Sebanyak 115 juta anak-anak yang tidak sekolah membutuhkan pendidikan khusus. Pendidikan inklusif adalah strategi kunci untuk menangani anak-anak tersebut. Prinsip dasar Pendidikan Inklusif adalah bahwa semua anak harus memperoleh kesempatan untuk – bersama-sama - belajar. Hal ini berarti bahwa sekolah biasa (umum) harus diperlengkapi untuk melihat dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan pelajar yang beranekaragam, termasuk mereka yang secara tradisional telah tersingkirkan—baik dari akses ke sekolah maupun peran serta setara di sekolah.
Anak-anak penyandang cacat memiliki jumlah besar bahkan jumlahnya di luar dugaan. Walaupun demikian, secara mayoritas anak-anak penyandang cacat memiliki cacat yang tidak parah yang tidak terdiagnosa serta terlihat dengan mata. Anak-anak penyandang cacat termasuk mereka yang memiliki kesulitan dalam belajar, berbicara, dalam hal fisik, kognitif, pendengaran, pancaindarea, dan emosional. Anak penyandang cacat memiliki kemungkinan lebih besar dibanding anak-anak lainnya untuk tidak sekolah, atau keluar dari sekolah, atau keluar masuk sekolah. Panyusun Laporan PBB mengenai Hak Asasi Manusia dan Kecacatan tahun 1991 (UN Rapporteur on Human Rights and Disabilities) mengemukakan bahwa paling sedikit satu dari sepuluh orang di mayoritas negara memiliki cacat fisik, mental, atau indera (tunarungu/tunanetra). Angka sepuluh persen tersebut berarti anak-anak sekolah dasar di negara berkembang berjumlah 50-55 juta di mana kurang dari 5 persen diperkirakan baru mencapai sasaran program PBS (Pendidikan Bagi Semua) yaitu masuk ke sekolah dasar. Ada kemungkinan bahwa jumlah ini terus bertambah akibat kondisi global dengan meningkatnya kemiskinan, konflik bersenjata, praktek perburuhan anak, kekerasan dan pelecehan, serta HIV/AIDS. Karena anak-anak tersebut merupakan bagian dari sebuah unit keluarga, diperkirakan paling sedikit 25% dari populasi dunia secara langsung dipengaruhi oleh adanya kecacatan.
Pendidikan Inklusif terfokus pada setiap kelebihan yang dibawa anak ke sekolah daripada kekurangan mereka yang terlihat dan secara khusus melihat pada bidang mana anak-anak dapat mengambil bagian untuk berpartisipasi dalam kehidupan normal masyarakat atau sekolah, atau memperhatikan apakah mereka memiliki hambatan fisik dan sosial karena lingkungan. Seperti yang ditunjukkan oleh Judith Heumann, Penasihat Bank Dunia mengenai Kecacatan dan Pembangunan, “Bila anda tidak mengakui bahwa sesungguhnya para penyandang cacat memiliki pula kesempatan belajar, maka kesempatan mereka bukan dibatasi oleh cacat tubuh mereka, namun oleh kurangnya pendidikan.”
Pendidikan Inklusif berarti bahwa sekolah dan pendidik harus mengakomodasi dan bersikap tanggap terhadap peserta didik secara individual. Inklusifitas ini menguntungkan sekolah, guru-guru, dan seluruh pelajar. Prinsip ini mengakui bahwa sekolah adalah komunitas pembelajar, pendidikan sebagai tujuan seumur hidup, dan sasaran akhir tercapainya warga negara yang sehat dan produktif yang secara penuh ikut memberikan sumbangsih pada kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya bangsa, masyarakat, dan keluarga.
Pendanaan dan Desentraslisasi
Di masa lalu, banyak pemerintah dan pemberi dana menghindar untuk memberikan dukungan bagi anak-anak penyandang cacat karena percaya bahwa program-program tersebut sangat mahal dan hanya sedikit memberi keuntungan bagi pendidikan. Menurut laporan OECD 1994, penempatan anak-anak dengan kebutuhan khusus di sekolah umum adalah tujuh sampai sembilan kali lipat lebih murah dibanding dengan penempatan anak-anak tersebut di sekolah khusus. Ketika Pendidikan Inklusif diterapkan, penelitian terkini menunjukkan adanya peningkatan prestasi dan kemajuan pada semua anak. Di banyak daerah di dunia melaporkan bahwa diperoleh manfaat pribadi, sosial, dan ekonomi diperoleh dengan mendidik anak-anak usia sekolah dasar yang memiliki kebutuhan khusus di sekolah umum; Kebanyakan siswa dengan kebutuhan khusus ini berhasil diakomodasi dengan lebih murah dengan cara ini. Namun demikian, ada juga pengecualian apabila mereka ditempatkan di sekolah-sekolah terpadu. Hampir seluruh anggota negara OECD masih memasukkan para tunanetra dan tunarungu dalam jumlah besar di sekolah khsusus. Bagi populasi tunarungu, citra diri positif bahwa anak-anak berkembang dalam lingkungan ‘bahasa isyarat’ bernilai lebih tinggi dari pada keuntungan yang diperoleh dengan menempatkan mereka pada sekolah umum. Kemungkinan bagi orangtua untuk memilih penempatan di sekolah terpadu atau segregasi adalah penting.
Biaya-biaya terkait dengan penyediaan pendidikan khusus ternyata tinggi dengan hilangnya produktivitas, potensi manusia, kesehatan serta kesejahteraan.
Nilai Total Pertahun PDB (Produk Domestik Kotor) atau GDP (Gross Domestic Products) yang hilang karena Kecacatan.
PDB yang hilang (dalam milyar dolar Amerika) Perkiraan Maksimum Perkiraan Minimum
Negara dengan Pemasukan Tinggi 1.300 900
Negara dengan Pemasukan Sedang 480 339
Negara dengan Pemasukan Rendah 192 135
TOTAL 1.936 1.365
Sumber: R. L. Metts (2000) Hlm. 71
Ada beberapa cara khusus yang dapat menolong untuk mengintegrasi dan memelihara anak-anak penyandang cacat di dalam sekolah umum. Hal ini termasuk pula 1) strategi pelatihan pra-layanan dan layanan di lapangan bagi para pendidik dan administrator; 2) pusat sumber daya tersentralisasi, koperasi dan program penjangkauan; 3) memobilisasi dan melatih orang tua sebagai sumber daya; 4) kolaborasi multi-sektor dan meningkatkan kapasitas program rehabilitasi berbasis masyarakat.
Tindakan-tindakan ini membutuhkan jaminan mutu tersentralisasi dan jaminan hak asasi manusia, dan pendaan terdesentralisasi untuk menggalakkan inisiatif dan praktek inovatif yang memenuhi kebutuhan spesifik tingkat lokal. Formula berbasis sumber daya manusia harus dipakai untuk mengalokasikan dana pada tingkat lokal berdasarkan perkiraan kebutuhan program dengan mengkhususkan pada tingkat dukungan (seperti ukuran kelas, guru pendukung), dan parameter-parameter lainnya dikaitkan dengan pendidikan bermutu. Alokasi yang mendorong sistem yang seragam dalam menyampaikan layanan pendidikan, dan yang menentukan dengan jelas standar-standar kinerja adalah terbukti paling efektif.
Persoalan Mutu
Dalam kaitannya dengan strategi pengajaran dan pembelajaran, Pendidikan Inklusif di ruang kelas menekankan pengelompokan multi-kemampuan untuk pengajaran, dukungan teman belajar, pembelajaran kooperatif, penilaian dalam beberapa bentuk (misalnya, standar berdasar kurikulum), partisipasi aktif yang terpusat pada siswa dalam pembelajaran, pengakomodasian gaya pembelajaran yang beragam, dan pendekatan pemecahan masalah reflektif kritis terhadap kurikulum dan pengajaran. Semua strategi ini merupakan praktek terbaik dalam pengajaran yang efektif bagi semua pelajar. Strategi-strategi ini tercermin dalam materi baru sumber pelatihan guru yang dibuat oleh UNESCO, dan digunakan secara luas dalam program-program pelatihan di berbagai negara.
Pada skala besar, UNESCO meluncurkan Program Sekolah Inklusif dan Dukungan Masyarakat melalui sebuah Proyek Global untuk memaksimalkan sumber daya manusia dan material demi mendukung Pendidikan Inklusif. Sejauh ini, 30 negara yang tersebar di berbagai belahan dunia telah terlibat. Berdasarkan aplikasi yang dikirimkan dari negara-negara yang berkomitmen untuk mengembangkan program Pendidikan Inklusif yang berkelanjutan, UNESCO memilih empat negara untuk difokuskan lebih lanjut termasuk India yang telah memulai sebuah proyek percobaan di sekolah-sekolah dasar dan menengah di Mumbai dan Chennai. Komisi Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik atau ESCAP (Economic and Social Commission of Asia and the Pasific) telah mendukung pula beberapa proyek di India sebagai bagian dari program perdananya dalam bidang kecacatan. Pelatihan guru intensif terfokus pada strategi pengajaran dan pembelajaran yang terpusat pada anak, dan menggabungkan praktek langsung dan sesi pengumpulan umpan balik. Sebagai bagian dari pelatihan tersebut, setiap sekolah ikut berpartisipasi dalam penyusunan proposal riset dan evaluasi untuk diimplementasikan. Dampak positif dalam hal perubahan sikap guru dan murid terhadap pengajaran dan pembelajaran, dan dalam prestasi murid didokumentasikan. Keberhasilan India memberi pelajaran yang cukup berarti mengingat penduduknya mencapai 16,7% dari penduduk dunia.
Pelajaran yang Diperoleh
1) Pendidikan guru memainkan peran sangat penting dalam Pendidikan Inklusif yang efektif.
2) Intervensi dini sangat penting di dalam kelompok kecil multi kemampuan saat anak-anak masih berada dalam tahap perkembangan formatif
3) Strategi-strategi untuk menggalakkan akses dan partisipasi—baik desain universal untuk akses fisik ke sekolah, dan akses akademis ke kurikulum dan pengajaran melalui penyesuaian dan dukungan yang sesuai
4) Pendidikan Inklusif harus dilihat sebagai bagian integral reformasi sekolah secara menyeluruh.
5) Pendanaan terdesentralisasi dapat mendukung praktek inovatif dengan memakai sistem yang seragam dalam menyampaikan layanan pendidikan.
6) Hukum dan kebijakan yang mendukung hak universal atas akses dan partisipasi yang setara harus diterapkan pada semua pelajar termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan walaupun sudah ada kemajuan menuju Pendidikan Inklusif dan Pendidikan Bagi Semua. Perampasan hak-hak asasi manusia dan ketidaksetaraan yang menyolok dalam pemberian kesempatan masih menimpa anak-anak penyandang cacat. Pengalaman negara-negara memberikan bukti yang semakin kuat bahwa Pendidikan Inklusif harus menjadi prinsip penuntun untuk mencapai Sasaran Pembangunan Milenium melalui Pendidikan Bagi Semua --- Bersama.
Tantangan yang Masih Ada: Himbauan untuk Bertindak
1) Pengumpulan Data dan Penentuan Populasi
Ada kebutuhan mendasar untuk secara jelas mendefinisikan, menentukan lokasi, dan mengumpulkan data populasi anak-anak penyandang cacat untuk memasukkan mereka ke sekolah. Tambahan pula, penelitian menunjukkan bahwa banyak anak-anak yang drop-out dari sekolah dan yang hidup di jalan mungkin menyandang cacat yang tidak tercatat dan tidak terdiagnosa.
2) Perencanaan
Para perencana perlu melihat bahwa persoalan kecacatan adalah sejajar dengan persoalan pembangunan, seperti melatih para guru agar berhasil mendidik anak-anak penyandang cacat dan meningkatkan aksesibilitas ke sekolah-sekolah termasuk teknologi pengajaran, akses fisik bagi tunarungu dan tunanetra. Hal ini diterapkan setara bagi para perencana di negara bersangkutan dan masyarakat donor secara internasional. Sekarang ini, misalnya, Bank Dunia belum lagi memiliki peraturan tentang konstruksi sekolah bagi anak-anak penyandang cacat, aktifitas yang masih dapat menggunakan dana pendidikan terbesar Bank Dunia. Para perencana PBS harus melibatkan pula komunitas penyandang cacat. Para perencana secara keseluruhan perlu memperhatikan solusi teknologi dan solusi penghematan biaya lainnya untuk mendidik anak-anak penyandang cacat yang juga akan memastikan kesetaraan. Perencana harus bekerja sama dengan Kelompok Kerja Internasional PBB untuk Kecacatan dan Wahana Utama Pembangunan untuk tetap membuat persoalan kecacatan dimasukkan di dalam agenda PBS (Pendidikan Bagi Semua).
3) Pendekatan Hak Asasi Manusia
Ada kebutuhan yang sangat penting untuk membantu pemerintah mengembangkan, mengimplementasikan, dan menegakkan kebijakan nasional mengenai kecacatan dan Pendidikan Inklusif. Sementara persoalan yang terkait dengan kecacatan didasarkan pada hak asasi manusia cocok dengan apa yang disebut dengan perkembangan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.
4) Kesadaran dan Komitmen
Pengetahuan dan kesadaran akan persoalan kecacatan perlu ditingkatkan. Penting bagi orang untuk melihat potensi perubahan dari sudut pandang HAM dan ekonomi. Pekerjaan lebih lanjut diperlukan untuk mengembangkan kapasitas dan mendidik Organisasi Penyandang Cacat dan kelompok-kelompok induknya demi meningkatkan kesadaran masyarakat umum dan pendidikan pada tingkat lokal. Solusi praktis harus dikembangkan yang memberikan contoh bersama cara-cara baru untuk berkomunikasi di antara mereka yang bekerja untuk mendidik anak-anak penyandang cacat di negara-negara berkembang.
Catatan berseri adalah ringkasan pelajaran yang didapat dan peraturan kunci dalam pekerjaan Bank Dunia di bidang pendidikan. Pandangan yang dikemukakan di dalam catatan ini adalah tulisan penulis dan tidak seluruhnya merefleksikan pandangan Bank Dunia. Untuk memperoleh salinan tambahan dari Catatan Pendidikan, hubungi Pelayanan Informasi Perihal Pendidikan melalui e-mail eservice@worldbank.org or atau kunjungi situs: www.worldbank.org/education/
Pengarang Utama: Susan Peters
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar