Oleh
Dr. Sutarto Hadi, M.Si., M.Sc.
FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
Pendahuluan
Pendidikan matematika di tanah air saat ini sedang mengalami perubahan paradigma. Terdapat kesadaran yang kuat, terutama di kalangan pengambil kebijakan, untuk memperbaharui pendidikan matematika. Tujuannya adalah agar pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa dan dapat memberikan bekal kompetensi yang memadai baik untuk studi lanjut maupun untuk memasuki dunia kerja. Artikel ini mencoba menguraikan paradigma baru tersebut. Secara garis besar akan diuraikan tentang beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika, seperti kontruktivis, kontekstual (contextual teaching and learning atau CTL), dan secara khusus akan diuraikan tentang pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR).
Paradigma Baru Pendidikan
Beberapa hal yang menjadi ciri praktik pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru menyampaikan pelajaran dengan menggunakan metode ceramah atau ekspositori sementara para siswa mencatatnya pada buku catatan. Dalam proses pembelajaran yang demikian, guru dianggap berhasil apabila dapat mengelola kelas sedemikian rupa sehingga siswa-siswa tertib dan tenang mengikuti pelajaran yang disampaikan guru. Pengajaran dianggap sebagai proses penyampaian fakta-fakta kepada para siswa. Siswa dianggap berhasil dalam belajar apabila mampu mengingat banyak fakta, dan mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang lain, atau menggunakannya untuk menjawab soal-soal dalam ujian. Guru sendiri merasa belum mengajar kalau tidak menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Guru yang baik adalah guru yang menguasai bahan, dan selama proses belajar mengajar mampu menyampaikan materi tanpa melihat buku pelajaran. Guru yang baik adalah guru yang selama 2 kali 45 menit dapat menguasai kelas dan berceramah dengan suara yang lantang. Materi pelajaran yang disampaikan sesuai dengan GBPP atau apa yang telah tertulis di dalam buku paket.
Praktik pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah ternyata sangat jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Menurut Zamroni (2000) praktik pendidikan yang demikian mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan berkepribadian.
Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi (Zamroni, 2000).
Filsafat Kontruktivis dan Pembelajaran Kontekstual
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang relevan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas. Pedekatan terebut adalah: konstruktivis dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).
Konstruktivis
Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).
Prinsip-prinsip kontruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, (3) murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekadar membantu penyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997).
Menurut filsafat konstruktivis berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomen baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan lain (Suparno, 1997).
Seringkali diungkapkan bahwa menurut paradigma baru pendidikan peran guru harus diubah, yaitu tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi harus mampu menjadi mediator dan fasilitator. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.
1. Menyediakan pengalaman belajar yang memeungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik (Tobin, Tippins, & Gallard, 1994).
3. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. (Suparno, 1997).
Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar.
1. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.
2. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat.
3. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar.
4. Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
5. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru. (Suparno, 1997).
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual berangkat dari suatu kenyakinan bahwa seseorang tertarik untuk belajar apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya. Orang akan melihat makna dari apa dipelajarinya apabila ia dapat menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan dan pengelamannya terdahulu. Sistem pembelajaran kontekstual didasarkan pada anggapan bahwa makna memancar dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberi makna pada isi. Lebih luas konteks, dalam mana siswa dapat membuat hubungan-hubungan, lebih banyak makna isi ditangkap oleh siswa. Bagian terbesar tugas guru, dengan demikian, adalah menyediakan konteks. Apabila siswa dapat semakin banyak menghubungkan pelajaran sekolah dengan konteks ini, maka lebih banyak makna yang akan mereka peroleh dari pelajaran-pelajaran tersebut. Menemukan makna dalam pengetahuan dan ketrampilan membawa pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan tersebut (Johnson, 2002).
Ketika siswa menemukan makna dari pelajaran di sekolah, mereka akan memahami dan mengingat apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran konteksual memungkina siswa mampu menghubungkan pelajaran di sekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengetahui makna apa yang dipelajari. Pembelajaran kontekstual memperluas konteks pribadi mereka, sehingga dengan menyediakan pengalaman-pengalaman baru bagi para siswa akan memacu otak mereka untuk membuat hubungan-hubungan yang baru, dan sebagai konsekuensinya, para siswa dapat menemukan makna yang baru (Johnson, 2002).
Pembelajaran kontekstual merupakan sistem yang holistik (menyeluruh). Ia terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan, yang apabila dipadukan akan menghasilkan efek yang melebihi apa yang dapat dihasilkan oleh suatu bagian secara sendiri (tunggal). Persis seperti biola, celo, klarinet dan alat musik yang lain dalam suatu orkestra yang mempunyai suara yang berbeda, tetapi secara bersama-sama alat-alat musik tersebut menghasilkan musik. Jadi, bagian-bagian yang terpisah dari CTL melibatkan proses yang berbeda, apabila digunakan secara bersama-sama, memungkinkan siswa membuat hubungan untuk menemukan makna. Setiap elemen yang berbeda dalam sistem CTL memberikan kontribusi untuk membantu siswa memahami makna pelajaran atau tugas-tuga sekolah. Digabungkan, elemen-elemen tersebut membentuk suatu siswa yang memungkinkan siswa melihat makna dari pelajaran sekolah, dan menyimpannya (Johnson, 2002).
Dari uraian di atas, CTL didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dari pelajaran sekolah yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pelajaran tersebut dengan konteksnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, sosial, maupun budaya. Untuk mencapai tujuan itu, sistem tersebut meliputi delapan komponen: (1) membuat hubungan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) pengaturan belajar sendiri, (4) kolaborasi, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) mendewasakan individu, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik. (Johnson, 2002).
Pendidikan Matematika Realistik
Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995).
Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka.
Pada saat ini, PMR mendapat perhatian dari berbagai pihak, seperti guru, siswa, orangtua, dosen LPTK (teacher educators), dan pemerintah. Beberapa sekolah dasar di Yogyakarta, Bandung dan Surabaya telah melakukan ujicoba dan implementasi PMR dalam skala terbatas. Sebelum PMR diimplementasikan secara luas di Indonesia, perlu pemahaman yang memadai tentang teori ‘baru’ tersebut. Seringkali kegagalan dalam inovasi pendidikan bukan disebabkan karena inovasi itu jelek, tapi karena kita tidak memahaminya secara benar. Makalah ini akan menguraikan secara garis besar tentang sejarah PMR, mengapa kita perlu mengembangkan PMR di Indonesia, bukti empiris prospek penerapan PMR di Indonesia, dan ditutup dengan harapan terhadap implementasi PMR di tanah air.
Sejarah PMR
PMR tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905 – 1990), seorang penulis, pendidik, dan matematikawan berkebangsaan Jerman/Belanda.
Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.
Mengapa kita perlu mengembangkan PMR?
Orientasi pendidikan kita mempunyai ciri: cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek; guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; materi bersifat subject-oriented; dan manajemen bersifat sentralistis (Zamroni, 2000). Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni, 2000).
Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Zamroni, 2000):
1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);
2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;
3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan
4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. Salah satu pertimbangan mengapa Kurikulum 1994 direvisi adalah banyaknya kritik yang mengatakan bahwa materi pelajaran matematika tidak relevan dan tidak bermakna (Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan, 1999).
Beberapa konsepsi PMR tentang siswa, guru dan tentang pengajaran yang diuraikan berikut ini mempertegas bahwa PMR sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga ia pantas untuk dikembangkan di Indonesia.
Konsepsi tentang siswa
PMR mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:
• Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
• Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;
• Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;
• Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman;
• Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.
Peran guru
PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:
• Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
• Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
• Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan
• Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.
Konsepsi tentang pengajaran
Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995):
• Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;
• Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;
• Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
• Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Bukti Empiris Prospek Penerapan PMR di Indonesia
Beberapa penelitian tentang PMR telah dilaksanakan di Indonesia. Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan bukti empiris tentang prospek pengembangan dan implementasi PMR di tanah air. Hasil-hasil penelitian tersebut diuraikan di bawah ini.
Penelitian yang dilakukan Fauzan (2002) tentang implementasi materi pembelajaran realistik untuk topik luas dan keliling di kelas 4 sekolah dasar di Surabaya menunjukkan bahwa materi PMR dapat digunakan dalam pembelajaran matematika di SD. Dalam penelitian tersebut Fauzan (2002) menemukan bahwa para guru dan siswa-siswa menyukai materi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, yaitu menurut mereka materi tersebut sangat berbeda dengan buku yang dipakai sekarang baik dari segi isi maupun pendekatannya. Dengan menggunakan materi PMR di kelas, proses belajar mengajar menjadi lebih baik, di mana siswa lebih aktif dan kreatif, guru tidak lagi menggunakan metode ‘chalk dan talk’, dan peran guru berubah dari pusat proses belajar mengajar menjadi pembimbing dan narasumber.
Penelitian Fauzan (2002) juga menemukan bahwa pada awalnya terdapat berbagai masalah yang disebabkan oleh sikap negatif siswa dalam belajar matematika yang merupakan akibat pendekatan tradisional pengajaran matematika. Untuk mengatasi hal tersebut Fauzan (2002) menyarankan untuk memperhatikan hal-hal berikut:
• Sedini mungkin menjelaskan kepada siswa tentang perubahan peran mereka dan guru mereka dalam proses belajar mengajar, dan hal itu berbeda dengan cara sebelumnya atau yang selama ini dipraktikkan di kelas.
• Guru perlu menjelaskan kepada para siswa tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, dan jenis jawaban yang diharapkan untuk menyelesaikan soal-soal kontekstual.
• Berkenaan dengan sikap negatif siswa-siswa dalam proses belajar mengajar matematika, hal-hal berikut dapat membantu mengubah sikap tersebut:
- Menciptakan pendahuluan yang menantang sebelum siswa mulai menyelesaikan soal-soal kontekstual sehingga siswa merasa gembira dan bertanggung jawab menyelesaikan soal-soal tersebut.
- Menciptakan suasana demokratis di kelas sehingga siswa tidak merasa takut untuk secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar. Suasana demokratik artinya siswa merasa bebas untuk aktif dalam proses belajar tanpa merasa takut membuat kesalahan jika mereka ingin bertanya atau menjawab pertanyaan.
- Menerapkan aturan-aturan dalam mengajukan pertanyaan dan dalam menjawab pertanyaan (misalnya mengangkat tangan, tidak boleh berteriak). Katakan kepada siswa bahwa ada konsekuensinya jika mereka tidak mengikuti aturan yang telah disepakati (misalnya dalam menjawab soal harus disertai dengan alasan, kalau itu dilakukan siswa akan mendapat nilai lebih baik).
• Sebagian orangtua siswa membantu anaknya dalam pengerjakan soal-soal pekerjaan rumah (PR), oleh karena itu mereka perlu diberitahu tentang perubahan pendekatan pembelajaran matematika ini, yaitu dari pendekatan tradisional ke pendekatan realistik.
• Disadari bahwa para siswa dan guru perlu waktu untuk dapat mengadaptasikan pendekatan PMR ini dalam proses belajar mengajar di kelas. Sehingga untuk dapat menerapkan PMR secara berhasil perlu pembiasaan melalui latihan di kelas.
Penelitian Armanto (2002) tentang pengembangan alur pembelajaran lokal topik perkalian dan pembagian dengan pendekatan realistik di SD di dua kota, Yogyakarta dan Medan, menunjukkan bahwa siswa dapat membangun pemahaman tentang perkalian dan pembagian dengan menggunakan strategi penjumlahan dan pembagian berulang. Penelitian Armanto (2002) juga menunjukkan bahwa siswa belajar perkalian dan pembagian secara aktif; membangun pemahaman mereka sendiri dengan menggunakan strategi penemuan kembali, dan mendapatkan hasil (menyelesaikan soal) baik secara individu maupun kelompok. Kesempatan siswa untuk belajar dalam situasi yang berbeda-beda mendorong mereka merumuskan kembali proses belajar mereka. Selama proses belajar siswa menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam belajar perkalian dan pembagian bilangan multi-angka.
Hasil yang kurang lebih sama juga dilaporkan oleh Hadi (2002). Dalam penelitiannya yang dilaksanakan di Yogyakarta dengan mengambil sampel siswa-siswa SLTP ditemukan hasil positif dalam penggunaan materi PMR dalam pembelajaran matematika, yaitu siswa menjadi lebih termoticvasi, aktif, dan kreatif dalam proses belajar mengajar disebabkan oleh materi yang menarik karena dilengkapi dengan gambar-gambar dan cerita. Siswa juga menunjukkan kemajuan dalam belajar matematika, yang ditujukkan dengan pemahaman konsep matematika yang mereka pelajari dan peningkatan skor yang mereka peroleh dari pretes ke postes, walupun dengan menggunakan tes konvensional. Temuan yang sama juga dilaporkan dalam penelitian di Bandung, yaitu siswa-siswa SLTP di sekolah percobaan menunjukkan perubahan sikap yang positif terhadap matematika, hal itu dipandang sebagai permulaan yang baik dalam pengembangan pendidikan matematika di Indonesia (Zulkardi, 2002).
Dengan penerapan PMR di Indonesia diharapkan prestasi akademik siswa meningkat, baik dalam mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya. Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Zamroni (2000), pada aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri:
• di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;
• mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;
• bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain;
• memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Referensi
Armanto, D. (2002). Teaching multiplication and division realistically in Indonesian primary schools: a prototype of local instructional theory. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.
Blum, W. and Niss, M. (1989). Mathematical Problem Solving, Modelling, Applications, and Links to Other Subjects – State, Trends and Issues in Mathematics Instruction. In: W. Blum, M. Niss, and I. Huntley (Eds.), Modelling, Applications and Applied Problem Solving: teaching mathematics in a real contexts. Chichester: Ellis Horwoord.
De Lange, J. (1995). Assessment: No change without problem. In: T. Romberg (ed.) Reform in school mathematics and authentic assessment. Albany NY: State Univeristy of New York Press.
Fauzan, A. (2002). Applying realistic mathematics education in teaching geometry in Indonesian primary schools. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.
Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht: CD- Press, the Netherlands.
Gravemeijer, K.P.E. (1997). Instructional design for reform in mathematics education. In: Beishuizen, Gravemeijer and Van Lieshout (Eds.) The Role of Contexts and Models in the Development of Mathematics Strategies and Procedures. Utrecht: CD- Press, the Netherlands.
Johnson, E.B. (2002). Contextual teaching and learning, what it is and why it’s here to stay. Thaousand Oaks: Corwin Press, Inc.
Hadi, S. (2002). Effective Teacher Professional Development for the Implementation of Realistic Mathematics Education in Indonesia. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.
Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan (1999). Kompas. [On-line]. Tersedia: http://kompas.com/kompas%2Dcetak/berita%2Dterbaru/1634.html
Suparno, P. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Zulkardi. (2002). Developing a learning environment on realistic mathematics education for Indonesian student teachers. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar