Rabu, 10 Maret 2010

PEMBERDAYAAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DATA UNTUK PENGEMBANGAN SISTEM PENDIDIKAN

oleh:
Rhiza S. Sadjad
rhiza@unhas.ac.id http://www.unhas.ac.id/~rhiza/

PENDAHULUAN

Era berikutnya yang akan dilalui oleh perjalanan sejarah peradaban manusia di muka bumi ini adalah era informasi, setelah berlalunya era pertanian dan era industri pada masa-masa sebelumnya. Berbagai ciri era baru ini telah dikemukakan oleh para pakar; antara lain misalnya oleh Rogers [1986], yang memberikan indikasi berupa terwujudnya suatu “masyarakat informasi” yaitu masyarakat yang sebagian besar anggotanya berfung-





















1800-
1820 1820-
1840 1840-
1860 1860-
1880 1880-
1900 1900-
1920 1920-
1940 1940-
1960 1960-
1980
Gambar 1
Perubahan komposisi angkatan kerja di Amerika Serikat 1800-1980
(Sumber: Everett M. Rogers, [1986], “Communication Technology”, hal. 11)
si sebagai pekerja informasi (lihat gambar 1). Lebih lanjut Rogers mendefinisikan pekerja informasi sebagai : “ .........individuals whose main activity is producing, processing, or distributing information, and producing information technology. Typical information worker occupations are teachers, scientists, newspaper reporters, computer programmers, consultants, secretaries, and managers. These individuals write, teach, sell advice, give orders, and otherwise deal in information.” Penulis ingin menggaris-bawahi, bahwa menurut Rogers sebagaimana diuraikan di atas, salah satu jenis profesi penting dalam era informasi adalah profesi guru, yang pekerjaan utamanya adalah mengajar. Pada bagian lain dari bukunya, Rogers menyebutkan bahwa lembaga sosial kunci dalam masyarakat informasi adalah research university, yang punya peranan sentral dalam masyarakat sebagaimana pabrik baja dalam masyarakat industri dan sawah-ladang dalam masyarakat pertanian . Dengan ini penulis ingin memperlihatkan betapa pentingnya peranan sistem pendidikan (universitas, guru, aktivitas mengajar, semua ini merupakan bagian-bagian penting sistem pendidikan) pada era informasi mendatang.

Satuan dasar informasi adalah bit . Data yang dikirim dan diterima melalui saluran-saluran komunikasi dalam sistem komunikasi data tersusun dari bit-bit digital. Dalam era informasi, sistem komunikasi data adalah sarana penunjang utama untuk sistem distribusi informasi, sebagaimana sistem transportasi merupakan sarana penunjang utama dalam sistem distribusi produk industri dalam era industri dan era pertanian sebelumnya.

Makalah ini berupaya mendiskusikan bagaimana kiranya hubungan semua ini, khususnya sistem pendidikan dan sistem komunikasi data, dalam era terbentuknya masyarakat informasi pada masa mendatang.


SISTEM PENDIDIKAN

Titik sentral semua sistem pendidikan, baik pendidikan formal, informal mau pun non-formal, adalah hubungan manusiawi yang terbentuk antara pendidik dan peserta-didik. Hubungan ini secara teknis bisa saja direduksi menjadi “proses belajar-mengajar”, tapi jelas proses belajar-mengajar saja tidak dapat mencerminkan keseluruhan sistem pendidikan. Proses yang terjadi dalam sistem pendidikan juga tidak dapat direduksi menjadi sekedar suatu proses transfer pengetahuan atau ketrampilan saja. Lebih-lebih lagi, sistem pendidikan jelas tidak mungkin dipandang secara sederhana sebagai sekedar proses distribusi informasi belaka. Tapi proses belajar mengajar, transfer pengetahuan dan ketrampilan serta proses distribusi informasi adalah beberapa elemen kunci dalam sistem pendidikan. Tujuan bersama (common goal) semua proses dalam sistem pendidikan adalah perkembangan peradaban manusia di muka bumi dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Perkembangan peradaban pun, tidak dapat disempitkan menjadi sekedar “pewarisan nilai-nilai”, melainkan lebih dari itu, adalah segenap upaya dan budidaya manusia agar dapat mempertahankan fungsi utama keberadaannya di muka bumi, yaitu membangun pengabdian yang menyeluruh kepada Sang Maha Pencipta sebagaimana telah ditetapkanNya.

Dengan begitu kualitas sistem pendidikan sangat tergantung pada “empati” yang terbentuk dalam hubungan antara para pendidik dengan peserta-didiknya masing-masing. Tanpa terbentuknya “empati” ini, proses apa pun dalam sistem pendidikan sebagaimana yang antara lain disebutkan di atas, akan kering dari makna sesungguhnya, tinggal menjadi kerangka-kerangka teknis belaka. Tidak heran jika kualitas produk sistem pendidikan yang terbaik justru diperoleh melalui proses-proses “tradisional” dalam sistem pendidikan, seperti metode belajar-mengajar "talk and chalk" di perguruan-perguruan tinggi terkemuka di dunia serta hubungan kiyai-santri di pesantren-pesantren tradisional di tanah-air. Universitas Islam Antar-Bangsa (Islamic International University) di Malaysia yang sangat modern, justru menerapkan sistem “usrah” (dengan profesor duduk melingkar bersama dengan para asisten dan mahasiswa-nya) dalam kuliah-kuliah di Fakultas Teknik sekali pun.

Para pakar pendidikan boleh bersepakat bahwa penggunaan teknologi non-konvensional untuk menjalankan proses-proses dalam sistem pendidikan tidak akan meningkatkan kualitas pendidikan. Tetapi – tentu saja – bukan berarti introduksi teknologi non-konvensional itu tidak ada gunanya sama-sekali. Walau pun tidak meningkatkan kualitas secara signifikan, penggunaan teknologi kependidikan jelas dapat meningkatkan kuantitas sistem pendidikan (yang berarti meluasnya peluang dan kesempatan bagi peserta-didik) tanpa terlalu banyak mengurangi kualitasnya.

Tanpa campur-tangan teknologi non-konvensional, peningkatan kuantitatif dari proses-proses dalam sistem pendidikan - yang berarti terbukanya kesempatan dan peluang bagi lebih banyak peserta-didik serta lebih meluasnya materi pendidikan - dengan sendirinya mengandung konsekuensi logis menurunnya kualitas (degradasi) sistem pendidikan secara drastis. Harapan pada aplikasi teknologi non-konvensional dalam berbagai proses pendidikan hanya terletak pada minimisasi terjadinya degradasi ini saja. Dengan perkataan lain, teknologi non-konvensional diberdayakan dan dimanfaatkan untuk pengembangan sistem pendidikan, hanya untuk menolong agar kualitas sistem pendidikan tidak menurun sedrastis dibandingkan ketika dilakukan upaya peningkatan kuantitatif tanpa introduksi teknologi non-konvensional.


SISTEM KOMUNIKASI DATA

Kendala utama dari perluasan kuantitatif sistem pendidikan adalah terbatasnya ruang dan waktu. Pendidik yang memenuhi standar serta sesuai dengan kebutuhan tidak selalu berada dalam satu dimensi ruang dan waktu dengan peserta-didik yang memerlukan kehadirannya. Dengan demikian, kesempatan peserta-didik untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas tinggi secara langsung melalui proses-proses pendidikan yang konvensional (“talk and chalk”, santri-kiyai, usrah) dari pendidik yang sesuai pun terbatas dan langka sekali. Inovasi teknologi komunikasi data dapat diberdayakan untuk menembus kendala ruang dan waktu ini. Materi pendidikan yang dipilah-pilah menjadi paket-paket informasi dapat dikirim dan ditansfer kesana-kemari melintasi ruang melalui sistem komunikasi data bit demi bit tanpa kesulitan. Dengan sistem pemberkasan (filing-systems) data elektronik, materi-materi pendidikan yang bermutu dapat pula disimpan dan diakses sewaktu-waktu diperlukan, melintasi dimensi waktu.

Teknologi Internet yang berintikan sistem komunikasi data paket, telah membuka kemungkinan yang hampir tak terbayangkan sebelumnya tentang “globalisasi” sistem informasi. Dunia menjadi satu tanpa batas, rentang waktu menjadi tak berarti, kemarin dan esok, hari ini, sama saja. Ratusan juta terminal data telah terhubung satu sama lain – baik secara permanen mau pun temporer - di seluruh penjuru dunia dengan kapasitas total trilyunan bit informasi yang sewaktu-waktu dapat di-transfer dan di-akses ke sana ke mari. Pada kurun waktu di masa depan yang tak akan terlalu lama lagi, kita akan menyaksikan konvergensi media, semua berbasis komunikasi data. TV, Radio, suratkabar, telepon, telegraf, facsimile, semua akan menyatu dengan sistem perbankan, travel-bureau, supermarket, penerbitan, pusat-pusat perbelanjaan, seluruhnya menjadi “on-line” dengan sistem komunikasi data. Lantas bagaimana dengan sistem pendidikan? Universitas, perpustakaan, kursus-kursus ketrampilan, sekolah, sekarang ini pun sudah bisa “on-line”, berkat sistem komunikasi data. Secara teoritis berarti kendala ruang dan waktu sudah teratasi, kapasitas sistem pendidikan menjadi tak terbatas, kuantitas dapat ditingkatkan semaksimum mungkin. Peningkatan kuantitas yang maksimum ini jelas tidak akan serta-merta diikuti oleh peningkatan kualitas, bahkan untuk mempertahankannya saja sudah akan sulit sekali.

Haruslah disadari sepenuhnya bahwa pemberdayaan sistem komunikasi data untuk pengembangan sistem pendidikan hanya akan meningkatkan kuantitas dan kapasitas sistem pendidikan dengan seminimal mungkin mencegah degradasi mutunya, tetapi sekali-sekali tidak akan pernah dapat meningkatkan kualitas sistem pendidikan itu sendiri. Sebuah universitas “on-line” dapat saja dibangun dengan menerapkan secara intensif sistem komunikasi data yang canggih, tapi yang akan dihasilkan hanyalah suatu “virtual university” atau universitas semu di dunia maya, sama sekali bukan universitas yang sesungguhnya. Tapi di lain fihak, menanggapi keberadaan universitas semu ini dengan sikap negatif saja juga tidak akan menyelesaikan masalah. Bagaimana pun, pemanfaatan sistem komunikasi data untuk mengembangkan suatu sistem pendidikan jelas akan meningkatkan kapasitas serta memperluas peluang anak-didik untuk memperoleh materi yang lebih banyak dan mendapatkan akses ke pusat-pusat informasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya akan terakses karena keterbatasan ruang dan waktu, walau pun semua ini tetap tidak akan pernah menjadi alternatif pengganti dari sistem pendidikan konvensional. Analogi-nya, walau pun dengan sistem komunikasi data dimungkinkan untuk membaca suratkabar secara “on-line” dengan komputer melalui Internet, tidaklah serta-merta orang akan berhenti berlangganan suratkabar dan ganti berlangganan ISP (Internet Service Provider) saja, sebab membaca suratkabar “on-line” tetap saja berbeda dengan membaca suratkabar yang “real” sambil minum kopi menunggu terhidangnya sarapan pagi di meja makan.

Dengan sistem komunikasi data melalui Internet kita dapat meng-akses perguruan-perguruan tinggi kelas dunia lalu menikmati sajian materi-materi kuliah dari profesor-profesor terkemuka di bidangnya. Harus difahami dengan jelas bahwa menikmati sajian para profesor ini melalui sistem komunikasi data tetap saja berbeda dengan duduk sendiri “in person” di kelas sang profesor dan memperhatikannya bermain dengan “talk and chalk”-nya. sambil ber-“chit-chat” tentang materi kuliah yang dibawakannya. “Real education” tetap memerlukan interaksi langsung antara pendidik dan peserta-didik dalam ruang dan waktu yang sama. Tapi masalahnya, berapa banyak peserta-didik mendapatkan peluang untuk suatu kemewahan ber-“chit-chat” langsung dengan pendidiknya, serta berapa banyakkah materi yang dapat dibahas dalam pertemuan yang begitu singkat? Sistem komunikasi data memungkinkan berkembang lebih luasnya kesempatan dan peluang bagi peserta-didik yang lebih banyak untuk sekedar ikut mencicipi berbagai “kemewahan” sistem pendidikan, walau pun tetap tidak pernah akan memberi kesempatan pada peserta-didik ini untuk merasakan “the real education”-nya. Ibaratnya, bisa saja dibuat daging kepiting tiruan (artificial crab) yang murah-meriah sehingga bisa lebih banyak orang yang dapat merasakan enaknya daging kepiting, tapi merasakan daging kepiting yang aslinya tentu hanya menjadi kehormatan bagi sebagian kecil orang saja.

Pemberdayaan penggunaan sistem komunikasi data untuk sistem pendidikan sama sekali tidak dapat dimaksudkan sebagai alternatif pengganti dari sistem pendidikan yang ada, melainkan hanya bersifat suplementer (tambahan) dan komplementer pelengkap) kepada sistem pendidikan yang ada, yang telah dibangun selama berabad-abad dengan akar tradisi dan metode yang telah baku, sesuai dengan harkat, martabat dan fithrah manusia sendiri.

Singkatnya, sistem komunikasi data berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai sarana penunjang sistem pendidikan, khususnya untuk meningkatkan kapasitas pelayanan pendidikan, untuk memperbesar peluang akses ke berbagai pusat informasi pendidikan dan memperbesar peluang anak-didik untuk mengatasi kendala keterbatasan ruang dan waktu dalam berinteraksi dengan para pendidik, tapi ini semua hanyalah meningkatkan kuantitas sistem pendidikan, dan sama sekali tidak meningkatkan kualitasnya.


PENUTUP

Era informasi global yang kita akan segera hadapi menjanjikan berbagai kecanggihan yang menakjubkan dalam penerapan teknologi komunikasi data. Banyak hal yang beberapa tahun lalu hanya berupa khayalan akan segera menjadi kenyataan. Berbagai inovasi dalam bidang sistem informasi ini akan sangat bermanfaat jika diterapkan sebagai sarana penunjang sistem pendidikan, terutama untuk meningkatkan secara kuantitatif kapasitas proses pendidikan dalam mengatasi berbagai kendala akibat keterbatasan ruang dan waktu. Tapi kualitas sistem pendidikan hanya dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas interaksi langsung antara pendidik dan anak-didik. Sistem komunikasi data yang bagaimana pun canggihnya hanya akan mengurangi seminimal mungkin degradasi kualitas sistem pendidikan ketika ditingkatkan secara kuantitatif.


DAFTAR PUSTAKA

1. Nasution, Zulkarimein, [1989], “Teknologi Komunikasi Dalam Perspektif”, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta.
2. Rogers, Everett M., [terj. Zulkarnaina Mohd. Mess], [1991], “Teknologi Komunikasi”, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur.
3. Rogers, Everett M., [1986], “Communication Technology”, The Free Press, Collier Macmillan Publ., London.
4. Schweber, William, [1996], “Electronic Communication Systems”, Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs, NJ.

BIODATA
Rhiza S. Sadjad, lahir di Bogor tahun 1957, menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Bogor, kemudian melanjutkan ke ITB Bandung pada tahun 1975. Menyelesaikan program pendidikan S-1 di ITB dan meraih gelar Ir. (Sarjana Teknik) di Jurusan Teknik Elektro tahun 1981. Sampai tahun 1983 mengajar di Fakultas Teknik Elektro Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, sebelum pindah ke Makassar dan mengajar di Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin sampai sekarang. Pada tahun 1987 melanjutkan studi ke Amerika Serikat, menyelesaikan program pendidikan S-2 dan S-3 dengan meraih gelar M.S.E.E (1989) dan Ph.D. (1994) dalam bidang keahlian Automatic Control Systems dari University of Wisconsin-Madison. Saat ini, selain mengajar di Program Pasca Sarjana Fakultas Teknik dan FISIPOL Universitas Hasanuddin serta berbagai perguruan tinggi swasta di Makassar, juga menjabat sebagai Koordinator Proyek TPSDP Program Studi Teknik Elektro UNHAS dan Ketua Divisi Informasi dan Komputer di Pusat Kegiatan Penelitian UNHAS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar