assilo2003@yahoo.com
HP. 08124806050
Seiring dengan muatan kewenangan yang dikandung oleh Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor : 32 Tahun 2004, dan kini telah memasuki implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua, maka kebijakan pemba-ngunan Kabupaten/Kota se Provinsi Papua diarahkan pada empat titik krusial, mencakup sektor : pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, dan infrastruktur perhubungan. Dalam bidang pendidikan, implementasi kebijakan pemerintah kabupaten/kota masih diperhadap-kan pada situasi problematik yang amat serius. Di satu pihak ada keinginan yang sangat kuat untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia terdidik dan terampil, tetapi di lain pihak daya dukung institusi pendidikan ke arah itu ternyata tidak cukup kuat. Walau keinginan memajukan sektor pendidikan telah dibangun atas dasar dengan komitmen politik peme-rintah daerah yang telah termanifestasikan ke dalam berbagai bentuk kebijakan dan program, tetapi ternyata belum memperoleh respon dukungan optimal dengan tindakan administratif dan manajemen institusi pada tataran birokrasi pendidikan.
Sesungguhnya pemerintah dan masyarakat telah terbawa arus perubahan lingkungan strategik, tetapi memerlukan tanggapan (responsiveness) reaktif ke arah pergeseran struktur-fungsi dan peran yang sesuai, proporsional dan harmonis. Peran dominan pemerintah akan bergeser dari operasi langsung di semua sektor strategis kepada kondisi yang bersifat meng-arahkan (steering), memberdayakan (empowering) melalui serangkaian kebijakan. Peran-peran utama, dengan demikian tidak lagi sepenuhnya berada di tangan pemerintah, tetapi mulai dipencarkan kepada puncak-puncak kekuatan di masyarakat. Ketika terjadi penyeragaman Tata Pemerintahan Daerah di Indonesia, maka segala kepentingan daerah di desain dengan flatform sentralistik yang dipaksakan. Ternyata flatform tersebut tidak mampu mengakomodir secara efektif dan efisien perubahan-perubahan dinamis di daerah. Konsep dan model desain pendidikan yang trade-mark, ternyata mengalami distorsi yang hebat di era reformasi bersamaan dengan terbangunnya kesadaran baru yang memberi pengakuan formal terhadap kemampuan dan kewenangan daerah.
Memasuki era otonomisasi di Provinsi Papua, telah mengemuka kembali keinginan dan tuntutan perlunya pemikiran yang luas tentang peningkatan mutu pendidikan terutama bagi Orang Papua. Menurut keterangan pertanggung-jawaban Gubernur Provinsi Papua, Tahun 2004 bahwa sebagian besar kualitas sumberdaya manusia di Papua masih belum memadai. Lebih dari 79,4 % penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), masih berpendidikan SLTP ke bawah. Dengan kondisi ketenaga kerjaan yang demikian itu, akan sulit menangkap peluang usaha dan menciptakan lapangan kerja. Apalagi jika diperhadapkan pada per-saingan yang kian ketat dengan profesionalitas yang tinggi.
Faktor penyebab dari munculnya fenomena tersebut adalah masih buruknya layanan publik di bidang pendidikan. Ketersediaan guru yang belum memadai, prasarana dan sarana pendidikan yang minim, persebaran pusat-pusat layanan pendidikan yang tidak merata, masih langkanya buku-buku pelajaran, dan tidak menyatunya visi-misi pendidikan yang di-citakan dan diemban oleh para elit birokrasi, merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap rendahnya pelayanan publik. Bila faktor-faktor pengaruh tersebut dieliminir, maka akan terarah pada aspek responsivitas. Dengan demikian, dapat dilacak agregasi pengaruh dari masih rendahnya mutu dan jumlah sumberdaya manusia di Tanah Papua sebagai faktor responsivitas. Respon tersebut terinstitutionalisasi dalam struktur birokrasi pendidikan. Hal ini berarti, bahwa birokrasi pendidikan di Tanah Papua memerlukan responsivitas terhadap keseimbangan ekologis tidak saja dari dimensi politiknya, tetapi juga dimensi-dimensi sosial-budaya, ekonomi, geografis, dan teknologi. Tepatlah jika Frederickson (2005) menyebut-kan bahwa “these changes could be summed-up in this irony–in the past 30 years social equity has grown in importance in public administration at the same time that in virtually all aspects of social, economic and political life”. Sejalan dengan itu, Pemerintah Propinsi Papua dan Kabupaten/Kota se Papua, telah mengarahkan peningkatan kualitas sumberdaya manusia agar mampu merubah sikap, orientasi dan pola pikir untuk bertindak secara profesional, mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi. Bahkan dalam era otonomi khusus ini, proses pendidikan memperhatikan keragaman kebutuhan/keadaan daerah dengan memperbesar muatan lokal. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan mengembangkan pola dan sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik spesifik Papua, seperti pendidikan berpola asrama.
Kini, fenomena birokrasi pendidikan di Tanah Papua sedang diperhadapkan pada tantangan IEnorm (Norma internal dan eksternal). Tantangan internalnya adalah adaptasi model birokrasi menurut norma-ganda berdasar pada Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 dan Undang-undang nomor 32 Tahun 2005 yang harus mampu mempertinggi kinerja birokrasi pendidikan. Sementara itu, tantangan eksternalnya bersangkut paut dengan urusan publik yang harus mampu memperluas jangkauan dan mempertinggi mutu layanan publik. Osborne dan Gaebler (1992) menyebutkan bahwa birokrasi dapat menekuni misinya yang selama ini terabaikan, yaitu empowering dan enabling institutions satuan-satuan sosial masyarakat, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. North (1990), mengindikasikan bahwa : aturan-aturan main dalam suatu masyarakat terbentuk dari interaksi yang dibangun di antara mereka dan institusi-institusi yang ada mereducenya ke dalam struktur.
Disadari bahwa, dominasi peran pemerintah dalam mengembangkan struktur birokrasi pendidikan yang responsif, masih terus dikritisi dan terus menjadi ajang diskursus yang menarik. Kegagalan demi kegagalan yang dialami selama ini, selain disebabkan oleh faktor-faktor yang disebutkan di atas, juga karena masih adanya miskonsepsi dalam memandang eksistensi kewenangannya tanpa tatanan model birokrasi yang tepat, juga terjadi malpraktek karena ketidak jelasan visi, misi, tugas dan fungsi yang harus diemban. Kecenderungan faktualnya adalah bahwa gerak adaptif birokrasi pendidikan di Tanah Papua terkendala oleh : Pertama, kian menjamurnya distorsi pemahaman tentang visi dan misi pendidikan. Kedua, lahirnya dualisme acuan tata pemerintaan. Ketiga, merebaknya kendala struktur-fungsi birokrasi.
Berbagai pengalaman lapangan yang menarik cenderung mengungkapkan sejumlah kegagalan birokrasi yang terkotak-kotak itu dalam memaksimalkan layanan publik. Survey Pendapat Umum yang dilaksanakan pada 2002/2003 di Provinsi Papua oleh TNS/IFES/UNCEN, menyimpulkan bahwa layanan publik di bidang pendidikan masih terkendala oleh ketidak-memadaian : mutu dan jumlah guru serta fasilitas pendidikan, tenaga medis dan paramedis serta fasilitas keseha-tan, masyarakat masih termarginalisasi dari segi ekonomi, dan akses infrastruktur yang masih terbatas. Sementara itu, simpulan penelitian yang dilakukan atas kerjasama oleh UNDP-UNCEN (2005) bahwa kapasitas organisasi pemerintahan di Tanah Papua belum cukup kuat untuk memperbaiki kualitas rangka pelayanan publik.
1. Layanan Publik : Responsivitas Birokrasi Pendidikan
Era globalisasi yang dengan kondisi persaingan yang cukup ketat dan penuh tantangan, aparatur pemerintah dituntut untuk bisa memberikan layanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Kualitas layanan kepada masyarakat ini menjadi salah satu indikator dari keberhasilan institusi pendidikan sebagai sebuah organisasi birokrasi publik.
Birokrasi publik, pada dasarnya dihadirkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun birokrasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis, tetapi dalam menjalankan misi, tujuan dan programnya menganut prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, dan menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani secara optimal. Layanan publik, merupakan hak masyarakat yang pada dasarnya mengan-dung prinsip: kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung-jawab, kelengkapan sarana, dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan keramahan, dan kenyamanan. Tangkilisan, (2005 : 224) menyebutkan bahwa birokrasi publik tidak berorientasi langsung pada tujuan akumulasi keuantungan, namun memberikan layanan publik dan menjadi katalisator dalam penyelenggaraan pembangunan maupun penyelenggaraan tugas negara. Orientasi pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energi birokrasi dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik.
Responsivitas sebagai salah satu indikator pelayanan berkaitan dengan daya tanggap aparatur terhadap kebutuhan masyarakat yang membutuhkan pelayanan sebagaimana diatur di dalam aturan perundangan. Sementara itu, Siagian (2000) dalam pembahasannya me-ngenai Teori Pengembangan Organisasi mengindikasikan bahwa responsivitas menyangkut kemampuan aparatur dalam menghadapi dan mengantisipasi aspirasi baru, perkembangan baru, tuntutan baru, dan pengetahuan baru. Birokrasi harus merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Dalam Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Layanan Publik, disebutkan bahwa layanan publik oleh pemerintah dibedakan menjadi tiga kelompok layanan administratif, yaitu : Pertama, kelompok layanan yang menghasilkan bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik; Kedua, kelompok layanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik; Ketiga, kelompok layanan yang menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan oleh publik. Layanan publik dalam hal ini dipahami sebagai segala kegiatan yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan dalam rangka pencerdasan masyarakat sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, paling tidak terdapat tiga pelaku yaitu : pembuat kebijakan, penyedia/pelaksana layanan publik, dan penerima layanan. Dalam sistem pemerintahaan dominan, perumus dan pelaksana layanan publik dilakukan oleh pemerintah, dan masyarakat sebagai penerima layanan (Susanto : 2005). Tetapi, pelayanan publik oleh birokrasi seharusnya digerakkan oleh visi dan misi pelayanan, namun pada kenyataannya justru digerakkan oleh peraturan dan anggaran yang tidak dimengerti oleh publik karena tidak disosialisasikan secara transparan (Dwiyanto, 2002 : 84).
Pada kenyataannya, keinginan mewujudkan layanan publik secara optimal, tidak dapat dijalankan dengan baik karena birokrasi tidak cukup responsif terhadap dinamika semakin menguatnya kemampuan masyarakat, baik melalui mekanisme pasar maupun mekanisme organisasi sosial kemasyarakatan memungkinkan birokrasi meredefinisikan kembali misinya. Pengalaman membuktikan bahwa birokrasi yang dikendalikan dari jauh hanya menghasilkan penyeragaman yang seringkali tidak cocok dengan situasi dan kondisi pada variabilitas antar daerah. Banyak program pemerintah gagal memperoleh dukungan penuh dan partisipasi masyarakat karena karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi daerah. Perbedaan kultural, geografis, dan ekonomis melahirkan kebutuhan yang berbeda dan menuntut program-program pembangunan yang berbeda pula.
Pandangan yang sejalan, dikemukakan oleh Susanto (2005), dalam tulisannya tentang Manajemen Layanan Publik, bahwa layanan publik yang biasanya menempel di tubuh lembaga pemerintah dinilai kurang dapat memenuhi tugasnya sesuai dengan harapan khalayak, sebagai 'konsumen' mereka. Salah satu yang dianggap sebagai biang keladinya adalah bentuk organisasi birokrasi, sehingga birokrasi selalu mendapat pengertian yang negatif. Selain itu, penyedia layanan masih belum patuh kepada ketentuan baku yang dibuatnya sendiri dalam menjalankan tugasnya. Penyimpangan dari ketentuan yang telah ditetapkan acapkali tanpa adanya konsekuensi pengenaan sanksi. Terjadinya berbagai penyimpangan dalam pemberian layanan publik dapat disebabkan oleh : Pertama, para birokrat yang bertanggungjawab pada penyelenggaraan layanan publik masih terpaku pada paradigma lama dengan semangat pangreh praja yang masih melekat; Kedua, peraturan atau ketentuan yang berlaku mengandung banyak lubang (loopholes) atau kelemahan yang mendorong terjadinya penyimpangan; Ketiga, pengguna jasa layanan publik juga sering memanfaatkan kelemahan peraturan dan ingin menempuh jalan pintas; Keempat, pengguna jasa masih berada pada posisi yang lemah. Kumorotomo (2005 : 7) Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa selama ini banyak kebijakan, program, dan pelayanan publik kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat. Pertama, para birokrat kebanyakan masih berorientasi kepada kekuasaan dan bukannya kepada kepentingan publik. Birokrat menempatkan dirinya sebagai penguasa. Budaya paternalistik seringkali juga mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan publik. Kedua, terdapat kesenjangan yang lebar antara apa yang diputuskan oleh pembuat kebijakan dengan yang dikehendaki oleh rakyat. Dalam pandangan lain, aspek perubahan politik ikut berpengaruh pada derajat layanan publik, sebagaimana disinggung oleh Peters, B. Guy (1984) :
At least three of the old chestnuts that have guided our thinking about the public service ini the process of governance are simply no longer as canonical as they once were. The first of these principles is the assumption of an apolitical civil service, and associated with it is the politis-administration dichotomy and the concept of “neutral competence” within the civil service. A second significant change in assumption about government relevant to this discussion is a decline in assumption of hierachical and rule-based management within the public service, and in the outhority of civil servants to implement and eforce regulations outside of public service. The third change in the assumptions about governance and the public bureaucracy concerns the permanence and stability of the organizations within government.
Dilulio, 1994 dalam Dwiyanto (2002:60), menekankan bahwa responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Selanjutnya, dalam studinya tentang reformasi birokrasi, Dwiyanto (2002 : 60-61), mengembangkan beberapa indikator responsivitas pelayanan publik, yaitu : keluhan pengguna jasa, sikap aparat birokrasi dalam merespon keluhan pengguna jasa, penggunaan keluhan pengguna jasa sebagai referensi perbaikan layanan publik, berbagai tindakan aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan, dan penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku.
2. Problematika Organisasi dalam merespon layanan pendidikan
Sebagai suatu organisasi publik yang sarat dengan kompleksitas fungsi dan tugas, Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua menghadapi sejumlah masalah yang tidak pernah tuntas pemecahannya. Fenomena pendidikan yang seringkali menjadi wacana publik dan diperdebatkan adalah tidak optimalnya layanan pendidikan yang harus diberikan kepada masyarakat. Padahal, kehadiran birokrasi pendidikan dimaksudkan sebagai instumen untuk menghantar masyarakatnya ke arah yang cerdas dan unggul. Walaupun disadari bahwa kondisi umum mengenai inertia birokrasi, tetapi birokrasi pendidikan di Papua terkon-disikan dalam situasi problematik yang berbeda dan khas. Adalah wajar jika Imawan (1992) menjadi sangat dramatis mempertanyakan mengapa jaringan birokrasi yang dikenal saat ini demikian “kusut” hingga kurang responsif terhadap persoalan yang berkembang dalam masyarakat ? Padahal, ide birokrasi itu justru untuk menyederhanakan kompleksitas urusan dalam masyarakat modern. Salah satu fenomena menarik yang dikonstatir adalah bahwa kesadaran masyarakat yang mulai tumbuh dan berkembang sejalan dengan demokratisasi pemerintahan, terhambat oleh struktur birokrasi. Inertia birokrasi pendidikan Papua yang khas itu, lebih didominasi oleh tarik-menarik kewenangan antar pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, serta antara pihak intansi teknis dan pihak sekolah.
Dwiyanto dan Kusumasari (2001) membuat pernyataan yang menggelitik tentang public service fermormance dalam Policy Brief CPPS Gadjah Mada University Nomor 01/PB-E/2001 : The public service were originally designed to respond to the public’s need. In reality however, the history of bad public service performance in Indonesia makes it a priority for the government to improve it’s relations with the public. If done succesfully, this would in turn widen the government’s public lagitimacy. Sementara itu dalam tulisannya pada Policy Brief CPPS Gadjah Mada University Nomor : 7/PB-E/2003, Selanjutnya, diindikasikan bahwa : One of the causes of the poor public service performance is the complexity of the structure of bureaucracy. The public service bureaucracy often does not have sufficient authority to complete the process serving the public within its own institution. Completing the process of public service often requires the involvement of other institutions.
Pasang surut kinerja birokrasi pendidikan di Papua sangat ditentukan oleh dinamika eksternal dan internalnya. Artinya, responsivitas kebijakan dan strategi pendidikan bergan-tung pada dukungan vital dari : Pertama, konsistensi dan kesamaan cara pandang antara Pemerintah daerah, unit-unit sekolah, dan masyarakat; Kedua, garansi kapasitas organisasi internal dalam konteks capacity building, mencakup : pola anutan doktrin kelembagaan, sifat kepemimpinan, supporting sumberdaya, kelayakan program, dan fleksibilitas struktur organisasi pendidikan. Secara teoritik, kelemahan-kelemahan birokrasi pendidikan di Papua dalam rangka merespon tuntutan pelayanan publik dapat dieliminir melalui pemanfaatan model pendekatan pemecahan masalah yang memiliki relevansi dan koherensi dengan ekologisnya yang khas. Agar sesuai dengan realitas sebab-akibatnya, perlu dikembangkan sejumlah variabel dan indikator lokal atas kesepakatan stakeholders-pendidikan dan didasarkan atas hasil pengkajian akademis.
Upaya-upaya remedies dari serangkaian kondisi fenomenologis birokrasi pendidikan di Papua dalam kaitannya dengan layanan publik, menuntut adanya hasil diagnostik yang akurat dan reliabel dengan instrumen pendekatan pemecahan masalah yang berkelayakan dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah-praktis. Penyertaan karakteristik ekologi lokal sebagai variabel penting dalam analis menjadi bagian penting dari internalisasi faktor-faktor lokal dalam birokrasi pendidikan di Papua. Hal tersebut didukung oleh beberapa pandangan konseptual, misalnya Kimberly dan Rottman dalam Gibson et.al. (1995), menyebutkan bahwa lingkungan, teknologi, pilihan strategi, proses, dan kultur adalah faktor-faktor yang menentukan keefektifan suatu organisasi. Hardjito dalam Tangkilisan, 2005 :150), mengemukakan bahwa keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya dipengaruhi oleh komponen-komponen organisasi yang meliputi : struktur, tujuan, manusia, hukum, prosedur pengoperasian yang berlaku, teknologi, lingkungan, kompleksitas, spesialisasi, kewenangan, dan pembagian tugas. Sunoto (1992), yang menulis tentang aspek manusia dalam analisis organisasi dalam buku suntingan Effendi, dkk (1992 : 223), menyinggung budaya sebagai metafora bagi analisis organisasi, di mana metafora kebudayaan berakar dariasumsi bahwa suatu organisasi merupakan shared meanings dan interpretive scheme yang mengandung unsur-unsur bahasa, norma-norma, nilai-nilai, ideologi, keyakinan, dongeng, yang merupakan dasar dan refleksi perilaku organisasi. Hal ini berarti, di dalam organisasi itu solusi telah diterima begitu saja (taken for granted). Apa yang awalnya dihipotesiskan oleh seorang anggota kelompok, didukung oleh nilai atau dugaan yang lama kelamaan diperlakukan sebagai kenyataan atau jalan keluar. Osborne dan Platrik (2000 : 256-257), menyarankan metode untuk mengubah budaya birokrasi yang bersifat negatif, dengan 4(empat) strategi, yaitu : memperjelaas tujuan organisasi, menciptakan konsekwensi kinerja, menciptakan pertanggung jawaban organisasi terhadap pelanggan; dan menggeser tempat dan bentuk kontrol.
Agenda reformasi birokrasi pendidikan secara menyeluruh di Papua sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi modern harus dapat diarahkan kepada perwujudan birokrasi sebagai pelayan masyarakat yang efisien, efektif, terpadu, terjangkau, transparan dan akuntabel. Untuk itu perlu menata kembali birokrasinya yang memungkinkan terjadinya internalisasi kaitan-kaitan ekologis, sehingga dapat menampakkan suatu format birokrasi yang berwajah “kepapuaan”. Maka, dalam rangka mengatasi hambatan birokrasi, salah satu gagasan yang dikembangkan adalah menyusun organisasi secara lebih kenyal dengan model Pertama : mission-type organization yang memfokuskan perhatian pada pencapaian sasaran tertentu secara jelas dan nyata; dan Kedua, matrix organization yang mudah dibongkar pasang, terdiri dari komponen-komponen profesional yang ditata dalam berbagai kombinasi menurut keperluan.
Implikasinya bagi analisis desain model Birokrasi Pendidikan adalah : Pertama, mempertimbangkan adanya jalur hubungan “segi-tiga” (pemerintah-sekolah-masyarakat); Kedua, memahami dan mendalami aspek-aspek tradisi-budaya, sosial, dan politik yang mewarnai hubungan-hubungan itu; Ketiga, memaknai batas-batas kewenangan masing-masing sehingga tidak terjadi overlapping atau justru memunculkan kerumitan baru; Keempat, menelusuri batas-batas kewenangan otonomi pendidikan, sehingga ditemukan model keseimbangan yang serasi; Kelima, menjustifikasi struktur organisasi yang diharapkan dapat merefleksikan responsivitas layanan publik dan keberpihakannya pada masyarakat.
Untuk kepentingan itu, dikembangkan model kerangka dasar hubungan birokrasi pendidikan dan responsivitas layanan publik, di mana hubungan-hubungan variabel yang ditelaah menjadi lebih nampak pada gambar tersebut, di mana variabel-variabel hukum, budaya, politik, sosial, dan ekonomi dijadikan sebagai faktor penentu bagi pertumbuhan dan perkembangan model birokrasi Papua yang responsif terhadap layanan publik prima. Pada gambar di atas, diperlihatkan adanya gap antara harapan dan kenyataan, di mana responsivitas birokrasi Papua dikerangkakan sebagai “tidak optimal dan masih jauh dari idealisasi harapan”. Penyebabnya adalah kontribusi 5 variabel ekologis dominan yang belum maksimal.
Sektor pendidikan ternyata masih terkendala oleh berbagai faktor, terutama pada tataran penerjemahan komitmen politik menjadi kebijakan strategis dan taktis serta pada tataran implementasi di hampir semua intitusi teknisnya. Tak urung yang tampak adalah responsitivas lamban dan bersifat semu semata sehingga hanya dapat mengembangkan produk pendidikan yang mengecewakan. Kendala responsivitas tersebut, pada dasarnya dipicu oleh renggangnya hubungan institusi pendidikan dan birokrasi pemerintahan. Konsekwensi logisnya dapat dirujuk pada resistensi terhadap kebijakan pendidikan. Walaupun akhir-akhir ini muncul fenomena baru yang mewacanakan orientasi hasil sebagai parameter penting dalam menilai keberhasilan pendidikan.
Kendati pendekatan yang berorientasi pada hasil cenderung menunjukkan capaian nilai, tidak berarti bahwa cerita dalam dunia pendidikan akan menggembirakan. Terbukti kemu-dian, banyak issu-issu penting yang membutuhkan perhatian ketika ditelaah dengan pende-katan orientasi proses. Kelemahan responsivitas institusi pendidikan, dapat diidentifikasi de-ngan indikasi bahwa pada tataran implementasi kebijakan, sektor pendidikan mengalami hambatan struktural yang justru bermula dari pusat kebijakan tertinggi di pemerintahan.
Agenda Masalah
Kemampuan Pemerintah Daerah dalam menanggapi secara cepat dan tepat terhadap berbagai permasalahan pendidikan adalah suatu tuntutan di era otonomi daerah, mengingat bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang cukup untuk mengambil sikap dan tindak kebijakan yang koheren dan relevan dengan aspirasi masyarakatnya. Tetapi faktanya, sikap dan tindak bijak itu masih mengandung bias masalah yang memerlukan perhatian serius. Sejumlah permasalahan yang terungkap dalam hasil survey penulis tentang Goverment Decentralization bekerjasama dengan UGM Yogyakarta -- laporan ditulis pada Tahun 2004 --, bahwa sesungguhnya faktor-faktor yang cukup signifikan berdampak pada capaian hasil adalah : derajat perhatian pemerintah derajat hubungan kerja, manajemen keluhan, respon layanan, dukungan pembiayaan, dukungan staf dan dukungan infrastruktur.
1. Derajat Perhatian Pemerintah
Masalah mendasarnya adalah derajat perhatian pemerintah terhadap sektor pendidikan. Terbukti sebagaimana data yang diterakan pada Gambar 1, di mana terhadap pertanyaan yang diajukan :
“Bagaimana perhatian Bupati/Walikota dan DPRD di bidang pendidikan”, menghasilkan opini responden bahwa legislatif (DPRD Kabupaten/kota) lebih concern dalam dunia pendi-dikan daripada eksekutif (Bupati/Walikota). Bahkan kecenderungannya, perhatian pihak eksekutif justru dinilai kurang memadai. Temuan ini cukup mengejutkan karena sesungguh-nya Bupati/Walikota telah menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas kebijakan pembangunannya. Kesalahan yang terjadi bukan pada sisi kebijakannya, tetapi lebih pada responsivitas institusi dalam mengimplementasikan kebijakan itu.
2. Derajat Hubungan Pemerintah dan Layanan
Ketakberdayaan sekolah mengakses kesempatan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan kebijakan pendidikan adalah wajah lain dari dunia pendi-dikan di Provinsi Papua. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal ini adalah forum-forum pertemuan antara Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah untuk membahas hal-hal seperti : kemajuan belajar siswa, pengembangan sekolah, dan proses belajar mengajar, yang tidak terlalu intensif. Bahkan sebagian terbesar responden berpendapat bahwa forum-forum pembahasan seperti itu menyatakan pendapatnya antara : “tak pernah” sampai “kadang-kadang” saja dilakukan. Demikian halnya dengan dengan derajat layanan Dinas Pendidikan kepada para Kepala Sekolah di wilayahnya.
Padahal, forum-forum yang demikian itu sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam rangka pemecahan masalah secara dialogis dan demokratis. Forum pembahasan juga dapat berfungsi sebagai ajang sosialisasi ide/gagasan atau arah kebijakan dalam dunia pendidikan. Lebiih dari itu, forum ini dapat juga difungsikan sebagai instumen dalam rangka KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, Simplikasi) berbagai kegiatan. Oleh karena forum-forum pertemuan institusional yang dilakukan dengan frekwensi yang sedikit itu, maka dapat dipastikan akan banyak dijumpai kesenjangan opini, sikap, dan perilaku kebijakan. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan fenomena lain seperti derajat layanan Dinas Pendidikan kepada Sekolah-sekolah di wilayahnya yang merujuk pada kondisi layanan tergolong rendah. Data pada Gambar 2 sekaligus membuktikan bahwa Dinas Pendidikan Kabupaten/kota di Papua tidak responsive terhadap kebutuhan sekolah.
Dampak yang mungkin terjadi kemudian adalah mandegnya visi pengembangan sekolah, sehingga pogram yang direncanakan oleh Manajemen Sekolah menjadi terbeng-kalai, terjadinya hambatan struktural dalam proses pembelajaran siswa, terjadinya stagnasi kemajuan belajar siswa sehingga prestasi belajar siswa secara agregat menjadi terganggu. Program yang direncanakan oleh Sekolah menjadi terbengkalai karena kebijakan pendidikan tidak dapat direspon dengan baik oleh Manajemen sekolah, adanya apatisme Manajemen Sekolah terhadap dinamika masyarakat karena tidak menganggap sebagai bagian dari kebijakan yang harus disukseskan, seringkali terjadi duplikasi kebijakan dari intitusi yang berbeda sehingga membingungkan manajemen sekolah dan masyarakat, sistem informasi Sekolah tidak dapat mendeteksi kondisi faktual sehigga terjadi kegagalan dalam melakukan monitoring dan pelaporan kegiatan.
3. Manajemen Keluhan
Kelambanan institusi pendidikan dalam merespon animo atau keluhan masyarakat, telah meningkatkan frekwensi kritikan, baik secara langsung maupun melalui media massa. Misalnya, tentang kelambanan penyediaan sarana pendidikan dan bantuan pendidikan bagi siswa yang tak mampu. Keluhan dan kritikan yang disampaikan oleh masyarakat kepada Sekolah, dan Sekolah kepada Dinas Pendidikan, terutama berkenaan dengan kebijakan yang ditetapkan, deviasi implementasi kebijakan, kontrol yang lemah. Hal ini sekaligus merupakan signal buruk bagi pengembangan pendidikan yang demokratis di masa men-datang. Pengembangan pendidikan di bawah kewenangan otonomi daerah, membutuhkan partisipasi dan dukungan semua pihak.
Data sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3, menjelaskan bahwa keluhan kepada institusi pendidikan (Dinas Pendidikan dan Sekolah) pada level kategori “seringkali” dengan frekwensi yang cukup tinggi, tetapi sebaliknya justru direspon dengan tidak memuaskan.
Keluhan-keluhan yang disampaikan kebanyakan hanya ditampung begitu saja tanpa ada penyelesaian secara terencana. Dapat dipahami jika opini responden tentang banyaknya keluhan berkorelasi dengan tingginya ketidak puasan terhadap Institusi Pendidikan. Seyogyanya institusi pendidikan (sekolah dan Dinas Pendidikan) hingga ke pusat-pusat kebijakan pemerintahan seharusnya memiliki kepekaan aspirasi dan kepedulian pada kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang berkualitas. Tetapi, sangat mengherankan karena institusi Pendidikan justru kurang tanggap dalam merespon keluhan tersebut. Akibatnya, dapat dipastikan bahwa keluhan akan kian meningkat.
4. Dukungan Pembiayaan, Staff, dan infrastruktur
Salah satu kebijakan institusi pendidikan yang tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat tetapi malahan lebih merespon kepentingan elite birokrasi, misalnya ada-lah kebijakan tentang penyediaan dan layanan anggaran pendidikan. Kebijakannya dirumuskan dengan tujuan dan sasaran yang jelas, yakni untuk kepentingan masyarakat, tetapi dalam prakteknya banyak siswa miskin yang tak memiliki kesempatan memperoleh beasiswa justru dinikmati oleh anak-anak pejabat. Terjadi ketidak-adilan dalam pemberian insentif belajar siswa. Pada konteks ini, responsivitas bersinggungan dengan rasa keadilan dan transparansi.
Ketika hal ini dirujukkan pada tingkat kebutuhan sekolah, maka keprihatinan baru mulai muncul karena ter-jadinya perbedaan dan ketidak adilan respons birokrasi pendidikan terhadap sekolah-sekolah binaannya. Adanya klasifikasi sekolah menurut “mutu ?” sesuai jenjangnya, menimbukan keresahan bagi sekolah-sekolah yang merasa tidak diperhatikan dengan baik. Persebaran insentif pendidikan menjadi tak merata. Opini yang berkembang sesuai data Gambar 4, menunjukkan bahwa penyediaan dan layanan anggaran pendidikan pada umumnya direspon secara negatif, di mana sebagian besar responden berpendapat bahwa alokasi anggaran pendidikan dinilai “tidak mencukupi”, sementara itu layanan birokrasi terhadap anggaran sekolah dinilai “kurang cukup”.
Alokasi anggaran pendidikan yang dipandang tidak mencukupi itu, kian memperkuat asumsi-asumsi, bahwa : Pertama, dugaan awal bahwa perhatian pemerintah tidak cukup serius dalam membangun sebuah institusi pendidikan yang kapabel sebagai pusat-pusat pengkaderan putra bangsa. Kedua, alokasi anggaran telah tercukupi secara formal sebagai-mana tertuang dalam APBD Kabupaten/Kota, tetapi dalam hal pemanfatannya mengalami kendala “moralitas implementer”, misalnya : pembiasan sasaran dan prosedur kegiatan, pembiaran kebocoran yang korup, dan pembinalan oknum pelaku yang tak bertanggung jawab. Ketiga, adanya hambatan struktural dan legalistik, di mana terjadi kelambanan menindak lanjuti realisasi anggaran yang telah disetujui di dalam sidang APBD yang menyebabkan terhambatnya penyaluran anggaran ke sasarannya. Dalam banyak hal, ketiga asumsi di atas saling menunjang, dalam arti bahwa salah satu atau lebih dari satu atau semuanya, selalu menjadi kendala bagi upaya peningkatan respon dukungan pembiayaan dan layanan pendidikan di berbagai Kabupaten/Kota se Papua.
Secara detail, Gambar 5 menunjukkan bahwa kombinasi dari 3 indikator utama sektor pendidikan, yaitu : anggaran, staf (guru), dan infrastrukturnya mengalami ketidak cukupan yang sangat berarti. Jika dibandingkan ketiganya, maka sekali lagi “dukungan anggaran pendidikan” dapat dinilai paling parah.
Dalam hal dukungan penyediaan staf (guru), lebih dari separuh responden yang masih menyangkalnya. Hal ini berarti bahwa di beberapa sekolah tidak terjadi permutasian atau perekrutan baru dalam kurun waktu yang lama. Lebih parah lagi di daerah pedalaman, banyak sekolah yang tidak memiliki tenaga guru yang cukup. Pada aspek lain, program pengembangan dan pembinaan guru terabaikan, karena adanya kecenderungan yang tidak pedulian pada upaya meningkatkan kesejahteraannya. Sementara itu, dukungan pembenahan infrastruktur tampak lemah sesuai pernyataan dari hampir 80 % responden yang berpendapat “tidak” berarti. Infrastruktur yang dalam hal ini mencakup prasarana dan sarana pendidikan yang terasa masih memerlukan perhatian yang lebih serius, seperti : bangunan sekolah, perpustakaan, dan laboratorium.
LANGKAH SITUASIONAL YANG DITERAPKAN
Fakta-fakta yang terungkap di atas, mengindikasikan bahwa sejak awal diberlakukan-nya Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor : 32 Tahun 2004, dan kini telah memasuki imp-lementasi Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua, birokrasi pendidikan di Kabupaten/Kota se Provinsi Papua masih mengalami banyak kendala dalam membangun kepedulian merespon aspirasi masyarakat. Karena itu responsivitas birokrasi pendidikan harus menemukan meta masalahnya sebagai masalah publik yang diagendakan dalam kerangka kerja membangun masa depan masyarakat Papua yang terdidik. Agenda tersebut, kemudian diterjemahkan dalam berbagai kebijakan dan program peningkatan mutu proses dan luaran pendidikan melalui pembahasan dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota.
Beberapa langkah-langkah penting yang dijalankan selama ini, dipandang memiliki sisi positif sekaligus sisi negatifnya bagi peningkatan rasa kepedulian para petinggi pemerin-tahan terhadap pentingnya pendekatan institusi diterapkan dalam rangka merespon tun-tutan masyarakat. Beberapa di antaranya yang cenderung bersifat negatif adalah : Pertama, Sistem pemusatan kewenangan kebijakan pendidikan di Kantor Dinas Pendidikan yang disertai dengan sistem pengelolaan keluhan dengan pendekatan loby hingga kekuatan otorisasi. Kedua, sistem pemusatan pembinaan institusi pendidikan yang diarahkan pada target-target monumental bagi pejabatnya, misalnya : prioritas pembinaan yang berlebihan pada sekolah unggulan yang cenderung mengabaikan ragam kebutuhan sekolah non-unggulan. Ketiga, pembentukan Komite Sekolah yang dalam prakteknya cenderung ber-fungsi seperti BP3 di masa lalu, dengan kewenangan yang luas bagi penghimpunan dana masyarakat.
Di sisi lain, diakui bahwa ada upaya positif yang dilakukan saat ini adalah adalah : Pertama, penerapan kebijakan bantuan teknis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang meliputi 3 aspek, yaitu : bantuan SPP, bantuan operasional pendidikan, dan bantuan UAS (ujian akhir sekolah). Jenis bantuan yang disebutkan terdahulu, diserahkan langsung kepada siswa atau orangtua siswa melalui Kepala Sekolah, sedangkan dua jenis bantuan berikutnya pengelolaannya diserahkan langsung kepada sekolah. Kedua, kebijakan Re-grouping sekolah dalam rangka peningkatan kualitas infrastruktur pendidikan. Ketiga, kebijakan insentif anggaran pendidikan yang langsung disalurkan kepada siswa dan masyarakat.
1. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dan dengan memperhatikan kerangka teorinya, maka dapatlah disimpulkan bahwa :
Pertama. Pelayanan publik dibidang pendidikan belum dapat ditingkatkan menjadi “prima”, kerena dibutuhkan masih dibutuhkan birokrasi pendidikan yang mampu ber-adaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan dan memahami kebutuhan masyarakat yang dilayani.
Kedua. Capacity building yang tidak konsisten dan tidak taat azas dari institusi birokrasi pendidikan di Tanah Papua telah menjadi faktor dominan bagi melemahnya kinerja birokrasi sehingga menjadi kehilangan gairah merespon kepentingan masyarakat
Ketiga. Faktor-faktor eksternal birokrasi seperti : hukum, adat-budaya, politik, sosial, dan ekonomi dan internal birokrasi seperti : doktrin, kepemimpinan, lembaga, sumberdaya, dan struktur organisasi, secara bersama-sama menjadi hambatan bagi upaya peningkatan derajat responsitas birokrasi.
Keempat. Model birokrasi pendidikan di Tanah Papua yang modern sesuai dengan dinamika perkembangan belum tersusun sebagai pilihan paradigma berbasis metapora budaya lokal.
Kelima, Derajat responsivitas elit pendidikan dan birokrasi pemerintahan belum optimal dalam implementasi, walaupun sudah dirumuskan dengan indahnya dalam kebijakan dan strategi pembangunan di bidang pendidikan.
2. REKOMENDASI ALTERNATIF KEBIJAKAN
Pertama, Berdasarkan asumsi bahwa Sekolah dan masyarakat sebagai inisiator utama kebi-jakan yang demokratis, maka dipandang perlu untuk mengaktifkan mekanisme perumusan kebijakan dengan memanfaatkan saluran informasi yang dimulai dari simpul masyarakat terkecil hingga pada level MEP (Manajemen Eksekutif Puncak) di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Untuk itu perlu membentuk Policy Centre di lingkungan sekolah yang meli-batkan berbagai pihak. Kehadiran policy centre tidak berarti akan mengambil alih tugas dan fungsi Komite Sekolah, tetapi keduanya dapat dikoordinasikan sebagai unit-unit di bawah kewenangan Kepala Sekolah untuk mensuplai kebutuhan sekolah. Policy Centre, harus didukung oleh tenaga profesional yang memahami siklus kebijakan publik dan tata alir informasi, dan teknik pemecahan masalah di bidang pendidikan. Hal ini di-maksudkan untuk : a) lebih menguatkan Sekolah dalam melakukan bargaining dengan Dinas Pendidikan menyangkut pemenuhan kebutuhannya. b). mensuplai bahan kebijakan ke pusat kebijakan di tingkat Pemerintah Kab/Kota. c) mening-katkan keakurasian kebijakan Kepala Sekolah yang ditujukan kepada siswa dan masyarakat.
Kedua, Mendorong penguatan institusi kemitraan di bidang pendidikan (misalnya : Pusat Pengembangan dan Pengendalian Mutu Pendidikan). Institusi ini diberi ruang kontrol yang memadai terhadap penetapan kebijakan dan strategi pendidikan dan diberi akses dalam mempengaruhi kebijakan mengenai : anggaran, guru, infra-struktur. Hal ini dipandang penting sebagai pengimbang formal jika dapat di-regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah di setiap Kabupaten/Kota.
Ketiga, Pemetaan pendidikan dasar dan menengah secara berkesinambungan per tahun yang dapat mencerminkan konfigurasi animo masyarakat dan kesiapan institusi pendidikan serta penataan dan strukturisasi hubungan kerja antar dan inter insti-tusi pendidikan di dalam birokrasi pendidikan dan sekolah-sekolah sehingga men-jadi jelas. Untuk itu, maka dengan pendekatan mekanisme KISS, di tingkat Dinas Kab/Kota dibentuk CoPC (Coordination of Policy Centre) dengan sistem kerja yang diadopsi dari SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal satu atap).
Keempat, Pembentukan dan penguatan unit/satuan institusi pendidikan di tingkat distrik seperti KCD (Kantor Cabang Dinas), atau sejenisnya untuk mengatasi faktor arbitasi, sekaligus dapat meminimalisasi derajat keluhan masyarakat yang berdomisili jauh dari pusat pendidikan.
Kelima, Melalui mekanisme umpan balik, perlu dilakukan reorientasi kebijakan pendidikan yang nyata-nyata tidak memiliki nilai responsivitas memadai, dengan memperhati-kan aspek-aspek keadilan dan transparansi.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus dan Kusumasari. 2001. Public Service Performance dalam Policy Brief CPPS-Gadjah Mada University, Nomor : 01/PB-E/2001.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta : Penerbit PSKK-UGM.
Frederickson, George H. 2005. The State of Social Equity in American Public Administration . American Society for Public Administration-Vol.28 No.3- March 2005. http://www.aspanet.org/scriptcontent/word/Accomplishments2005.doc
Gibson, James L., dkk, 1995. Organizations Behaviour Structure and Process. Homewood, Illinois : Richard D. Irwin Inc.
IFES. 2003. Survey Opini Publik Papua. Jakarta.
Komorotomo, Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik Sketsa Pada Masa Transisi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.
Siagian, Sondang P. 2000. Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
Silo, Akbar. 2005. Kinerja Pemerintahan Dalam Rangka Pelayanan Publik di Kabupaten Sarmi. Laporan Penelitian kerjasama UNDP dan UNCEN.
Silo, Akbar. Dkk. 2004. Penguatan Institusi Pendidikan yang Responsif. Policy Brief No. 19/PB/2004.. PSKK-UGM. Yogyakarta.
Sunoto, 1992. Aspek Manusia dalam Organisasi : Dasar Pemikiran dan Implikasi Metode Penelitian, dalam Effendi, dkk. 1992. Membangun Martabat Manusia, Peranan Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan. Jakarta :Penerbit Gadjah Mada University Press.
Susanto, Agus. 2005. Manajemen Pelayanan Publik. Makalah. Publikasi Internet : http://www.ombudsman.or.id/pdf/SO2.pdf
Osborene, David dan Ted Gaebler. 1996. Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government) : Mentrasformasi Semangat Wirausaha ke Dalam Sektor Publik. Edisi Terjemahan. Jakarta : Penerbit Pustaka Binaman Pressindo.
Osborne, David dan Peter Plastrik (2000), Memangkas Birokrasi: Lima strategi menuju Pemerintahan Wira Usaha, Edisi Terjemahan. Penerbit PPM, Jakarta.
Pemerintah Provinsi Papua. 2003. Laporan Pertanggung Jawaban Gubernur di Hadapan Sidang DPRD Provinsi Papua.
Peter, B. Guy. 1984. American Public Policy. Franklin Watts, New York : Tulano University.
Tangkilisan, Hesel Nogi S. Drs. M.Si. 2005. Manajemen Publik. Jakarta : Penerbit PT.Grasindo.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar