for the tax implementation, and for other variables have postitive value. And for the farmer has a positive value only to Zakat not other variables. Moreover, the researched also showed that the government should replace the zakat status for the income tax obligation, for avoiding double duty on the same time for Moslem in Aceh or Indonesia
REKONSTRUKSI PEMIKIRAN, FILOSOFI DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR ISLAM BERBASISKAN AL-QURÂAN DAN SUNNAH
Nangkula Utaberta
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia,
dan calon PhD di Fakulti Alam Bina, Universiti Teknologi Malaysia
Banyak perancangan dan pemikiran Arsitektur Islam lahir dari sebuah duplikasi dan peniruan terhadap bentuk-bentuk, elemen dan ornamentasi dari bangunan yang dianggap sebagai produk dari Masyarakat Muslim. Pendekatan ini seringkali terbatasi dengan penggunaan simbol-simbol atau bentuk fisik yang dianggap merepresentasikan Islam dan biasanya berasal dari Timur Tengah. Pada perancangan masjid misalnya, pendekatan yang berorientasi pada fisik biasanya menekankan perlunya kubah, menara atau mihrab sebagai elemen yang wajib ada pada sebuah masjid. Paper ini akan berusaha menggali pemikiran, filosofi dan perancangan yang berasal dari nilai dan prinsip dasar dari Islam yaitu Al-Qurân dan Sunnah untuk kemudian diinterpretasikan dan diterapkan dalam perancangan Arsitektur Islam yang sesuai dengan semangat zaman, tempat dan kondisi sosial masyarakat. Diharapkan kajian ini akan membuka diskusi yang lebih luas bagi pengembangan berbagai perancangan dan pemikiran Arsitektur Islam khususnya di Aceh yang lebih ber-nilai, progresif dan integratif di masa depan.
KONSEP PEMBANGUNAN MODAL INSAN DI ACEH BERKIBLATKAN
AJARAN ISLAM
Shaik Abdullah Bin Hassan Mydin & Dr. Issham Bin Ismail
Universiti Sains Malaysia
Kertas kerja ini bertujuan membincangkan konsep modal insan berkiblatkan ajaran Islam berdasarkan Al Quran, Sunnah dan pandangan tokoh pemikir Islam. Seterusnya kajian ini akan mencadangkan strategi pembangunan modal insan di kalangan masyarakat Aceh. Pembangunan modal insan yang akan bincangkan menjurus kepada tiga cabang iaitu pembangunan pendidikan, pembangunan sahsiah dan pembangunan politik. Diharap penulisan kertas kerja ini dapat membantu usaha murni pembangunan Aceh yang merupakan tanggungjawab ummah.
PEMBANGUNAN ROHANI ACEH PASCA TSUNAMI:
SATU TINJUAN HISTORIS
Mohd Syukri Yeoh Abdullah & Badlihisham Mohd Nasir
Jabatan Pengajian Dakwah & Kepimpinan, FPI, UKM
Kertas kerja ini cuba menelusuri paparan sejarah awal peranan ulama dalam membangunkan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Aceh sehingga berjaya membina Kerajaan Aceh Darussalam sebagai kuasa besar di dunia. Aceh yang mencapai kegemilangan tamadun pada abad ke-17, terkenal sebagai pusat penyebaran Islam dan rujukan ilmu selain Mekah sehingga mendapat gelaran Serambi Mekah. Pengalaman para ulama dalam tradisi intitusi zawiyah seperti pengajian kitab bersanad, amalan bersanad dan tarekat sufi didapati sangat berpengaruh dalam pembinaan sejarah Aceh yang gemilang. Justeru tinjauan secara historis ini akan di analisis sebagai panduan pembangunan kerohanian Aceh pasca tsunami.
PENGHAYATAN ISLAM SEBAGAI TRANSFORMASI PERUBAHAN MASYARAKAT ACEH
Aisyah Jami’an
Calon PhD, Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia
Penghayatan merupakan proses pengamalan dan pengetahuan yang berlaku dalam konteks sosial di mana ’model’ memegang peranan penting terutama dalam aspek penghayatan nilai. Di samping itu penghayatan juga salah satu tahap tingkah laku pengukuran atau pengakuan yang secara bersungguh-sungguh dan lebih kekal dibandingkan tahap pengakuan dalam bentuk identifikasi. Ianya merupakan suatu sikap yang berpaksikan pada kepatuhan, kerana seseorang itu sudah rela dipengaruhi oleh outoriti tertentu. Oleh yang demikian jelas bahawa, perubahan dan perkembangan masyarakat sangat erat kaitannya dengan pemikiran keagamaan dan nilai-nilai yang berkembang di kalangan masyarakat itu sendiri. Sukar dibayangkan berlakunya pasang surut tamadun dalam perjalanan sejarah sosial masyarakat, ekonomi dan politik, tanpa merujuk kepada idea dan nilai-nilai yang berlaku pada masa itu. Kertas kerja ini perbincangannya lebih kepada penghayatan ajaran Islam yang dapat mentransformasikan suatu perubahan untuk masyarakat Aceh selepas berlakunya Tsunami 2004. Tujuannya untuk mengenalpasti pola kehidupan Sudara Baru India selepas memeluk agama Islam. Kemudian bertujuan melihat tahap kefahaman dan penghayatan mereka terhadap aspek tauhid, ibadah dan akhlak, di samping mengkaji faktor pembentuk dan penghakis penghayatan Islam di kalangan mereka. Metod yang digunakan dalam kajian ini adalah kajian dalam bentuk konseptual dan juga kajian lapangan. Antara faktor utama masyarakat Aceh boleh menghayati ajaran Islam sebagaimana mestinya adalah persekitaran, pendidikan dan media massa. Sebaliknya keadaan yang sama, perkara tersebut juga menjadi penyumbang terhakisnya kefahaman dan penghayatan Islam. Oleh sebab itu, berkait dengan tahap kefahaman dan penghayatan Islam masyarakat Aceh selepas Tsunami, memerlukan bimbingan, sokongan dan pemantauan yang berterusan dari semua pihak. Ini kerana semakin hitrogennya keadaan masyarakat, semakin membuka ruang terhakisnya nilai-nilai murni dalam kehidupan masyarakat yang bergelar Serambi Mekah.
BAHAN OBAT ALAMI SUMBER PENDAPATAN PEMBANGUNAN
Nurkhasanah Mahfudh
Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Peran agrobisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat sebagai sumber PDB (Produk Domestik Bruto) dan penyumbang devisa di Indonesia masih relatif kecil dan jauh tertinggal dari berbagai negara lain yang potensi sumber dayanya jauh lebih kecil. Trend back to nature telah dimanfaatkan oleh banyak negara di dunia termasuk negara-negara di Asia Tenggara, untuk mengembangkan obat-obat alami. Pengembangan bahan obat alami meliputi pengembangan budi dayanya sehingga menghasilkan simplisia dengan kualitas yang unggul serta pengembangan cara produksi dan bentuk-bentuk sediaan dari obat-obat tradisional. Ekspor obat alami dalam bentuk sediaan yang mempunyai nilai jual lebih tinggi diharapkan akan meningkat dibandingkan ekspor dalam bentuk bahan bakunya. Bahan obat alami pun mempunyai peranan yang cukup besar dalam sistem pengobatan modern, hampir 120 senyawa yang dikembangkan dari bahan alami digunakan dalam pengobatan modern saat ini. Pengembangan bahan obat menjadi sebuah senyawa yang siap digunakan dalam sistem pengobatan modern memerlukan waktu yang panjang sehingga perlu kebijakan pengembangan strategis tumbuhan obat, antara lain dengan memfokuskan perhatian pada riset. Selanjutnya pemerintah berkewajiban menjembatani petani, industri, dan lembaga riset agar budidaya tumbuhan obat dapat terintegrasi dan memberikan keuntungan bagi semua pihak.
PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT
Kintoko
Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan, Jogjakarta.
Prospek pengembangan tanaman obat sangat cerah pada masa mendatang ditinjau dari pelbagai faktor penyokong. Antara faktor penyokongnya sebagai berikut: tersedianya sumber kekayaan alam Indonesia dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia, sejarah pengobatan tradisional yang telah dikenal lama oleh nenek moyang dan diamalkan secara turun temurun sehingga menjadi warisan budaya bangsa, isu global back to nature sehingga meningkatkan pasar produk herbal termasuk Indonesia, krisis moneter menyebabkan pengobatan tradisional menjadi pilihan utama bagi sebahagian besar masyarakat dan kebijakan pemerintah berupa pelbagai peraturan perundangan yang menunjukkan perhatian serius bagi pengembangan tanaman obat. Pengembangan tanaman obat memiliki erti yang sangat luas, tidak sahaja sebagai sumber bahan baku obat herbal (agromedisin), namun lebih dari itu tanaman obat dapat difungsikan sebagai agrowisata, laboratorium botani (taman botani), sumber plasma nutfah, jalur kawasan hijau, komoditi ekspor nonmigas, dan sebagai sumber pendapatan masyarakat tempatan. Melihat begitu besarnya potensi yang dimiliki oleh tanaman obat, hal ini menjadi peluang bagi setiap daerah untuk menjadikan tanaman obat sebagai salah satu prioritas dalam pembangunan sektor ekonomi, sosial dan budaya. Tidak terkecuali Propinsi Nanggro Aceh Darussalam yang memiliki potensi sumber kekayaan alam melimpah. Pembentukan sentra budidaya tanaman obat merupakan langkah awal bagi mengembangkan tanaman obat. Sistem pembangunan yang terencana dan terintegrasi memungkinkan pencapaian tujuan pengembangan tanaman obat secara maksimal. Keterlibatan antar insituti seperti dinas kesehatan, pendidikan, pertanian, pariwisata, perencanaan tata kota dan perguruan tinggi sangat diperlukan selain partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat.
TAHAP KEPRIHATINAN PENGGUNA TERHADAP KESIHATAN DAN PEMAKANAN SELEPAS TRAGEDI TSUNAMI
DI UTARA SEMENANJUNG MALAYSIA
Alina Abdul Rahima, Rohasmizah Hashimb, Khairul Faizal Paeb, Nur Riza Suradib, Norrakiah Abdullah Sanib, Zalifah Mohd. Kasimb & Abdul Salam Babjib.
a Kolej Universiti Islam Malaysia
b Universiti Kebangsaan Malaysia
Tragedi Tsunami pada 26 Disember 2004 lalu, meninggalkan kesan terhadap persepsi pengguna dalam pengambilan ikan dan makanan laut. Kaji selidik ini dijalankan keatas 201 orang pengguna di dua kawasan Pulau Pinang (Chowrasta) dan Kedah (Sungai Petani). Berdasarkan kajian, sebilangan besar pengguna (89.6%) merasakan tiada sebarang ancaman untuk mengambil makanan laut dan menafikan persepsi bahawa ikan memakan mayat mangsa Tsunami. Corak pengambilan ikan dan makanan laut pengguna tidak dipengaruhi selepas Tsunami. Tetapi terdapat juga responden yang mengurangkan pengambilan sumber laut dan ada juga yang berhenti mengambil makanan laut untuk sela masa yang tertentu kerana mereka terpengaruh dengan khabar angin yang menyatakan ikan memakan mayat mangsa Tsunami yang mereput di laut. Bagaimanapun, hal ini tidak berlanjutan untuk tempoh masa yang lama. Keadaan ini dapat diperhatikan melalui corak pembelian ikan dan makanan laut responden dimana responden sepakat mengatakan bahawa tragedi Tsunami tersebut tidak mempegaruhi pembelian ikan dengan peratusannya adalah 80.1%. Selain itu, ada juga responden yang memilih sumber protein lain sebagai gantian dan ada juga yang bertukar mengambil sumber ikan air tawar tetapi jumlah adalah kecil iaitu kira-kira 1.5% sahaja. Walaubagaimanapun, tren ini hanya berlaku untuk sementara waktu sahaja dan keadaan kembali seperti biasa apabila khabar-kahabar angin tidak disebarkan lagi dan emosi masyarakat kembali stabil. Dari segi kesihatan, didapati tiada sebarang simptom kesihatan yang berkaitan dengan makanan laut yang dialami oleh pengguna sebelum mahupun selepas tragedi Tsunami. Responden tidak menunjukkan simptom-simpton seperti sesak nafas, mabuk-mabuk, demam, muntah, perut tidak selesa, alahan dan lain-lain sebelum mahupun selepas Tsunami. Masih ramai responden yang tidak mengetahui mengenai risiko-risiko pencemaran makanan laut disebabkan oleh kurangnya tahap pengetahuan mengenai hal ini. Peratusan yang tahu mengenai Red tide, histamina dan hepatitis adalah sangat kecil dengan masing-masing adalah 1%, 12.9% dan 28.5%. Menurut kementerian kesihatan di Pulau Pinang, selepas tragedi Tsunami mereka telah meningkatkan jumlah pengambilan sampel-sampel untuk analisis berbanding hari-hari biasa. Oleh itu, kajian ini diharapkan dapat memberikan maklumat yang boleh dimanfaatkan di masa hadapan.
BIOTEKNOLOGI SEBAGAI ALTERNATIF BARU PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ACEH: KAEDAH AFLP DALAM KAJIAN KEPELBAGAIAN GENETIK TANAMAN
Jaswar dan Mohamad bin Osman
Fakulti Sains dan Teknologi, Universiti Kebangsaan Malaysia
Bioteknologi merupakan satu alternatif pembangunan pertanian yang sekarang sedang diperkatakan hampir dibanyak negara. Ini kerana bidang bioteknologi mampu memberikan pulangan yang besar seperti yang diharapkan. Konflik politik dan bencana tsunami yang melanda aceh telah menjadikan kawasan tersebut kehilangan sumber-sumber pertanian yang sangat besar. Antara masalah pertanian yang perlu diambil kira adalah hilangnya kepelbagaian biologi khususnya kepelbagaian genetik dari tanaman-tanaman yang mempunyai peranan sebagai sumber ekonomi masyarakat. Kepelbagaian biologi meliputi keanekaan organisma di peringkat genetik, spesies dan ekosistem. Penaksiran tentang aras kepelbagaian genetik khususnya varieti padi (sebagai sampel kajian) masih di peringkat permulaan. Punca-punca yang menyebabkan kadar kepelbagaian genetik padi sama ada tinggi atau rendah belum lagi disingkap sepenuhnya. Pemuliharaan kepelbagaian genetik padi dapat dibantu dengan kaedah-kaedah bioteknologi seperti perpustakaan DNA. Bioteknologi juga boleh digunakan untuk menilai variasi genetik yang tersimpan, iaitu melalui teknik AFLP dan elektroforesis gel. Kepelbagaian genetik padi adalah sumber kepada keperluan asas manusia sebagai bahan makanan. Manakala biakbaka tumbuhan adalah satu disiplin tradisional dan moden yang menggunakan unsur-unsur bioteknologi untuk menghasilkan varieti, berhasil tinggi dan yang mempunyai daya adaptasi yang luas. AFLP digunakan sebagai satu teknik DNA fingerprinting di dalam penganalisisan germaplasm padi (Oryza sativa L). Kecekapan yang tinggi dan liputan rawak dari penanda AFLP telah dibuktikan. Dengan tujuh kombinasi pencetus, satu kerangka peta genom telah dibina. Peta ini menunjukkan bahawa penanda AFLP daripada sejumlah pencetus yang berhad tidak berkurung kepada bahagian-bahagian atau kromosom dalam genom padi. Dengan analisis kepelbagaian genetik dari 33 varieti padi, telah dihasilkan 3408 fragmen DNA. Analisis kelompok dijalankan dengan menggunakan kaedah unweighted pair-group method arithmetic average (UPGMA) dari program analisis NTSYSpc software. Jumlah dari penanda adalah diperlukan untuk pengelasan yang jelas dari germaplasm padi dan kepelbagaian antara/didalam kumpulan-kumpulan yang dibuktikan.
ANALISIS EKONOMI PEMASARAN UDANG DALAM PROSPEK
PEMBANGUNAN PERIKANAN DI ACEH
Asnawi1, Basri Abdul Talib2, Nik Hashim Nik Mustapha2 Mohd. Anuar Md. Amin2
1Universiti Malikussaleh, Lhokseumawe
2Universiti Kebangsaan Malaysia
Objektif utama kajian adalah untuk mengenalpasti faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan udang tempatan, eksport dan harga udang tempatan di Aceh. Model jangkaan dan penyelarasan separa dibentuk bagi mengkaji penawaran, permintaan tempatan, eksport dan harga udang tempatan berdasarkan kaedah yang dikembangkan oleh Nerlove (1958), Labys (1973) dan Hallam (1990). Keputusan kajian menunjukkan penawaran udang lat 1, harga udang tempatan dan krisis ekonomi signifikan mempengaruhi penawaran udang. Manakala permintaan udang tempatan lat 1 dan harga udang tempatan signifikan dan mempengaruhi permintaan udang tempatan. Seterusnya jumlah eksport udang lat 1 dan harga udang signifikan dalam mempengaruhi eksport. Harga udang tempatan lat 1, jumlah eksport udang, harga ikan tempatan dan harga udang pula didapati signifikan mempengaruhi harga udang tempatan.
IMPACT OF TSUNAMI ON FISHING, AQUACULTURE AND COASTAL COMMUNITIES IN MALAYSIA
Chamhuri Siwar, Mohd Zaki Ibrahim, Siti Haslina Md Harizan & Roslina Kamaruddin
Institute for Environment and Development (LESTARI), Universiti Kebangsaan Malaysia
This paper highlights the socioeconomic impacts of the 26th December 2004 tsunami on fisheries, aquaculture and livelihoods of coastal communities in Malaysia. Data for the discussion were collected in the months on January to February 2005, based on a rapid assessment survey of communities impacted by the tsunami in the states of Kedah (including Langkawi Island) and Penang. In March 2005, and recently in September 2006, another rapid follow-up survey was conducted in Kedah to assess recent progress, development and remaining issues facing the impacted communities. The socioeconomic analysis focuses on accounting the loss and damages to human lives, properties, fishing equipments, aquaculture enterprises. Financial estimates of damages are provided. Impacts on livelihoods cover loss of employment, income and psychological trauma experienced by the impacted populations. Issues, responses and disaster management by various assisting agencies and NGOs are also discussed and recommendations for better disaster management are provided.
KESAN TSUNAMI TERHADAP KEWUJUDAN SERANGGA PEROSAK DALAM KESEIMBANGAN EKOSISTEM PERTANIAN
Alia Rizki
Fakulti Sains dan Teknologi, Universiti Kebangsaan Malaysia
Gelombang tsunami yang terjadi pada 26 Disember 2004 telah mengakibatkan kesan kerosakan yang nyata dalam pelbagai bidang kehidupan masyarakat Aceh, terutamanya bidang pertanian. Data yang diperolehi daripada FAO (2005) menyebutkan bahawa gelombang tsunami menghancurkan 37,500 ha padi sawah dan 67,800 ha tanaman perkebunan di seluruh Pantai Barat dan Timur Aceh. Kerosakan ekosistem pertanian ini tentu saja menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan semua hidupan yang ada didalamnya, terutama populasi daripada serangga perosak. Populasi serangga perosak yang menurun secara cepat dapat mengakibatkan terjadinya ledakan populasi di masa hadapan. Hal ini akan berkesan terhadap hasil rekonstruksi pertanian yang telah dilakukan selama ini dan dapat mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh yang mayoritinya merupakan petani. Kertas kerja ini merupakan kajian pendahuluan untuk mempelajari kesan daripada tsunami terhadap kewujudan serangga perosak di ekosistem pertanian dalam usaha pengendaliannya untuk meningkatkan produksi padi di masa hadapan. Kertas kerja ini turut membincangkan pengalaman pelbagai negara dalam membangun kembali ekosistem pertanian sebagai bahan pembelajaran yang teramat berharga bagi rekonstruksi pertanian di Aceh.
FUNGSI TAK TERGANTIKAN KAWASAN HIJAU DI ERA INDUSTRI
Muchlis Idham
Pusat Pengajian Siswazah, Universiti Kebangsaan Malaysia
Paradigma dasar dari pembangunan berkelanjutan adalah tidak hanya pembangunan yang berorientasikan kepada produksi semata, tetapi membangun sebuah kawasan secara keseluruhan yang meliputi juga aspek-aspek fisika, kimia, biologi, sosial dan lingkungan. Gangguan terhadap salah satu aspek bisa menimbulkan kerusakan pada aspek-aspek yang lain. Pembangunan kembali Aceh semestinya tidak hanya membangun sarana-sarana yang bertujuan untuk keperluan produksi dan kelengkapnnya saja seperti kantor, pabrik dan perumahan, tetapi juga memperhatikan pembangunan kawasan hijau seperti taman kota, areal pertanian dan perkebunan. Kawasan hijau mempunyai banyak fungsi ekonomi secara langsung sebagai penghasil produk tertentu atau tidak langsung sebagai pencegah banjir, penurun suhu, penyedia ketersediaan oksigen dan lain-lain. Fungsi-fungsi ini adalah fungsi yang tak tergantikan. Fungsi-fungsi tersebut jika dihitung secara ekonomi maka akan diperoleh angka yang sangat besar. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dari pemerintah daerah agar kawasan hijau yang terawat dengan baik ada di setiap kawasan terutamanya kawasan kota.
POTENSI PELANCONGAN SENI BINA DI ACEH
Prof. Madya Puan Sri Datin Seri Nila Inangda, Megat Arif Shah & Asrul Sani
Universiti Malaya
Pergolakan di Nanggroe Aceh Darussalam telah lama menutup mata dunia kepada warisan seni bina yang banyak terdapat di Banda Aceh. Pengaruh pelbagai budaya, adat resam dan kepercayaan meninggalkan kesan mendalam ke atas perkembangan seni bina, merangkumi seni bina vernakular Aceh hingga ke masjid-masjid yang bercirikan seni bina kolonial Belanda. Rumpunan warisan seni bina ini kebanyakannya masih lagi aktif digunakan dan dikekalkan dalam fungsi asalnya, yang menyerlahkan potensi Banda Aceh sebagai salah satu pusat tarikan baru bagi pelancong-pelancong yang mempunyai minat dalam seni bina bersejarah. Sebagai contoh, Masjid Baturrahman dan Masjid Ulee Lheue merupakan contoh-contoh terbaik pengaruh senibina kolonial Belanda pada masjid-masjid di Aceh. Masing-masing menggabungkan elemen-elemen seni bina neo klasikal barat yang digabungkan dengan susunatur rumah ibadat bagi orang Islam. Sejarah menunjukkan adanya Kerajaan Segitiga (Kamal 2005) yang dibatasi oleh Lokasi Tiga Indra sebagai batas kerajaan Aceh asal. Wujudnya gambaran lisan (description) mengenai peninggalan Indra di Aceh Besar yang terdiri daripada tiga kubu iaitu Indrapurwa, Indrapuri dan Indrapatra. Kubu-kubu ini membentuk sebuah segitiga yang mengelilingi Banda Aceh. Salah satu Indra yang masih kekal dan mempunyai ciri-ciri menarik yang menggabungkan warisan seni bina berlandaskan agama Hindu dan Islam.. Walaupun fungsi asal kubu-kubu ini dapat dikaitkan dengan candi Hindu, ketiga-tiga kubu ini telah ditukar menjadi masjid. Malangnya, peninggalan Indrapurwa telah tenggelam ke dasar laut di persisiran Lambaro di Ujong Pancu dan Pulau Angkasa, manakala Indrapatra wujud sebagai puing sahaja di Ladong, Krueng Raya dan sukar untuk dilawati. Yang tinggal hanya Masjid Indrapuri yang masih mengekalkan warisan seni bina candi Hindu dengan penerapan ciri-ciri warisan masjid tradisional Aceh. Jika dilihat secara keseluruhannya, manifestasi segitiga kubu-kubu Indra ini boleh diolah menjadi salah satu topik kajian seni bina dan perancangan bandar yang amat menarik dan bermisteri, yang bakal memartabatkan Binaan Warisan Aceh untuk kepentingan Pelancongan Seni Bina di Aceh.
ACEH DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN INDUSTRI PELANCONGAN INDONESIA
Prof. Madya Dr. Yahaya Ibrahim & Ridhwan
Fakulti Sains Sosial dan Kemasyarakatan, Universiti Kebangsaan Malaysia
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sebanyak 17,508 pulau dengan panjang garis pantai kira-kira 81,000 km. Manakala 6,004 pulau telah diduduki oleh manusia. Indonesia juga mempunyai pelbagai potensi pelancongan baik flora mahupun fauna dan pelbagai keindahan dan keunikan, alam semula jadi, keunikan warisan budaya, sejarah, pelbagai seni lukis dan kraftangan. Namun hingga kini, industri pelancongan Indonesia masih belum menjadi primadona seperti negara-negara serantau, disebabkan imej Indonesia ekoran masalah internal seperti perubahan institusi pelancongan dan tingginya euphoria proses otonomi daerah, juga diakibatkan oleh adanya pelbagai peristiwa dalam negara yang berskala antarabangsa, seperti bencana jerubu akibat kebakaran hutan, terjadinya krisis kewangan pertengahan tahun 1997, peristiwa letupan bom di Bali pada tarikh 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005, Wabak Pernafasan Akut Yang Teruk (SARS), peristiwa letupan bom di hotel Marriot Jakarta, wabak selesma burung tahun 2003 dan pelbagai bencana alam. Industri pelancongan di Provinsi Aceh juga mengalami masa susah dengan imej konflik yang berpanjangan yang menyebabkan pelbagai sektor tidak berjalan lancar. Pengisytiharan Aceh sebagai daerah Darurat Tentera dengan sekatan kepada orang asing yang akan mengunjungi Aceh. Bagaimanapun, hikmah gempa dan gelombang tsunami menjadikan perdamaian yang hakiki di bumi Aceh, dengan ditubuhkan Undang-undang Nombor 11 Tahun 2006. Hal ini secara langsung memberikan kesan positif terhadap industri pelancongan Aceh.
PEMBANGUNAN SEMULA PERKHIDMATAN PERPUSTAKAAN DAN MAKLUMAT ACEH PASCA TSUNAMI: CABARAN DAN PELUANG
Zawiyah Baba1 & Hasbullah Atan2
1Felo Utama, Institut Alam Dan Tamadun Melayu (ATMA), UKM, merangkap Pengerusi, Jawatankuasa Bantuan Luar, Persatuan Pustakawan Malaysia (PPM)
2Ketua Pustakawan, International Medical University, merangkap Setiausaha, Jawatankuasa Bantuan Luar, Persatuan Pustakawan Malaysia (PPM)
Dalam tinjauan kemusnahan ke atas perpustakaan dan perkhidmatan maklumat akibat tsunami, serta jenis bantuan yang diperlukan segera dan dalam jangka panjang, Tim Misi Iqra PM telah menemu bual Kepala dan pustakawan Badan Perpustakaan Daerah (BPD) serta wakil projek- projek literasi yang beroperasi di kawasan luar bandar Aceh. Kini laporan dan syor misi Iqra PPM telah diterima oleh Majlis PPM dan diedarkan kepada pihak berkuasa dan badan antarabangsa yang berkenaan untuk bantuan. Beberapa syor Laporan telah dilaksanakan termasuk penubuhan akaun PPM Aceh Libraries Fund Latihan untuk anggota perpustakaan Aceh, serta hadiah buku untuk BPD dan Projek literasi di Aceh.Laporan Misi Iqra PPM juga telah diterbitkan dalam jurnal dan bulitin perpustakaan antarabangsa dan mendapat perhatian dan sumbangan yang menggalakan. PPM kini menjalinkan pakatan strategik dengan Aceh Relief Fund, Cornell University, New York dan Phi Beta Learning Centre untuk menyampaikan bantuan kepada badan sukarela yang mengendalikan program literasi dan membaca. Disyorkan agar pelan pembangunan semula perkhidmatan perpustakaan dan maklumat Aceh disediakan secara menyeluruh agar dapat dilaksanakan dengan sistematik dan terancang. Ini termasuklah pembinaan semula koleksi dan perkhidmatan Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), yang telah musnah dilanda tsunami, agar memori budaya warisan Aceh terpulihara. Dengan pengalaman pembinaan semula perkhidmatan perpustakaan awam di Sri Lanka, PPM bersedia membantu dan mengutarakan beberapa syor ke arah ini untuk pertimbangan persidangan.
PENANGGULANGAN RISIKO OSTEOPOROSIS AKIBAT DEPRESI DI KALANGAN PENDUDUK LANJUT USIA PASCA TSUNAMI DI ACEH
Ari Istiany
Jurusan Ilmu Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta
Dari hasil sensus penduduk Aceh pada tahun 2005, ratusan penduduk lanjut usia (lansia) di Aceh mengalami gangguan jiwa, pasca-gempa bumi dan tsunami. Dari empat kabupaten/kota yang diadakan sensus, jumlah penderita gangguan jiwa paling besar dialami Kabupaten Aceh Barat, iaitu sebanyak 328 orang. Kabupaten Aceh Besar menduduki peringkat kedua dengan jumlah lansia yang mengalami gangguan jiwa sebanyak 169 orang disusul kota Banda Aceh sebanyak 112 orang lansia dan paling sedikit di kabupaten Aceh Jaya sejumlah 65 orang langsia. Menurut Prof. Razyirmiya dari Hebrew University dalam penemuan terbarunya, diketahui bahwa gangguan jiwa seperti depresi adalah elemen pertama yang menyebabkan berkurangnya berat tulang dan dalam jangka panjang apabila dibiarkan akan menyebabkan penyakit osteoporosis. Osteoporosis merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh lansia karena penurunan hormon seks, iaitu hormon estrogen pada wanita dan hormon testosteron pada laki-laki. Oleh karena itu penduduk lansia di Aceh mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk terkena osteoporosis disebabkan faktor hormonal dan depresi yang mereka alami. Selain dengan mengkonsumsi makanan yang tinggi kandungan kalsiumnya, osteoporosis dapat pula dicegah dengan meningkatkan latihan fisikal seperti jalan kaki, jalan cepat atau senam aerobik. Pusat Pelayanan Kesihatan Terpadu (Posyandu) lansia merupakan salah satu sarana yang dapat dimanfaatkan untuk menjalankan kegiatan ini. Kegiatan posyandu lansia tidak terbatas pada pemeriksaan kesehatan saja, tetapi juga sejumlah aktivitas yang bertujuan menyenangkan hati para lansia. Kegiatan posyandu lansia tidak dapat dilakukan melalui sebuah pertemuan untuk saling berbagi cerita. Dengan adanya kegiatan ini depresi di kalangan lansia dapat dikurangi sekaligus mengurangi risiko terkena penyakit osteoporosis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar